![]() |
Ilustrasi jamaah haji Foto: geotimes.co.id |
Menutup diri bukan lagi budaya yang harus dipertahankan. Sebab, petaka masalah akan menjadi rapor rutin. Apalagi diketerkinian saat ini sebuah cerita boleh jadi ditentukan oleh biro redaksi atau warganet. Baik bisa jadi buruk dan buruk bisa jadi baik ditengah mulai melunturnya kepercayaan publik kepada pemerintah.
Mulai melunturnya kepercayaan itu akan diwarnai dengan dua warna. Warna pertama adalah warna pujian. Warna yang kedua adalah warna kritik.
Warna pujian ini cenderung emosional yang memiliki kepentingan tertentu. Warna pujian juga dapat diartikan pada realitas atas apa yang ada secara nyata.
Adapun warna kritik cenderung bersuara vokal. Warna ini semestinya tidak lagi dipersepsikan sebagai penentang. Vokal kiranya dapat didudukkan dalam posisi autokritik. Mengapa demikian, kevokalan itu terlahir sebagai dampak dua pisikologis. Pertama, luapan pengetahuan sebagai dampak terbendung tirani budaya warisan. Kedua, ketidaktahuan.
Kedua warna ini adalah aset, tergantung pada bagaimana cara mengelola menjadi harmoni. Dirangkul dan diberdayakan sekaligus diasupi pengetahuan dan bukan untuk dimarginalkan.
Nah tentang itu, aku ingin mengingatkan soal penyelenggaraan haji yang semakin meningkat pelayanannya. Peningkatan ini perlu diwaspadai. Mengapa? Semakin meningkatnya layanan haji pada 2017 dengan angka indeks 84.85 ini berpotensi menjadi ancaman. Dikatakan ancaman karena apabila pada tahun esok terjadi penurunan. Kerja keras dan cerdas untuk mempertahankannya sesuatu yang harus dilakukan. Jika tidak bersiaplah menyambut tajamnya kritik yang akan datang diundang ataupun tidak.
Menyikapi itu, maka butuh program yang terintegrasi. Tak perlu kiranya program banyak namun kecil sasaran. Sedikit program namun luas sasaran. Program dengan strategi terintegrasi diyakini akan mampu mempengaruhi wawasan dan cara pandang perihal penyelenggaraan ibadah haji.
Melalui strategi ini juga akan disasar peran vital Kementerian Agama (Kemenag) dalam mengubah struktur bimbingan jamaah yang selama ini terkesan stagnan dan setiap tahun menjadi perhatian para pihak. Peran vital Kemenag dalam merubah KBIH menjadi kelompok bimbingan belajar (bimbel) sepanjang tahun. Bimbel sebagai operator, regulatornya Kemenag dan Supervisornya adalah lembaga penjamin mutu bimbingan. Targetnya bebas buta manasik haji.
Juga hal lainnya yang dinilai urgen dan esensi untuk dilakukan upaya masif mempengaruhi. Seperti, pemutahiran dan penguatan struktur PPIH Arab Saudi dengan mengembangkan peran kerjanya. Selama ini peran TPHI, TPIHI, TKHI, TPHD, Karom dan Karu hanya dipusatkan pada masing-masing kloternya dan disebutlah dengan nama petugas kloter dan hanya bertanggungjawab hanya pada kisaran 325-550 jamaah. Sedangkan Sektor harus bertanggungjawab pada kisaran 17.000 jamaah ekuivalen 6 maktab ekuivalen 37 kloter.
Mengapa tidak dijadikan saja gabungan TPHI, TPIHI, TKHI, TPHD, Karom dan Karu menjadi sub sektor yang akan bertanggungjawab pada kisaran 3.000 jamaah ekuivalen 1 maktab ekuivalen 6 kloter. Predikat atas TPHI, TPIHI, TKHI, TPHD, Karom dan Karu adalah petugas yang terlegalisasi dalam kepanitiaan PPIH Arab Saudi. Tiada lagi nama petugas kloter dan non kloter. Hanya ada satu nama yakni petugas PPIH Arab Saudi.
Peran kelembagaan PPIH ini juga mesti diharmonikan. Ada irisan kuat antara PPIH Arab Saudi, PPIH Embarkasi dan PPIH Pusat. Tidak terkesan berjalan sendiri-sendiri. Hingga menyimpulkan satu nama kelembagaan yang disebut Petugas PPIH Indonesia. Legalisasinya pun kiranya perlu diubah yang langsung dilegalisasi oleh Presiden. (ar/ar)