
Berlakunya
UU Nomor 17/1999 yang dan selanjutnya diamandemen menjadi UU Nomor 13/2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, menjadikan living cost adalah keniscayaan dengan penetapan nilai sebesar 1.500
real yang diberikan kepada masing-masing jemaah. Terakhir pemberian living cost dalam bentuk rupiah sebesar
4 juta rupiah dilakukan pada tahun 1998.
Pemberian living cost itu bukanlah kebaikan
pemerintah, namun diambil dari setoran lunas jemaah haji. Artinya setoran lunas
jemaah haji, ketika akan berangkat akan dikembalikan sebesar itu.
Mungkin
lebih tepat living cost ini adalah
dana ditahan. Seolah terlihat pemerintah berbaik hati kepada jemaah haji,
padahal dana tersebut adalah bahagian dana setoran lunas yang dikembalikan
kepada jemaah. Mungkin saja saat sebelum 2001, pemerintah menilai bahwa jemaah
haji perlu dijamin memiliki uang bekal saat melakukan perjalanan, namun pada
era sekarang semua sudah berubah dari segala aspek.
Model
pengembaliannya cenderung berasas penukaran valuta asing (valas). Setoran awal
dilakukan dengan rupiah, pelunasan dilakukan dengan dollar dan pengambalian
dana ditahan yang disebut dengan living
cost dalam bentuk real.
Ada yang
sedikit menggelitik, mengapa pemerintah berasasakan valas seperti ini. Ada
baiknya kita lihat sejarah biaya penyelenggaraan ibadah haji sebelum tahun
2001, untuk menjadi bahan kajian sebelum menetapkan sebuah kebijakan.
Penyelenggaraan
haji sebelum tahun 2001 biayanya ditetapkan dalam rupiah bahkan living cost-nyapun juga dalam bentuk
rupiah. Sejak tahun 2001 sd sekarang biaya penyelenggaan ibadah haji ditetapkan
dalam dollar dan living cost-nya
dalam bentuk real.
Proses valas
ini memiliki implikasi terutama pada kecenderungan apresiasi mata uang asing
terhadap rupiah dan margin lembaga finance atas komisi pertukaran mata uang
asing saat pemberian living cost
dalam bentuk real. Bisa mencapai 1 persen atau lebih komisi uang asing akan
menambah beban pertukaran mata uang tersebut.
Arab Saudi
pada tiga wilayah kunjungan perjalanan ibadah haji (Jeddah-Makkah-Madinah)
dalam satu waktu musim haji adalah tempat berkumpulnya jemaah haji dari seluruh
dunia. Mata uang negara yang dibawa jemaah haji berlaku dan menjadi nilai tukar
yang sah setidaknya pada saat itu.
Cina salah
satu contoh negara yang menganut sistem living
cost. Biaya penyelenggaraan ibadah haji di negeri tirai bambu ini sebesar
25.000 yuan renminbi. Jemaah haji Cina diberikan penyelenggaranya sebesar
5.000 yuan reminbi, diberikan dalam mata uang yuan reminbi dan saat jemaah hajinya
tiba di Arab Saudi.
Ada baiknya
pemerintah meniru pola living cost jemaah haji Cina. Setidaknya existensi rupiah
dicintai oleh bangsa sendiri di negeri lain, potensi kebocoran, biaya komisi
uang asing, dan menekan laju inflasi.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait living cost ini. Pertama, living
cost ditiadakan maka dipastikan biaya haji akan semakin murah. Kedua, living
cost diberikan maka diberikan langsung oleh pihak perbankan saat keberangkatan
jemaah haji. Pemberiannyapun dalam bentuk dollar, real atau dalam rupiah sesuai
kurs saat pelunasan dilakukan. Ketiga, jika living cost diberikan maka
diberikan dalam bentuk kartu merchant yang sudah bekerjasama dengan seluruh
gerai market yang berada di Arab Saudi, untuk yang ini perlu waktu terkait
kemampuan berfikir jemaah yang tidak sama dampak dari keragaman jemaah itu
sendiri. Salam Muhasabah. (ar/ar)