Running Text

ADVOKASI HAJI DARI DAN UNTUK JAMAAH (KLIK DI SINI) PENINGKATAN LAYANAN HAJI 2017 BUKAN CERITA 'DONGENG' (KLIK DISINI) ABDUL DJAMIL, PEMIKIR CERDAS DAN TOKOH PERUBAHAN HAJI INDONESIA (KLIK DISINI) AFFAN RANGKUTI: SELAMAT DATANG JEMAAH HAJI INDONESIA SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI KE-71, NKRI HARGA MATI” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “SELAMAT JALAN JEMAAH HAJI INDONESIA 2016 SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI REGULER TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) KEMENAG DAN DPR SEPAKATI BPIH 2016 TURUN 132 USD DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI KHUSUS TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) SELAMAT ATAS KEMENANGAN MUSA LA ODE ABU HANAFI YANG MERAIH JUARA KETIGA DALAM AJANG MUSABAQAH HIFZIL QURAN (MTQ) INTERNASIONAL DI MESIR SELAMAT ATAS LAHIRNYA CUCU PRESIDEN JOKO WIDODO DASAR HUKUM MENJERAT TRAVEL HAJI DAN UMRAH NAKAL (KLIK DISINI) POTENSI PDB INDUSTRI JASA UMRAH 16 TRILYUN RUPIAH PER TAHUN JOKOWI AJAK TWITTER SEBARKAN PESAN TOLERANSI DAN PERDAMAIAN MENAKAR INDUSTRI JASA HAJI DAN UMRAH NASIONAL DI ERA PASAR BEBAS ASEAN SELAMAT ATAS PELANTIKAN SOETRISNO BACHIR MENJADI KETUA KEIN KAPOLRI BERTEKAD PERANGI AKSI TEROR

Kamis, 08 Mei 2014

Mengatur Haji Dengan Cerdas

Jakarta (WarkopPublik)--Publik dikejutkan dengan Anggito Abimanyu, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU),  yang baru setahun memimpin institusi itu dengan terobosannya dalam kaitan peningkatan kualitas pelayaan Jemaah haji.Masuknya orang ahli mengatur “fulus” dari Kementerian Keuangan itu memang sebelumnya mengejutkan publik. Tapi sekali ini justru Anggito-lah sebagai pembuat kejutan, dengan terobosannya.

Setidaknya bagi lingkungan Kementerian Agama. Beberapa tahun sebelumnya, kementerian itu dalam upaya peningkatan layanan kepada jemaah haji, penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) kerap mendapat sandungan dalam implementasinya.  Selalu terlambat dan baru mendapat persetujuan dari komisi VIII DPR ketika musim haji sudah mendekat.

Untuk tahun lalu, setelah selesai pembahasannya di badan legislatif selesai, BPHI ditetapkan oleh Presiden melalui Pepres Nomor 31 Tahun 2013 tentang BPIH  Tahun 1434 H/ 2013 M. Peristiwa itu menjadikan catatan sebagai prestasi tersendiri. Prestasi ini merupakan hal yang pertama BPIH ditetapkan lebih awal yakni pada 8 Mei 2013.

Selain membuat terobosan penetapan BPHI lebih cepat, Anggito bersama jajarannya juga  melakukan perbaikan pada sektor-sektor penting penyelenggaraan haji dan umrah.  Ada beberapa sektor yang dinilai mendongkrak peningkatan layanan dan mengembalikan citra positif  jemaah haji dan masyarakat kepada pemerintah.

Yaitu, pada faktor sumber daya manusia atau SDM.  Ahli mengurus “fulus” itu melakukan  rotasi dan promosi di lingkungan Ditjen PHU.  Rekrutmen petugas kelompok terbang (Kloter) sebanyak 1925 dan non-kloter Kemenag sebanyak 535 yang proses seleksi diawasi oleh Itjen secara langsung dan dibekali dengan tambahan materi pembangunan karakter.

