Orientation itu bahasa lainnya adalah direction. Namun demikian, dalam
keseharian kita mungkin sering menggunakan kata orientation dibandingkan
direction. Orientation bermakna lebih dalam. Pada beberapa literatur mungkin
kita pernah mengenalnya dengan kata orientalis, orient atau orientation artinya
peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar.
Dalam orientasi terdapat tiga point penting yang dimiliki. Pertama, mengetahui
apa yang harus dilakukan. Kedua, adanya tujuan yang jelas; dan ketiga adanya
target yang ingin dicapai. Mengetahui apa yang harus dilakukan, terkandung
pengertian di dalamnya mengenai planning apa yang akan kita kerjakan,
rencana-rencana awal yang dikonsepkan, agar menjadi motivasi tersendiri dan
arah tujuan yang jelas bagi masing-masing individu. Dari awalan ini, kita
melihat realitas dan tantangan yang akan terjadi serta apa yang menjadi
kekurangan maupun kelebihan dari hal-hal yang dikonsepkan tersebut.
Policy orientation dalam penyelenggaraan ibadah haji adalah seperti apa
penyelenggaraan ibadah haji yang akan kita lakukan untuk memudahkan kita dalam
melakukan kegiatannya dengan titik terang yang dapat dilihat dalam
perjalanannya melalui sebuah kebijakan yang ditetapkan. Selama ini mungkin
kebijakan penyelenggaraan ibadah haji, orientation dan direction-nya tidak
ditulis, sehingga banyak praktisi haji yang tidak mengetahui arah yang
sebenarnya. Untuk, itu melalui tulisan ini akan disampaikan ke mana sebenarnya
arah kebijakan penyelenggaraan ibadah haji.
Sebagian mungkin ada yang meraba-raba ke mana arahnya mungkin sebagian
lagi tidak. Terhadap orientation ini ada beberapa hal saja yang ingin
disampaikan tentang isu atau arah kebijakan penyelenggaraan haji yang sedapat
mungkin dapat dipahami dan disosialisasikan. Regulator, operator dan
suvervisor, tiga kebijakan ini sebagai arah dari Kementerian Agama (Kemenag)
untuk menjawab dan mengarahkan apabila ada pihak-pihak yang memberikan
pandangan lain terhadap tiga isu-isu pokok tersebut. Publik mungkin hilir mudik
pendapat, namun kita harus punya satu bahasa terhadap policy yang diambil oleh
pemerintah dan diharapkan dapat untuk dipegang dan disampaikan kebijakan ini
kepada publik.
Penyelenggara haji di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji eksplisit disebutkan bahwa penyelenggaranya adalah
pemerintah, kecuali undang-undang ini di ubah dengan tujuan tertentu. Kebijakan
dan pelaksanaan dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan
menjadi tanggungjawab pemerintah.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menyelenggarakan ibadah haji, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) tidak menyelenggarakan
ibadah haji, yang menyelenggarakan ibadah haji adalah pemerintah. Hal
tersebut final di dalam UU 13/2008. Beberapa hari ini muncul kembali pikiran,
gagasan, pendapat yang mengatakan kembali untuk memikirkan penyelenggara ibadah
haji tidak harus pemerintah melalui Kemenag, mungkin kita mengikuti semua ini.
Intinya adalah membentuk badan haji di luar Kemenag, itu satu pikiran. Banyak
juga pikiran-pikiran lain yang beberapa hari yang lalu sangat intensif. Gagasan
untuk kembali mempertanyakan siapa penyelenggara ibadah haji di pemerintah ini.
Apakah Kemenag, apakah badan di luar Kemenag, ataukah swastanisasi haji. Sampai
hari ini kedudukan UU 13/2008 ini masih sebagai acuan yang tertinggi yang
dipegang. Oleh karenanya, keinginan untuk mengubahnya juga besar dan kembali
mempertanyakan siapa penyelenggaranya. Isu penyelenggara ibadah haji juga
muncul waktu UU 13/2008 dirancang dan dibahas tahun sebelumnya. Tetapi
pemerintah dengan perjalanan sejarah berisikeras bahwa posisi penyelenggara
haji ada di tangan pemerintah dan ditugaskan kepada Kemenag.
