![]() |
Subdit Advokasi Haji Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI Foto: haji.kemenag.go.id |
“Kita lupa, bahwa parameter peningkatan pertumbuhan waiting list itu banyak faktor. Seperti hasrat dan keinginan untuk berhaji dan difasilitasi lembaga keuangan dengan aneka bentuk dan ragam pembiayaan dan pegadaian. Dengan kata lain berhutang,” kata Abdurrazak Al Fakhir (Abu Zak) Kasubdit Advokasi Haji dilaman haji.kemenag.go.id, Selasa (04/07/2017).
Ada dua aspek yang harus dianalisa sebelum keinginan haji dipilih melalui pembiayaan alias hutang. “Analisa dahulu mudaratnya, baru manfaatnya,” kata Abu Zak.
Pertama kata Abu Zak, apakah boleh berhaji dengan perolehan biaya didapat dari berhutang. Katakanlah boleh, apakah ada jaminan kita dapat mengembalikan hutang itu nantinya. “Hutang tidak dilarang, namun tidak juga dianjurkan. Bukankah Nabi Saw tidak pernah menganjurkan kita umat Islam untuk berhutang, apalagi berhutang untuk haji?
Katanya lagi yang kedua adalah apabila latah berhutang untuk berhaji menjadi sebuah gaya baru dan difasilitasi oleh lembaga keuangan maka bagaimana dengan pertumbuhan untuk waitinglist mendatang. Saat ini saja waiting list haji sudah kisaran 3 jutaan orang, jika budaya hutang menjadi gaya baru dalam berhaji maka pertumbuhan waiting list akan semakin tinggi.
Ini belum berbicara pada ketepatan atas akad. Misalkan ada lembaga keuangan memberikan pembiayaan untuk memperoleh nomor porsi. Abu Zak mengingatkan harus tepat akadnya, “Saat ini ada Badan Pengelola Keuangan Haji. Tentu ada ujrah yang diperoleh jamaah haji (manfaat setoran awal). Jangan sampai hak manfaat setoran awal tidak dapat dijadikan koreksi aritmatika untuk pengurang kewajiban jamaah atas hutangnya kepada lembaga keuangan itu,” Katanya.
Secara kelembagaan, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus peka atas produk pembiayaan, pegadiaan yang menjadikan haji sebagai brandingnya. “Saya kira OJK juga harus melakukan pemantauan, jangan sampai kebablasan itu lembaga keuangan, ini mempertaruhkan yang erat kaitannya dengan syariah Islam dalam hal ini haji. MUI juga hendaknya melihat pergerakan gaya baru ini agar ada fatwa yang jelas bagaimana aturan main soal pembiayaan, pegadaian terkait tentang setoran awal biaya haji ini,” kata Abu Zak.
Abu Zak juga mengingatkan bahwa kepekaan ini akan menjadikan Kementerian Agama dapat membuat regulasi yang tepat untuk meminimalisir persoaan yang akan terjadi mendatang. Lebih baik mencegah daripada mengobati, mencegah bukan berarti melarang, namun ada aturan main yang jelas, tepat dan tegas nantinya. Jadi pendapat dari OJK dan MUI penting, agar jangan sampai suatu saat nanti Kementerian Agama jadi sasaran kritik karena diaggap kurang tanggap terhadap situasi. “Insya Allah Subdit Advokasi Haji akan menyelenggarakan diskusi terkait ini, agar potensi permasalahan yang akan timbul dapat ditekan,” ujarnya.
“Perlu duduk bersama untuk membahas hal ini secara khusus. Kalau pun nantinya ini dianggap adalah hal yang sedikit mudarat dan banyak manfaat maka tentu beban biaya bunga atau ujrah (istilah konvesional/istilah syariah) pinjaman setidaknya harus diturunkan. Misalkan bunga atau ujrah khususlah yang diberlakukan, bukan bunga atau ujrah konsumtif pada umumnya. Jadi ada unsur tolong-menolong dalam kebaikan di dalamnya,” kata Abu Zak. (ar/ar)