Selain itu melakukan kerjasama dengan Balitbang Kemenag untuk melakukan kajian efektivitas pembimbing haji serta pelaksanaan sertifikasi pembimbing haji untuk menjamin mutu dan kepastian bimbingan ibadah kepada jemaah haji. Hal itu dilakukan secara bertahap dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara.

Sektor pelayanan haji ditingkatkan dengan melakukan tambahan bis salawat, bis antarkota, kualitas katering, pemondokan di Makkah, hotel di Madinah serta tenda di Armina. Disamping itu pada tahun ini juga secara bertahap dilaksanakan revitalisasi empat asrama haji tahap pertama dan mempersiapkan revitalisasi asrama haji tahap kedua dari dana Project Based Sukuk (PBS) APBN.

Jaminan mutu dalam pelaskanaan pengelolaan BPIH dilakukan seleksi ulang Bank Penerima Setoran (BPS) dan memigrasikan dana haji dari Bank Konvensional ke Bank Syariah dalam waktu 1 tahun. Mewajibkan BPS untuk mendapat keterangan LPS untuk program penjaminan jemaah haji secara individual dengan membuat akun maya. Meregulasi dana talangan haji sesuai ketentuan Dewan Syariah Nasional. Menyimpan dana haji di BPS disalurkan untuk pemberdayaan umat dengan akad mudarabah muqayadah.

Memperbarui nota kesepahaman (MoU) dengan Kemenkeu mengenai penerbitan Sukuk Dana Haji Indonesia untuk pendanaan kegiatan Kemenag. Memperbaiki akad setoran awal dengan akad wakalah. Menyelesaikan pembentukan Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) dan mengkaji kelembagaan pengelolaan keuangan haji yang professional. Sistem pelayanan perbakan di Arab Saudi untuk penyimpanan dan pengelolaan uang jemaah haji Indonesia di Arab Saudi.

Kejutan Besar

Kebijakan pemotongan kuota dasar sebesar 20 persen yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi pada  6 Juni 2013 kepada seluruh negara yang mengirimkan jemaah haji termasuk Indonesia merupakan kejutan yang luar biasa.Ini merupakan dampak proyek perluasan Masjidil Haram yang semula mampu menampung jemaah sebesar 42.000 per jam saat tawaf menjadi 22.000 perjam. Kejutan ini sangat mempengaruhi seluruh persiapan yang sudah mencapai 80 persen.

Karena seluruh kontrak didasarkan atas jumlah jemaah yang semula berjumlah 211.000 menjadi 168.000, reguler 155.200 dan khusus 13.600 setelah pengurangan kuota tersebut. Akhirnya penyesuaian dilakukan kembali yang sebelumnya diupayakan negosiasi untuk mendapat dispensasi yang akhirnya juga mengalami kegagalan.

Dengan usaha dan kerja keras melibatkan seluruh komponen terkait dalam mensosialisasikan kepada masyarakat untuk bijaksana dalam menerima pemberlakuan kebijakan ini. Semua ini dilakukan atas dasar untuk kenyamanan dan keamanan bagi seluruh jemaah melaksanakan ibadah.

Kepiawaian Anggito Abimanyu terlihat di sini.  Pantang menyerah dengan keadaan,  seperti terlatih berfikir cerdas dalam dunia pendidikan dan keuangan. Dia seperti seperti Abimanyu, kesatria Pandawa. Berani dan rela mengorbankan jiwa dan raga dalam Perang Baratayudha. Ditengah-tengah dinamika dan persoalan pemotongan kuota, seiring dengan menyelesaikannya dengan cara yang holistik dan komunal, dia mampu melakukan terobosan baru dalam upaya peningkatan pelayanan kepada jemaah.