Akhirnya pendapat itu yang diikuti sehinga UU 13/2008 secara eksplisit
menyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah
haji itu adalah pemerintah dan melalui Kemenag. Menteri Agama adalah otoritas
yang menjadi penyelenggara haji. Jadi satu otoritasnya, dia mengkoordinasikan
menteri lain, ada Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), ada Menteri
Perhubungan, ada Menteri Kesehatan, ada Menteri Dalam Negeri, ada Menteri
Keuangan. Perdebatan apakah akan badan atau lembaga atau swasta, adalah
mengulang sejarah yang terjadi tujuh tahun yang lalu pada saat pembahasan
undang-undang itu. Esensi yang penting adalah argumen yang mendasari mengapa
pemerintah mengambil kebijakan ini. Ada beberapa alasan yang mendasari sikap
pemerintah dalam pengambilan kebijakannya:
Sejarah telah memberikan pengalaman yang cukup berharga bagi Indonesia
karena sebelum UU 13/2008 ini, kita telah mencoba seluruh kemungkinan bentuk
penyelengara haji.
Pertama, 1893-Biro perjalanan haji di indonesia masa kolonial: Agen
Herklots dan Firma Alsegoff & co, arsip perjalanan haji sejak abad 19 dan
awal abad 20 menunjukkan bahwa jemaah haji banyak dirugikan sebagai akibat
upaya monopoli, kesederhanaan berfikir jemaah haji, lemahnya pengetahuan
tentang situasi negeri asing. Liku-liku monopoli yang berakibat pada keharusan
membayar biaya lebih mahal, kepercayaan berlebihan pada makelar perjalanan haji
(pilgrim broker) serta rendahnya pengetahuan tentang negara tujuan haji, bukan
saja menjadikan banyak jemaah haji terjebak dalam hidup perbudakan/menjadi kuli
kontrak atau bahkan tertipu sehingga menggunakan gelar haji yang diberikan oleh
agen perjalanan haji tanpa menyadari bahwa jemaah haji yang bersangkutan belum
sampai ke Makkah.
Fluktuasi peminat haji terus menerus meningkat setiap tahunnya. Ketika
pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka kebijaksanaan membolehkan
pihak-pihak swasta turut mensukseskan usaha ini. Tetapi uluran tangan
pemerintah kolonial menjadi bumerang bagi dirinya. Beberapa oknum baik pribumi,
indo eropa ataupun arab dan keturunannya berbondong-bondong mendirikan
biro/firma pemberangkatan–pemulangan jemaah dari Hindia Belanda ke Makkah atau
sebaliknya. Munculnya berbagai biro swasta turut melaksanakan perjalanan
perjalanan haji ini justru dijadikan kedok mengeruk keuntungan dibalik misi
suci yang selalu diserukan tanpa memperhatikan keselamatan haji. Ini yang
banyak dilupakan orang sekarang, lupa bagaimana bisnis biro haji pertama yang
dilakukan oleh agen herllots dan firma alsegoff&co yang hanya mencari
keuntungan dan tak perduli pada jemaahnya sejak 1893an.
