![]() |
Isarah Al Washliyah Foto: Isarah AW |
Arab Saudi sudah gerah dan merasa terancam dengan wacana tersebut. Harusnya pemerintah Arab Saudi melakukan tujuh hal besar agar wacana itu tidak terus digulirkan.
Pertama, melakukan reformasi dan lebih kemuslimam terhadap managemen penyelenggaraan haji dan umrah. Baik pada aspek kelembagaan dan sistem. Juga reformasi di internal kelembagaan kedutaannya.
Kedua, membuktikan janji-janjinya seperti transparan atas musibah Mina 2015 dan santunan korban crane 2015.
Ketiga, komitmen dengan keputusan OKI 1987 dalam hal kuota.
Keempat, membuat kenyamanan beribadah dengan tidak arogan kepada jemaah saat beribadah. Beritikad kuat dalam silaturrahim dan tidak melecehkan dan anggap enteng dengan ulama di luar Arab Saudi.
Kelima, menertibkan sistem dan pola penentuan harga terkait haji dan umrah sehingga harga tidak menjadi liar dan monopoli.
Keenam, mengakomodir kepentingan mazhab dalam menjalankan ibadah.
Ketujuh, membuka ruang dengan seadilnya dalam menyampaikan data kuota haji yang riil.
Selama masih ada hal yang tertutupi, dan kurang menyamankan maka selama itu juga wacana internasionalisasi haji dan umrah akan terus bergulir.
Jika alasan menolak dikarenakan Dua Kota Suci adalah wilayah kedaulatan Arab Saudi, alasan ini adalah alasan secara 'De Jure'. Namun secara 'De Facto' Dua Kota Suci adalah tujuan seluruh Muslim. Tidak akan ada yang akan datang ke Arab Saudi untuk ibadah haji dan umrah apabila Dua Kota Suci itu bukan berada di sana. Jadi, analogi dengan perumpamaan dengan Masjid Istiqlal dinilai analoginya adalah analogi yang garing.
Apalagi mengajak seluruh muslim menolak wacana itu. Muslim yang mana yang mau diajak. Kalau boleh jujur, tidak semua muslim menyenangi Arab Saudi dengan layanannya yang terkesan angkuh itu. (Affan Rangkuti, Dewan Pakar Isarah Al Washliyah)