Pada 9 September 2013 lalu di Asrama Haji Pondok Gede, Anggito meluncurkan program layanan perbankan dan sistem pengendalin petugas dan jemaah dalam rangka menjawab seringnya kehilangan uang dan ketinggalan jemaah.Program baru ini justru lahir dari dinamisasi permasalahan kuota yang tengah dihadapinya. Peluncuran ini akan disosialisasikan di seluruh embarkasi haji secara bertahap. Ketika semuanya berjalan dengan baik dan lancar, kali ini masih sebagai dampak perluasan Masjidil Haram, persolan kembali muncul.

Sempitnya wilayah tawaf dan kecilnya jalan masuk menuju wilayah Sai yang berdekatan dengan lampu hijau tempat dimulai tawaf menjadikan hal ini persoalan yang cukup serius. Sebabnya adalah, potensi kepadatan jemaah saat melakukan proses ibadah dapat berdampak kepada hal-hal yang cukup buruk. Lagi-lagi Anggito mencari solusi yang jitu, yakni dengan melakukan imbauan kepada pemerintah Arab Saudi untuk memasang petunjuk dalam bahasa Indonesia dan intensif dalam mensosialisasikan kepada jemaah haji.

Tentunya pengerahan petugas PPIH Arab Saudi dan Petugas Kloter yang melekat mutlak di fungsikan untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Hal ini juga masih dalam proses pengembangan dengan memantau setiap saat pergerakan jemaah yang sekarang sudah mulai berkumpul dan melakukan ibadah umrah dan ibadah lainnya di Masjidil Haram.

Semoga penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menjadi penyelenggaraan yang lebih baik dan seluruh jemaah haji dapat melaksanakan proses ibadahnya dengan baik sesuai dengan tuntunan agama, disamping itu kekuatan, ketabahan, kesabaran dan kecerdasan selalu dilimpahkan kepada pelayan-pelayan tamu Allah ini. (ar/ar)

Sabtu, 03 Mei 2014

Manusia atau Barang Dagangan

Jakarta (WarkopPublik)--Tersandera dalam opini yang kurang membahagiakan seperti hantu yang menakutkan bagi pribadi yang takut akan kegagalan. Segala upaya dilakukan untuk menghindar dari ketakutan itu. Bahkan harga diri diperdagangkan untuk menjadi perisai anti kegagalan.

 Bukankah kegagalan adalah dinamisasi hidup yang niscaya akan menghampiri setiap personal, dan menjadikannya lebih tangguh, cepat dan tepat dalam bertindak.

"Siap kalah dan siap menang", hanya jargon yang dipampang sebagai lipstik menutupi kegalauan yang menari di benak seseorang. Jargon ini justru membuka peluang untuk melakukan kritisi dan gugatan. Berbeda jika jargon ini diganti dengan "Siap gagal dan siap berhasil", ada makna filsuf hidup yang berani jujur atas kekurangan dan membutuhkan dukungan orang lain sebagai pelengkap kekurangan itu untuk mencapai keluhuran tujuan.

Mempertontonkan penaburan simpatik yang disengaja untuk memperoleh dukungan dipicu dengan sumber dana seolah menjadi lazim dan lebih luhur daripada dukungan itu timbul dikarenakan kelebihan seseorang yang memang keluhurannya diatas rata-rata. Sehingga lahirlah manipulasi dan malihrupa.

Manipulasi kelahiran dan malih rupa inilah yang menjadikan kondisi sekarang ini sering disebut sebagai opera sabun, dagang sapi, jualan kecap nomor satu dan entah apalagi yang akan muncul istilah lainnya.

Ironi, ketika manusia kesempurnaannya telah diakui pihak langit dan akal adalah dasar penganugrahan tersebut sebagai pembeda dengan mahkluk lain, sekarang ini lebih mirip dan bahkan bersedia dipersamakan dengan barang dagangan.