Kedua, 1921-Ada upaya pergerakan umat ketika itu untuk melakukan
perbaikan haji yang dipelopori KH Ahmad Dahlan atas keterbatasan fasilitas yang
diberikan Belanda yang kurang bermartabat, yaitu berangkat haji melalui kapal pengakutan
barang yakni Kapal Kongsi Tiga. Jelas namanya saja kapal angkut barang dagangan
tentu jemaah haji akan bersama barang dagangan termasuk hewan ternak ada
didalamnya. Kenyamanan, pasti tidak nyaman. Bagaimana nyaman ketika istirahat
bersamaan dengan barang dan ternak dagangan. Tentu juga kurang merasa aman
dengan situasi seperti itu. Walaupun begitu, tidak mengurangi sedikitpun
keinginan dan niat umat masa itu untuk beribadah haji. Keterbatasan fasilitas
dan masih dalam bayang-bayang imperialisme Belanda tetap saja jemaah haji
Indonesia berangkat dan malah meningkat sejak 1910. Pergerakan perbaikan haji
tersebut, menuntut pengelola Kapal Kongsi Tiga melakukan perbaikan pelayanan
dalam pengangkutan jemaah haji haji. Hingga volksraad (semacam lembaga dewan
pimpinan rakyat Hindia Belanda) mengadakan perubahan pada Pilgrims Ordonantie
(semacam undang-undang tentang haji) pada 1922, berdasarkan masukan dari
diutusnya KH M Sudjak dan M Wirjopertomo ke Makkah oleh Muhammadiyah (berdiri
18 November 1912, Yogyakarta) untuk meninjau dan mempelajari masalah
pengangkutan haji. Hasil tersebut ditetapkan dalam Pilgrims Ordonantie tahun
1922 oleh pemerintah Hindia Belanda.
Ketiga, 1928-Muhammadiyah gencar melakukan sosialisasi perbaikan
layanan haji, sedangkan Nahdhatul Ulama (berdiri 31 Januari 1926 di Jawa Timur)
melakukan hubungan kekerabatan dengan Arab Saudi melalui delegasinya saat itu
KH Abdul Wahab Abdullah dan Syeikh Ahmad Chainaim Al Amir untuk menghadap Raja
Saud untuk meminta diberikan kemudahan dan kepastian tarif haji yang kala itu
diselenggarakan oleh para syeikh, namun tetap tarif ditentukan. Akhirnya 1932, Pilgrim ordinantie 1922 pada
artikel (semacam pasal dalam undang-undang) 22 diubah dengan adanya tambahan
artikel 22a melalui Staatblaad (semacam lembar negara saat itu) Tahun 1932
Nomor 544. Perubahan itu yang memberikan dasar hukum atas pemberian ijin bagi
organisasi bangsa Indonesia yang dapat dipercaya dengan baik (banafide) untuk
mengadakan pelayaran haji dan perdagangan.
Keempat, 1930-Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau
merekomendasikan untuk membangun pelayaran sendiri bagi jemaah haji Indonesia.
Kelima, 1947-Masyumi yang dipimpin oleh KH. Hasjim Asj'ari mengeluarkan
fatwa dalam Maklumat Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947, yang menyatakan bahwa
ibadah haji dihentikan selama dalam keadaan genting.
Keenam, 1948-Indonesia mengirimkan misi haji ke Makkah dan mendapat
sambutan hangat dari Raja Arab Saudi. Tahun itu, Bendera Merah Putih pertama
kali dikibarkan di Arafah.
Ketujuh, 1951-Keppres Nomor 53 Tahun 1951, menghentikan keterlibatan
pihak swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan mengambil alih seluruh
penyelenggaraan haji oleh pemerintah.
Kedelapan, 1952-Dibentuk perusahaan pelayaran PT. Pelayaran Muslim
sebagai satu-satunya Panitia Haji dan diberlakukan sistem quotum (kuota) serta
pertama kali diberlakukan transportasi haji udara.
Kesembilan, 1959-Menteri Agama mengeluarkan SK Menteri Agama Nomor 3170
tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor
A.III/648 tanggal 9 Februari 1959 yang menyatakan bahwa satu-satunya badan yang
ditunjuk secara resmi untuk menyelenggarakan perjalanan haji adalah Yayasan
Penyelenggaraan Haji Indonesia (YPHI).
