![]() |
Affan Rangkuti |
“Setelah kami pelajari RUU tersebut, kami melihat RUU Haji dan Umrah inisiatif DPR seperti memaksakan kehadiran Badan Haji dan entitas lainnya seperti ada Mahkamah Amanah Haji. Ada juga tercantum asosiasi di dalam RUU tersebut. Dasar hukum asosiasi haji umrah saja masih dipertanyakan, ini malah masuk dalam RUU haji,” tuturnya kepada warkoppublik di Jakarta, Senin (20/6/2016).
Ia menyebutkan, Kementerian Agama (Kemenag) dalam menyelenggarakan haji sudah teruji secara fakta dan kenyataan berhasil. Hal itu berdasarkan catatan lima tahun terakhir tingkat kepuasan jamaah hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).
Tahun 2011 rata-rata BPIH sebesar USD$3.533 kepuasan 83.31%. Tahun 2012 rata-rata BPIH sebesar USD$3.613 kepuasan 81.32%. Tahun 2013 rata-rata BPIH sebesar USD$3.528 kepuasan 82.69%. Tahun 2014 rata-rata BPIH sebesar USD$3.219 kepuasan 81.52%. Tahun 2015 rata-rata BPIH sebesar USD$2.717 kepuasan 82.69%. Tahun 2016 rata-rata BPIH sebesar USD$2.585 kepuasan ditarget naik capai 83-84%.
“Jadi, untuk apa ada Badan Haji dan entitas lainnya yang ada di dalam RUU haji umrah itu. Kementerian Agama dari dulu sudah baik dan teruji dalam menyelenggarakan haji,” tegasnya.
Ia menjelaskan, dipersoalkannya Kementerian Agama yang hanya cukup menjadi regulator sementara operatornya adalah pihak lain, Affan menjawab itu argumen sempit. Argumen ini sering sekali disampaikan dan sepertinya benar menurut pihak-pihak yang berkepentingan.
Menurutnya, kebijakan publik diwakili oleh dua lembaga, yaitu, pemerintah dan Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) sebagai pemegang mandat rakyat. Mandat rakyat ini dituangkan dalam kebijakan publik terbesar tertinggi yaitu pada undang-undang.
Fungsi legislasi itu ada pada DPR dan disahkan apabila pemerintah setuju. Kenapa pemerintah harus setuju pada undang-undang, karena anggota dewan dipilih oleh rakyat dan merupakan wakil rakyat dan yang melakukan directionnya adalah pemerintah.
Pemerintah juga wakil rakyat dibawah direction seorang presiden yang juga sama sebagai wakil rakyat, namun dengan fungsi yang berbeda. Dua kedudukan ini adalah wakil rakyat.
Sebenarnya, siapakah yang memiliki fungsi regulasi (bukan legislasi). Regulasi adalah aturan dalam fungsi eksekutif, yang diarahkan untuk mengatur dirinya atau mengatur publik agar pelaksanaan undang-undang berjalan baik.
Bagaimana penyelenggaraan ibadah haji ini menjadi baik maka dibuatlah peraturan. Aturan bagi dirinya dan untuk tugas mengeksekusi ketertiban di masyarakat. Jadi fungsi regulasi, diminta atau tidak diminta adalah tugas pemerintah. Diminta atau tidak diminta presiden juga boleh membuat aturan. Diminta atau tidak diminta menteri juga boleh membuat aturan. Karena secara inheren melekat fungsi regulalifnya.
Selain itu, siapakah sebenarnya operator. Operator itu tergantung kepada hajat hidup. Pemerintah itu mengeksekusi kebijakan publik, atau mengoprasikan kebijakan publik. Jadi pemerintah adalah regulator dan pemerintah adalah operator kebijakan publik.
Memilih mana yang paling penting bagi hajat hidup orang banyak. Karenanya ada dua pilihan. Pertama, apakah obyek tersebut adalah benda publik. Jika benar merupakan benda publik maka akan diambil penuh oleh pemerintah. Kedua, tetapi apabila tidak maka diserahkan kepada publik.
Pertanyannya, apakah haji ini adalah hajat hidup orang banyak, mau menjadi benda publik atau tidak dengan membiarkan masyarakat mengongkosi dirinya sendiri dan pergi sendiri sama halnya dengan tour ke negara lain.
“Lantas apa yang perlu dipersoalkan jika Kementerian Agama sebagai penyelenggara haji? Jika kekurangan menjadi penyebabnya, ini hanya sepihak. Kekurangan adalah keniscayaan. Semua urusan pasti ada kekurangan. Kekurangan menjadi bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik. Dan ini sudah dilakukan oleh Kementerian Agama dalam penyelenggaraan haji yang peningkatan layanan terus dilakukan,” ungkap Affan.
Pengamat ekonomi syariah alumni Pascasarjana UIKA Bogor ini juga mengkritik “Kalau dipaksakan ada Badan Haji ada Mahkamah Amanah Haji, keterlibatan asosiasi haji umrah maka apa jaminannya penyelenggaraan haji itu lebih baik dari apa yang dilakukan Kementerian Agama. Lalu, ternyata jika tidak lebih baik dari Kementerian Agama maka kepada siapa umat Islam protes dan siapa yang akan bertanggungjawab,” imbuhnya.
Lanjutnya lagi, pemerintah itu dalam penyelenggaran haji tidak bicara penghasilan. Tapi, sebaliknya pemerintah berupaya dengan segala tenaga memperkuat, mempertebal keimanan, membangun nilai-nilai kemanusian untuk membantu meningkatnya kesejahteraan ekonomi serta saleh pribadi dan sosial jemaah dan mengajarkan arti toleransi beragama.
Badan beda dengan kementerian. Kalau ada yang mengatakan badan adalah bagian dari kementerian, ya beda. Badan ya tetap badan. Tulisannya saja beda, “badan” dan “kementerian”.
“Jadi, sampai kapan pun, ya, PB Al Wasliyah akan tetap menolaknya. Titik. Kecuali, ada yang bisa menjamin bahwa badan itu berhasil menyelenggarakan tugasnya melebihi penyelenggaraan yang telah dilakukan Kementerian Agama saat ini. Ketika ada yang menjamin itu, maka lain cerita. Buat jaminan secara tertulis hitam di atas putih kepada umat Islam. Jangan besok-besok terjadi masalah maka umat Islam (calon/jemaah haji) yang jadi korban percobaan. Ini menyangkut nasib jutaan calon jemaah haji,” tutupnya. (mas/ar)