Ini, hanya sebuah refleksi dan semoga berguna bagi orang yang membacanya. (ar/ar)

Jumat, 02 Mei 2014

Hardiknas dan Harkitnas: Lakukan Atau Lupakan Saja


Jakarta (WarkopPublik)--Setiap bulai Mai setiap tahunnya, tepatnya tanggal 2 dan 20 Mei kita memperingati dua agenda besar di dalam sejarah bangsa yaitu Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Tokoh yang menancapkan sejarah kebangsaan tersebut merupakan masyarakat Indonesia dan seorang Indo-Belanda yang menginginkan citra rasa pendidikan yang harus dirasakan oleh setiap masyarakat dan rasa kebangga atas bangsa dan Negara dalam menuju kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, perdamaian abadi dan berkeadilan sosial. Prasasti tersebut telah diukir secara tulus ikhlas oleh Ki Hajar Dewantara dengan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), Ing Ngarsa Sungtulada (di depan memberi teladan), Sutomo, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo dengan Budi Utomonya dalam mengupayakan sikap nasionalis dalam memperbaiki nasib bangsa.

Prasasti pendidikan dan lebangkitan nasional tersebut merupakan tonggak awal dalam perubahan bangsa di bidang social, politik, ekonomi, budaya dan pendidikan yang terpatri utuh di dalam Konstitusional Pembukaan Undang-Undang 1945 aline keempat.
Telah satu abad lebih kita selalu memperingati hari tersebut, namun masih banyak substansi yang belum tercapai. Sebut saja biaya pendidikan yang mahal, kesejahteraan tenaga pendidik yang belum optimal, wawasan nusantara atas cara pandang bangsa di bidang nasionalis yang meluntur dicirikan dengan pembelajaran sejarah di seluruh variable baik diksi, syair dan puitis kurang teraplikasi di dalam kehidupan. Mengutip dari tayangan TV bebarapa waktu yang lalu tentang lambang Sila pada Pancasila, Syair Indonesia Raya mengasumsikan bahwa pendidikan tentang sejarah perjuangan bangsa dan cara pandang bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 perlu untuk dihijaukan kembali.

Negeri ini sudah merdeka selama 68 tahun, dan beberapa bulan lagi (17 Agustus 2014) tepat 69 tahun. Sebelumnya kita dijajah selama 3,5 abad oleh bangsa yang nenanamkan feodalisme, adu domba dan kebodohan. Kebodohanlah yang menjadikan seluruh drama yang terjadi di republik ini dikonsumsi oleh setidaknya  28,55 juta rakyat Indonesia yang hudup miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2013 di Indonesia mencapai 28,55 juta orang, bertambah 480 ribu orang dibandingkan angka yang tercatat pada Maret 2013. Artinya sebesar 28,55 juta rakyat Indonesia masuk dalam katagori miskin.

Kemiskinan terjadi sebagai dampak dari ketiadaan ilmu.Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya dalam QS. Al-Mujaadilah ayat 11 :“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. 

Hal iniltulah sebagai sumbernya, dan sumber ini merupakan wadah paling baik untuk melakukan apapun untuk penggapain sebuah cita. Baik cita yang baik ataupun cita yang buruk. Menjamurnya sekolah dengan berbagai produk beraneka ragam persis seperti dagangan ponsel di centra elektronik. Menjamurnya rumah sakit juga dengan keanekaragaman produknya dengan harga yang sangat fantastik. Bahkan sekolah pemerintah dan rumah sakit pemerintahpun ikut-ikutan dan berlomba pasang harga yang menguntungkan dengan dalih strategi peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.  Program jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih pendidikan juga diterapkan bukan hanya di sekokolah swasta, sekolah negeripun ikut-ikutan. Kasta pendidikanpun terjadi, penyakit lama yang akan dimunculkan kembali. Tawuran, geng-gengan dalam satu sekolah, konsumtif teknplogi menjadikan wajah pendidikan di negeri ini sudah mirip dengan wajah Tuan Baron dengan Bourjoisnya.

Lantas, apa yang diperoleh oleh orang miskin dan bukan berpura-pura menjadi miskin untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatannya dengan baik?