Kesepuluh, 1960-Keluarnya perturan pertama tentang penyelenggaraan
ibadah haji melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960
Tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. Hal pertama sekali terbentuk Panitia
Negara Urusan Haji, yang selanjutnya disebutkan PANUHAD yang sekarang disebut
PPIH (Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji). Selanjutnya menjadi PPPH (Panitia
Pemberangkatan dan Pemulangan Haji) Tahun 1962 dan selanjutnya dibubarkan pada
tahun 1964 dan kewenangan penyelenggaraan haji diambil alih oleh pemerintah
melalui Dirjen urusan Haji (DUHA).
Kesebelas, 1965-Dikeluarkan Kepres Nomor 122 Tahun 1964 tentang
Penyelenggaraan Urusan Haji PT. Arafat pada tanggal 1 Desember 1964 yang
bergerak di bidang pelayaran dan khusus melayani perjalanan haji (laut). Hanya
mampu memberangkatkan 15.000 jemaah melalui laut.
Keduabelas, 1969-Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969, pemerintah
mengeluarkan kebijakan mengambil alih semua proses penyelenggaraan perjalanan
haji oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena banyaknya jemaah haji yang
gagal diberangkatkan oleh orang-orang atau badan-badan swasta, bahkan calo-calo
yang mengadakan kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan haji.
Ketigabelas, 1975-PT. Arafah mengalami kesulitan keuangan dan pada
tahun 1976 gagal memberangkatkan jemaah haji karena pailit.
Keempatbelas, 1979-Keputusan Menteri Perhubungan No.
SK-72/OT.001/Phb-79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jemaah haji
dengan kapal laut dan menetapkan penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan
dengan pesawat udara.
Kelimabelas, 1985 Pemerintah kembali mengikutsertakan pihak swasta
dalam penyelenggaraan haji.
Keenambelas, 1999-Pertama sekali adanya dasar hukum tentang
penyelenggaraan haji dalam produk hukum Undang-Undang yaitu dengan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji dan memandatkan pelayanan, pembinaan dan perlindungan bagi jemaah haji.
Kuota terbagi menjadi 2, yakni Haji Reguler dan Haji Khusus.
Edward De Bono, berpendapat bahwa makhluk yang paling rasional itu
bukan manusia, melainkan hewan. Hal ini, didukung pula oleh Syekh Nadim Al
Jisr, yang mengatakan, manusia itu lebih sedikit ilmunya dari hewan. Coba saja
perhatikan, kadang-kadang keputusan yang katanya dipikirkan secara rasional,
tapi pada kenyataannya tidak rasional. Begitu juga, masalah perilaku dan
pengetahuan manusia, kita banyak belajar dari perilaku hewan.
Hewan tidak pernah mau mengulang kesalahan yang sama kalau dia salah
masuk kelobang, dia tidak akan mengulangi masuk lobang itu lagi. Hewan dalam
mencoba makananya tidak perlu riset, karena hewan tidak bisa melakukan riset,
sekali dia coba berbahaya maka hal itu tidak akan diulanginya kembali. Jadi dia
melakukan trial and error tapi tidak mengulang kesalahannya kembali. Jadi kalau
kita mau mengulang kesalahan yang jelas-jelas merugikan umat, maka sejarah akan
mencatat bahwa itu adalah perbuatan tidak rasional. Tahun ini, orang yang
berhaji sebanyak 168.800 orang dan pertaruhan ini bukan pertaruhan
sembarangan. Jadi kalau ada ide
swatanisasi atau badan lain di luar Kemenag atau bentuk lain selayaknyalah
untuk membaca sejarah yang telah kita alami. Jaminan penyelenggaraan haji harus
tinggi karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Publik harus mengetahui bagaimana pemerintah telah mencobakan berbagai
sistem ini, dan berujung pada kegagalan. Maka sejak UU 13/2008 diambil sebagai
keputusan, ada dua keputusan kompromi. Penyelenggaraan semuanya ditanggung
pemerintah sebagai tanggungjawabnya, tetapi swasta diberi peran untuk
menyelenggarakan ibadah haji khusus di bawah tanggungjawab pemerintah. Kenapa
pemerintah harus tanggungjawab. Hal ini disebabkan jika terjadi sesuatu hal
yang menimpa jemaah haji seperti mereka tidak dapat pulang tetap pemerintah
akan memulangkannya, kalau ada apa-apa dengan jemaah haji khusus tetap
pemerintah akan bertanggungjawab. Jadi penyelenggaraan tetap menjadi
tanggungjawab pemerintah tetapi operasionalnya kita beri kuasa pada
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji Khusus (PIHK), kalau terjadi permasalahan
kita tetap harus mengambil tanggungjawab itu.
