Jakarta (WarkopPublik)--Usia Nikahpun di atur. Kemerdekaan seseorang untuk menentukan haknya semakin terampas oleh pengaturan pernikahan dengan batas usia minimal. Entah apa makud dari ini semua, apakah bermaksud baik atau sebaliknya ada maksud lainnya. Hukum berlaku general dan bukan parsial. Baik jika pada keluarga yang mampu yang tingkat sosialnya ada, tentu mengejar pendidikan setinggi gunung dan karir setinggi langit menjadi tujuan. Komitmen "nikah" menjadi sebuah momok yang menakutkan dan tingkat kuatir yang tinggi penyebab gagalnya tujuan itu. Namun, bagaimana dengan keluarga lainnya? yang hanya bersandar atas hidup pas-pasan dan seolah anak menjadi beban bagi keluarga dan secepatnya untuk dinikahkan jika sudah akhir baliqh. Belum lagi, jika terjadi hubungan diluar nikah yang berdampak kepada kehamilan, sebagai akibat terbukanya media teknologi informasi dengan manfaat dan mudharatnya.
Semula berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut prasa batas 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria, kini prasa tersebut digugat untuk menjadi 18 dan 21 tahun karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sontak saja, terjadi pro dan kontra atas penggugatan ini yang sekarang sedang dilakukan persidangan untuk menguji Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi.
Silahkan perdebatkan prasa tersebut, hanya saya pribadi memberikan masukan bahwa, analisis dari semua aspek dan tidak hanya berbicara pada aspek agama ataupun konstitusi. Namun analisis juga dari aspek fakta dan realitas yang ada, agar jangan sampai hukum tersebut justru menjadi memasung kebebasan terutama pada seorang wanita. Jika seorang anak yang berusia 15 tahun, disebabkan faktor ekonomi, under control teknologi informasi berkeinginan bulat untuk menikah apakah belum hamil atau sudah hamil, kemudian menjadi terhalang oleh hukum yang sedang diperdebatkan ini dan selanjutnya anak tersebut bunuh diri, maka Anda-Anda yang menyusun hukum itulah orang yang paling bertanggungjawab.
Saya yakin, penyusun hukum tersebut pasti semuanya orang yang mampu baik harta maupun ilmu, sesekali ajaklah orang yang hidupnya miskin untuk ikut menyusun hukum itu agar Anda tahu bahwa pendapat Anda belum tentu dapat diterima oleh mereka. (ar/ar)