Baru-baru ini seorang anak bernama Aisyah yang masih sangat muda melakukan pekerjaannnya dengan mengemis untuk melanjutkan hidup dan mengurus ayahnya yang sedang sakit parah karena TBC di Kota Medan. Masih bersukur, kita memiliki awak media yang mau perduli dengan kisah Aisyah dengan mengangkatnya dalam sebuah reportase. Hasilnya cukup pantastik dan memukau. Awak media dengan niatnya yang tulus, justru dimanfaatkan oleh orang nomor satu di Kota Medan. Kemana orang nomor satu Kota Medan ini selama itu sebelum awak media yang baik hati tersebut mengangkat kisah tentang Aisyah.

ini hanya sebuah potret kecil dari sekian banyak peristiwa yang mungkin terlewatkan, betapa mengerikannya negeri yang kita cintai ini. Dan kemiskinan jugalah segmen untuk pencitraan semu. Karena orang miskin pola berfikirnya sederhana, hanya sejengkal; leher, lambung dan kemaluan. Berbeda mungkin dengan orang yang hidupnya lebih baik yang mempergunakan pikirannya. Selama kemiskinan masih ada dengan jumlah sebesar itu (28,55) dan tidak ditekan, maka jangan pernah berhapar negeri yang kita cintai ini akan berubah menjadi negeri yang nyata.

Pendidikan dengan agenda besar yang dapat mengantarkan bangsa kita ke depan pintu gerbang kesejahteraan umum dengan meningkatkan pengetahuan yang luas, intelektual, bijak dan santun tersandung dengan mahalnya biaya pendidikan, kurangnya fasilitas pendidikan dan kesejahteraan tenaga pendidik yang belum terpenuhi. Tidak terpungkiri dan harus diakui bahwa olympiade di bidang kimia, fisika dan matematika dinominasi oleh kita, namun tidak secara merata dengan varian yang kecil. Sulitnya bernegosiasi dengan terbatasnya warisan bahasa yang dierami oleh penjajah. Untuk itu peningkatan bahasa terutama bahasa internasional niscaya harus dilakukan. Kalah besar dengan geng-gengan, tawuran, pelecehan seks, traveling pendidikan dan hedonisme anak didik.

Pencapaian pendidikan kedepan harus dimotori dengan fokus para pemimpin di negeri ini sebagaimana fokusnya pemimpin di negara lain berkaitan dengan pentingnya pendidikan dan nasionalisme sebagai investasi bangsa.

1. Jepang ketika disinggahi Little Boy, 2 kota besarnya Hirosima dan Nagasaki hancur. Langkah yang ditempuh oleh kaisar untuk pemulihan adalah dengan menyelenggarakan sekolah gratis dan mensejahterakan tenaga pendidik. Sekarang Jepang menjadi negara pilih tanding di dunia;
2. Cina, melakukan inventarisir dan mengintegrasikan seluruh pengrajin di negaranya (home industri) sekarang menjadi negara industri yang menentukan;
3. Amerika, pasca kolonial Inggris mengilhami rakyatnya untuk bangga dan cinta terhadap tanah air sekarang menjadi negara super di dunia;
4. India, pasca Mahatma Ghandi dengan Swadeshinya mampu mencitrakan diri dengan teknologi informasi dan industrinya;
5. Malaysia, pasca kolonial Inggris dan warisan bahasanya melakukan ekspor tenaga pendidik pada tahun 1970-an dari Indonesia, menjadi negara yang dituju beberapa negara untuk mengantarkan rakyatnya mengecap pendidikan di negara tersebut dan sekarang masuk sepuluh besar lembaga pendidikan di dunia. (ar/ar)