Sering kali orang memutar balikkan tentang persoalan ini yang kita
tidak mengerti belajarnya dimana mereka ini. Selalu mengatakan pemerintah cukup
menjadi regulator, operatornya pihak lain kemudian pemerintah menjadi kembali
pengawas atau supervisor. Tiga kata ini sering dianggap sebagai sesuatu yang
tabu untuk disatukan, yaitu regulator, operator dan supervisor. Argumen ini
sering sekali disampaikan dan sepertinya benar.
Kebijakan publik diwakili oleh dua lembaga yaitu pemerintah dan Dewan
Pimpinan Rakyat (DPR) sebagai pemegang mandat rakyat. Mandat rakyat ini
dituangkan dalam kebijakan publik terbesar tertinggi yaitu pada
undang-undang. Selama undang-undang itu
ada dan itu yang digunakan, tetapi dalam perannya dipisah. Pemerintah adalah
eksekutif, program seluruh kebijakan pemerintah atas nama negara dijalankan
oleh pemerintah. Sedangkan tugas DPR ada tiga. Pertama, menyesepakati
undang-undang sebagai fungsi legeslasinya karena itu adalah agreement politik
tingkat tinggi. Kedua, menyetujui anggaran; dan ketiga, mengawasi kebijakan
itu.
Sepakati dengan pemerintah atas sebuah kebijakan dan melahirkan
undang-undang, yang kedua menyetujui anggarannya, kalau tidak setuju tidak
mungkin pemerintah bisa melakukannya, alokasi anggaran ini lebih pada persetujuan
program. Program dibahas dengan detail baris demi baris sehingga kesepakatan
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dapat diputuskan.
Pengawasan dilakukan untuk kebijakan bukan yang diawasi itu hal-hal
teknis seperti penyewaan rumah, katering, bus ataupun lainnya, karena hal itu
urusan pemerintah. Namun demikian, DPR diperbolehkan dan dipersilhakan untuk
memberikan saran. Pengawasan dilakukan terhadap penyimpangan atau tidak
kebijakan dari yang seharusnya. Pengujian bukan lagi pada operasional, yang
diuji adalah adakah undang-undang yang tidak dijalankan. Fungsi legislasi itu
ada pada DPR dan disahkan apabila pemerintah setuju. Kenapa pemerintah harus
setuju pada undang-undang, karena anggota dewan dipilih oleh rakyat (elected by
the people) dan merupakan wakil rakyat dan yang melakukan directionnya adalah
pemerintah. Pemerintah juga wakil rakyat dibawah direction seorang presiden
yang juga sama sebagai wakil rakyat namun dengan fungsi yang berbeda. Dua
kedudukan ini adalah wakil rakyat yang agreementnya ada di dalam politik
undang-undang.
Sebenarnya, siapakah yang memiliki fungsi regulasi (bukan legislasi).
Regulasi adalah aturan dalam fungsi eksekutif, yang diarahkan untuk mengatur
dirinya atau mengatur publik agar pelaksanaan undang-undang berjalan baik.
Regulasi adalah pengaturan baik untuk mengatur dirinya dalam menjalankan
tugasnya oleh pemerintah maupun mengatur publik berdasarkan undang-undang.
