![]() |
Jemaah haji tiba di Tanah Air Foto: Dokumentasi PPIH Bekasi |
Penting untuk diketahui bahwa DAU berbeda dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Outstanding setoran awal BPIH itu hingga saat ini berjumlah lebih kurang 88 trilyun rupiah dengan jumlah peserta haji waitinglist mencapai 3,1 juta orang. Angka lebih kurang itu hanya taksiran, lagi-lagi hanya Direktorat Pengelolaan Dana Haji Kemenaglah yang tahu berapa jumlahnya.
Jadi ada dua outstanding di Kementerian Agama. Pertama, outstanding DAU mencapai 3 trilyun. Kedua, outstanding BPIH mencapai 88 trilyun rupiah. Penggunaan BPIH adalah untuk operasional penyelenggaraan haji setiap tahun. Dari operasional haji pertahun ini apabil ada efisiensi maka efesiensinya masuk dalam DAU. Contoh: Operasional haji tahun 201x sebesar 10 trilyun rupiah. Namun realisasinya hanya 9,8 trilyun rupiah. Ada efesiensi sebesar 200 milyar rupiah. Efesiensi 200 milyar rupiah ini akan masuk dalam DAU. Hal itu berlangsung sejak DAU ada.
DAU sendiri tidak ada kepemilikan yang sah secara akad, mungkin karena itu disebut dengan Dana Abadi Umat. Umatlah (jemaah pasca haji) pemilik dana itu, karena dana itu diperoleh dari efesiensi operasional haji setiap tahun. Dan mengembalikan dana itu pada jemaah pasca haji adalah hal yang mustahil dilakukan. Untuk itulah penggunaan DAU sejatinya kepada kemaslahatan umat Islam. Digunakan untuk membantu umat dalam bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan,sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah.
Pernah DAU diperuntukkan untuk itu, namun ditutup sejak terjadinya peristiwa perbuatan melawan hukum atas rekomendasi Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2005. Dapat digubakan kembali apabila sudah terbentuk Badan Pengelola DAU (BPDAU).
Pengadaan dana ini dilakukan sejak jabatan Menteri Agama dijabat oleh Tarmizi Taher melalui effisiensi dan penekanan harga tiket penerbangan Garuda. Idenya berawal dari sebuah seminar haji di Jakarta pada tahun 1994 yang mendiskusikan tema Tabungan Haji. Ide ini disampaikan kepada Presiden Soeharto yang lalu menerbitkan Keppres 35/1996 dan 52/1996, yang kemudian dikukuhkan dalam UU 17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji, bahwa DAU merupakan hasil efisiensi dana BPIH. Akhirnya pengukuhan ini diikuti dengan terbitnya Keppres 22/2001 tentang BPDAU.
Perintah UU 13/2008 mengamanatkan agar membentuk BPDAU. Namun, sampai dengan detik ini, sudah 8 tahun sejak UU tersebut terbit BPDAU seperti badan 'dongeng'. Entah ada apa tidak, dibentuk atau tidak hanya Direktorat Pengelolaan Dana Haji lah yang tahu.
Akhirnya dana umat itu mengendap dan menjadi tafsir keburukan karena dana tidak dapat dipergunakan untuk umat hampir 8 tahun hingga saat ini.
Dana mengendap ini bisa berpengaruh pada kewajiban secara hukum Islam yang tidak terpenuhi. Selama mengendap 11 tahun bisa saja dana ini akan mencederai fiqh seperti keharusan mengeluarkan kewajiban zakat harta. Karena pemiliki dana ini adalah umat dan saat ini umat sangat membutuhkannya. Kemiskinan dan kebodohan masih menjadi musuh utama untuk diberantas. Sayang, DAU yang ada tidak termanfaatkan. Bahkan perintah UU pun untuk membentuk BPDAU seperti diabaikan.
Lagi-lagi UU kembali memandatkan. Kali ini tersebut tentang DAU dalam frasa UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji masuk dalam wewenang Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), hingga saat inipun BPKH belum terbentuk.
Pemanfaat DAU untuk kemaslahatan umat disegerakan penggunaannya dan tidak menunggu waktu yang berlarut-larut. Untuk itu UU 34/2014 disarankan untuk di Perpukan dan merubah frasa pengelolaan DAU diserahkan kepada umat Islam yang dikelola oleh MUI dengan keanggotaan seluruh ormas Islam. Karena ormas Islam adalah representatif umat, dan DAU sendiri kepemilikan danananya yang sah adalah jemaah pasca haji. Karena tidak ada akad antara jemaah haji kepada Kementerian Agama untuk mewakalahkan penggunaanya.
Ada tiga opsi agar DAU ini kembali kepada umat. Pertama, kembalikan kepada jemaah pasca haji dan atau ahli warisnya. Kedua, segera bentuk BPDAU. Ketiga, segera bentuk BPKH. Keempat, Berdayakan Ormas Islam untuk menggunakannya dalam ekonomi, dakwah, pendidikan dan sosial bagi umat. (ar/pokok pemikiran salah satu ulama)