Kamis, 01 Mei 2014

Haji Abad 21: Renungan Keshalehan Individu dan Sosial

Jakarta (WarkopPublik)--Kontekstual haji dalam syariah Islam, menempatkan haji lebih cenderung dalam panggilan syiar untuk bersilaturrahmi antar ummat Islam di seluruh penjuru dunia. Dalam rangka mempertebal keimanan dan wujud dari sebuah perjalanan syiar Islam melalui para nabinya. Sehingga haji diistilahkan secara kontemporer merupakan muktamar tahunan ummat Islam.  Seluruh ummat berkumpul dalam waktu dan tempat yang sama untuk melakukan prosesi ritual ibadah haji.  Berbagai upaya yang dilakukan agar dapat melaksanakan ibadah dari rukun Islam yang kelima ini. Banyak pembelajaran yang sangat nuratif yang diperoleh dalam prosesi ini, mengajarkan untuk memiliki sifat penghambaan, tawadu’dan istiqamah untuk menaklukkan naluri keduniawian yang lebih mendekatkan ibadah daripada harta dalam kehidupan keseharian. Allah swt berfirman:

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. (QS.Al Hajj: 27).

Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw bersabda:

“Janganlah kalian bersusah payah melakukan perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nawabi), Masjid Al-Haram (di Makkah), dan Masjid Al Aqsha.” (HR. Al-Bukhari No. 1115 dan Muslim No. 1397).


Mengasah sifat ketaqwaan sebagai abduh diimplemnetasikan dalam taraf akhir rukun Islam melalui ritual haji, dimana hanya keabduhan yang ditonjolkan sehingga keeratan silaturrahim antar suku, bangsa dan ras Islam diseluruh penjuru dunia dapat dinikmati dan dirasakan. Ketika pergeseran budaya terjadi, kemewahan dan rasa tinggi hati sebagian manusia, menjadikan ajang silaturrahim ini seakan mengalami perubahan yang hebat. Kemegahan dan penonjolan status sosial kerap sekali dipertontonkan dalam setiap perhelatannya. Rasullullah saw telah memberikan sinyalnya, diriwayatkan dari Tqausan r.a Rasulullah saw bersabda:

“Akan terjadi, bersatunya bangsa-bangsa didunia menyerbu kalian seperti sekelompok orang menyerbu makanan”. Salah seorang sahabat bertanya: “apakah karena jumlah kami dimasa itu sedikit”. Rasulullah menjawab: “jumlah kalian banyak tapi seperti buih dilautan. Allah mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh kalian dan Allah menanamkan penyakit ‘wahan’ dalam hati kalian.” Lalu ada yang bertanya lagi:“apakah penyakit ‘wahan’ itu ya rasulullah?” Beliau bersabda: “Cinta kepada dunia dan takut mati!”. (Silsilah Hadist Shahih No.958).

Entah pemikiran apa yang melintas, sehingga tidak sedikit calon haji melakukan berbagai macam cara untuk dapat melaksanakan perjalanan ibadah haji menuju Baitullah. Apalagi dengan jumlah waitinglist yang sudah menembus angka di atas 2,6 juta calon haji. Apakah ini merupakan implementasi keimanan dalam melakukan sebuah ibadah, ada semangat pertontonan ego sektoral disana. Bagaimana jika dibandingkan dengan calon haji lainnya dengan ketidakberdayaannya karena tidak memiliki kekuasaan ataupun kerabat yang berkuasa atau juga materi yang lebih dan hanya cenderung melekatkan ketaqwaan dalam kepribadiaanya hanya mampu terdiam dan pasrah menerima, karena baginya haji merupakan sebuah panggilan Rabbnya. Disinilah muncul aturan yang tidak tebang pilih, semua diatur dengan managemen sistem. Siapa yang mendaftar diawal maka akan dilayani diawal juga (first came first served).