Bagaimana penyelenggaraan ibadah haji ini menjadi baik maka dibuatlah
peraturan. Aturan bagi dirinya dan untuk tugas mengeksekusi ketertiban di
masyarakat. Jadi fungsi regulasi, diminta atau tidak diminta adalah tugas
pemerintah. Diminta atau tidak diminta presiden juga boleh membuat aturan.
Diminta atau tidak diminta menteri juga boleh membuat aturan. Karena secara
inheren melekat fungsi regulatifnya. Jadi regulator itu adalah pemerintah.
Selain itu, siapakah sebenarnya operator. Operator itu tergantung
kepada hajat hidup. Tidak ada di dunia ini yang mendefenisikan bahwa operator
harus juga pemerintah. Pemerintah itu mengeksekusi kebijakan publik, atau
mengoprasikan kebijakan publik. Jadi pemerintah adalah regulator dan pemerintah
adalah operator kebijakan publik. Hanya saja pemerintah tidak perlu bekerja
terlalu banyak. Memilih mana yang paling
penting bagi hajat hidup orang banyak. Karenanya ada dua pilihan. Pertama,
apakah obyek tersebut adalah benda publik. Jika benar merupakan benda publik
maka akan diambil penuh oleh pemerintah. Kedua, tetapi apabila tidak maka
diserahkan kepada publik. Pertanyannya, apakah haji ini adalah hajat hidup
orang banyak, mau menjadi benda publik atau tidak dengan membiarkan masyarakat
mengongkosi dirinya sendiri dan pergi sendiri sama halnya dengan tour ke negara
lain, silahkan saja direnungkan.
DPR memiliki fungsi pengawasan tapi pada kebijakan publik. Kita telah
sepakat negeri ini untuk hal pengawasan terhadap financial dan kinerja adalah
tanggungjawab Badan Pengawas Keuangan (BPK). BPK melakukan pengawasan keuangan
dan kinerja, dia adalah audit agency secara nasional. Haji juga diawasi oleh
Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen)
Kemenag, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), dll. Pengawasan ini lebih berorientasi pada pengawasan operasional haji.
Dalam kerangka pengawasan operasionalnya, kebijakan publik diawasi oleh DPR,
finacial audit diawasi oleh BPK, financial audit dan kinerja performance audit
boleh dilakukan oleh BPKP dan Itjen, dan KPHI melakukan pemantauan dan
pengawasan terhadap operasional haji juga KPK terkait tipikor. Itu sudah
didudukkan oleh undang-undang dan pemerintah memandatkan pada unit-unit itu.
Apa pengawasan internal pemerintah, pengawasan internal pemerintah untuk
dirinya sendiri. Dengan kata lain, penyelenggara ibadah haji boleh memonitor
dan boleh mengevaluasi.
Jadi kita sudah mendudukkan konstruksi ini dan tidak ada yang
memperdebatkan lagi. Jadi kalau ada yang mengatakan pengawasan oleh pemerintah,
operatornya oleh pihak luar dan regulatornya oleh pemerintah, hal ini juga
diragukan kebenarannya. Argumen ini ada karena mungkin belum membedah
penyelenggaraan haji dari sejarah dan proses ke arah civilization.
Pengawasan kebijakan publik ada di DPR, kebijakan khusus tentang
financial itu ada di BPK, financial dan performance kepada BPKP dan Itjen,
untuk operasional haji ada pada KPHI. Inilah kedudukan yang harus disampaikan
kepada publik tentang kedudukan pengawas haji.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) boleh mengawasi, tidak ada kewenangan
pengawasan oleh DPD, KPK juga mengawasi, dia hanya mengawasi aspek tipikor,
kadang-kadang mungkin juga ada DPRD ikut, ada LSM, silahkan saja. Akan tetapi
sejatinya harus memahami tiga bentuk ini, siapa regulator, operator dan
supervisor. (ar/ar)