Running Text
Rabu, 31 Desember 2014
Jumat, 05 Desember 2014
Pil Sakit Jiwa Kerajaan Dag Dig Dud Der
Jakarta (WarkopPublik)--Konon, di negeri antah berantah terdapatlah sebuah kerajaan besar dan makmur yang bernama Kerajaan Dag Dig Dug Der. Besar karena luasnya wilayah kerajaan tersebut baik darat maupun lautnya. Makmur, karena banyaknya sumberdaya alam yang dikandung di bumi kerajaan tersebut.
Namun kebesaran dan kemakmuran kerajaan tersebut tidak membawa rakyatnya untuk terikut kemakmuran itu. Entah apa sebab, tak ada yang tahu, bahkan rakyatnya sendiri saja bingung mengapa hidup mereka tidak sebesar dan semakmur kerajaannya yang selama ini sangat dibanggakan.
Akhirnya, karena kebingungan dan kebanyakan energi yang terkuras memikirkan itu semua akhirnya semua rakyat menderita penyakit jiwa mungkin akibat banyaknya urat syaraf yang putus urat karena berfikir berlebihan setiap hari. Yah, berfikir hidup, berfikir masa depan, berfikir cari kerja, berfikir penyakit sosial, berfikir harga pada naik, multi berfikirlah pokoknya.
Hanya keluarga istana, para menteri, patih, dan laskar kemanan yang saat itu masih waras. Akhirnya, seluruh perintah yang diinstruksikan raja kepada mereka untuk disampaikan kepada rakyat tidak dapat berjalan karena rakyatnya semuanya telah sakit jiwa. Rakyat hanya tertawa manakala para menteri menyampaikan instruksi dari Paduka Raja, malah adakalanya disoraki.
Raja bingung, dan mengumpulkan seluruh para menteri, patih dan petinggi kemanan untuk mendapatkan masukan dalam menstabilkan kondisi ini. Semuanya tidak dapat memberikan pendapat dan masukan, jalan buntu.
Eh, ditengah kebingungan tersebut sontak semua yang hadir terkejut karena tukang kebersihan istana yang kebetulan sedang membersihkan meja makan mengatakan, “Maaf beribu maaf paduka, izinkan hamba untuk memberikan pendapat, apakah diizinkan paduka?”
Rajapun menjawab dengan wajah keraguan, “Silahkan dan jangan lama-lama!” Tukang kebersihan itu menjawab,”Walaupun ini bukan urusan hamba, namun ada baiknya paduka raja dan seluruh para menteri serta petinggi kemanan dan keluarga istana meminum sebuah pil untuk menstabilkan kondisi ini.”
“Pil apa itu hayooo sebutkan!” Bentak raja. “Pil untuk menjadi orang sakit jiwa paduka raja," Jawab tukang kebersihan dengan polosnya. “Karena kalau orang waras memimpin rakyat yang yang sakit jiwa atau sebaliknya pemimpin yang sakit jiwa memimpin rakyat yang waras maka tidak akan ada gunanya,” Tambah tukang kebersihan itu.
"Wah, bagus juga idenya. Para menteri, hayo lakukan penelitian dan secepatnya diproduksi pil itu. Agar segera kita konsumsi," perintah raja pada menterinya. (ar/ar)
Kamis, 04 Desember 2014
Usia Nikah, Upsss Ntar Dulu Ada Aturan Hukumnya Loh!
Jakarta (WarkopPublik)--Usia Nikahpun di atur. Kemerdekaan seseorang untuk menentukan haknya semakin terampas oleh pengaturan pernikahan dengan batas usia minimal. Entah apa makud dari ini semua, apakah bermaksud baik atau sebaliknya ada maksud lainnya. Hukum berlaku general dan bukan parsial. Baik jika pada keluarga yang mampu yang tingkat sosialnya ada, tentu mengejar pendidikan setinggi gunung dan karir setinggi langit menjadi tujuan. Komitmen "nikah" menjadi sebuah momok yang menakutkan dan tingkat kuatir yang tinggi penyebab gagalnya tujuan itu. Namun, bagaimana dengan keluarga lainnya? yang hanya bersandar atas hidup pas-pasan dan seolah anak menjadi beban bagi keluarga dan secepatnya untuk dinikahkan jika sudah akhir baliqh. Belum lagi, jika terjadi hubungan diluar nikah yang berdampak kepada kehamilan, sebagai akibat terbukanya media teknologi informasi dengan manfaat dan mudharatnya.
Semula berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut prasa batas 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria, kini prasa tersebut digugat untuk menjadi 18 dan 21 tahun karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sontak saja, terjadi pro dan kontra atas penggugatan ini yang sekarang sedang dilakukan persidangan untuk menguji Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi.
Silahkan perdebatkan prasa tersebut, hanya saya pribadi memberikan masukan bahwa, analisis dari semua aspek dan tidak hanya berbicara pada aspek agama ataupun konstitusi. Namun analisis juga dari aspek fakta dan realitas yang ada, agar jangan sampai hukum tersebut justru menjadi memasung kebebasan terutama pada seorang wanita. Jika seorang anak yang berusia 15 tahun, disebabkan faktor ekonomi, under control teknologi informasi berkeinginan bulat untuk menikah apakah belum hamil atau sudah hamil, kemudian menjadi terhalang oleh hukum yang sedang diperdebatkan ini dan selanjutnya anak tersebut bunuh diri, maka Anda-Anda yang menyusun hukum itulah orang yang paling bertanggungjawab.
Saya yakin, penyusun hukum tersebut pasti semuanya orang yang mampu baik harta maupun ilmu, sesekali ajaklah orang yang hidupnya miskin untuk ikut menyusun hukum itu agar Anda tahu bahwa pendapat Anda belum tentu dapat diterima oleh mereka. (ar/ar)
Langganan:
Postingan (Atom)