 Keegoan ini muncul dengan berbagai macam alasanpun seperti usia yang lanjut, sakit, waktu atau alasan lainnya yang kontradiktif dengan keistithaahan dan mencederai pola antrian yang sudah terbentuk sehingga pemaknaan haji menjadi cidera akibat keegoan yang seharusnya mengedepankan tawadu’, taat, qanaah dan sabar. Tanpa kita sadari keegoan ini berdampak, setidaknya sebesar 200 ribuan setiap tahunnya menggondol gelar haji, namun kepekaan sosial kemasyarakatan masih dirasakan kurang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2013 di Indonesia mencapai 28,55 juta orang, bertambah 480 ribu orang dibandingkan angka yang tercatat pada Maret 2013. Artinya sebesar 28,55 juta rakyat Indonesia masuk dalam katagori miskin.

Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan jangka pendek yang dilakukan pemerintah sudah berjalan dengan baik. Harapannya adalah, bagaimana peran para hujjaj dalam ikut serta untuk menanggulangi kemiskinan. Ada tuntutan kesalehan sosial dalam diri calon haji dengan mengalihkan setoran awalnya untuk turut mengentaskan kemiskinan dan sebagai wujud rasa cintanya kepada Allah swt. Bukan tidak mungkin persentase kemiskinan akan semakin tinggi angka penurunannya. Mungkinkah itu? Kemungkinan hanya 1:1 juta yang melakukan itu, ditengah-tengah tangan yang menengadah untuk meminta sedekah dengan ucapan “salam” dan kebanyakan dijawab dengan “maaf ya”. Hedonisme setidaknya telah menancap dalam pemikiran masyarakat yang konsumtif. Singapura merupakan kota termahal pada 2014 dibandingkan 131 kota di dunia, menurut survei lembaga ekonomi, Economist Intelligence Unit (EIU). Lihat saja, belanja orang Indonesia di Singapura mencapai Rp 30 triliun pada 2009. Jumlah ini mengalami kenaikan cukup besar dibandingkan tahun 2007, yang mencapai Rp10 triliun.

Prespektif ini seolah mengajak kita untuk kembali bermuhasabah dalam membangkitkan gairah berfikir lebih luas. Luas dengan melihat kondisi kemasyarakatan yang semakin mengarah kepada keinginan dan bukan lagi kebutuhan. Haji menjadi sebuah komoditi dengan elastisisitas sempurna yang mengalami trend yang begitu menarik. Artinya berapapun harga dan quota haji akan habis terjual. Promosi dan implementasi dana talangan, MLM dan sebaginya melekat dan mewabah dalam media setidaknya dalam 2 tahun terakhir. Para penggiat haji ini seolah melupakan ada hal substansial yang seyogyanya dilakukan minimal seperti pencanangan bebas buta huruf hijaiyah dan tarbiyah yang sistematis yang perlu dideklarasikan sebelum berhaji dan selain itu juga melewatkan bagaimana melekatkan akad-akad syariah dalam mengimplementasikan proses transaksi dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah ini. Lebih mengajarkan publik untuk menikmati layanan dalam melaksanakan ritual ibadah sebagaimana layaknya layanan berbasis kepada wisata secara umum. Layanan seolah berbasis wisata ini sepertinya kurang layak jika dilekatkan dengan prosesi ibadah. Contohnya sebagaimana pelaksanaan ibadah shalat, puasa, zakat akan selalu dilakukan khidmat dalam situasi dan kondisi apapun.

Hal ini memang tidak dapat dibakukan, namun perlu juga hendaknya meninjau sisi dampak yang dapat memicu peningkatan akibat “keinginan” bukan “kebutuhan”. Jangan sampai prosesi pelaksanaan ibadah haji yang seyognyanya mempertontonkan keabduhan kepada Ilahi Rabbi justru pada aspek ritualnya menjadi lebih mempertontonkan penyediaan fasilitas yang menjadikan pelaksanaan ibadah haji menjadi sangat dipermudah, tiada kesan kegigihan kehambahan yang tergambar dan menjadi hikmah dalam prosesi ibadah haji itu sendiri. (ar/ar)