Jakarta (WarkopPublik)---Secara hukum penyedia jasa travel (perjalanan) haji/umrah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Penyedia jasa travel (perjalanan) haji/biro perjalanan haji dikenal sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 15 UU 13/2008, yakni pihak yang menyelenggarakan ibadah haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus. Adapun ketentuan yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara ibadah haji khusus yaitu Pasal 40 UU 13/2008:
a. menerima pendaftaran dan melayani jemaah haji khusus yang telah terdaftar sebagai jemaah haji;
b. memberikan bimbingan ibadah haji;
c. memberikan layanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan secara khusus; dan
d. memberangkatkan, memulangkan, melayani jemaah haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah haji.
Berdasarkan Pasal 64 ayat (1) UU 13/3008, sanksi bagi penyelenggara ibadah haji khusus yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan penyedia jasa travel (perjalanan) umrah/biro perjalanan umrah dikenal sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sebagaimana disebut dalam Pasal 43 ayat (2) UU 13/2008, yakni dilakukan oleh pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh menteri. Adapun ketentuan yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara perjalanan ibadah umrah yaitu Pasal 45 ayat (1) UU 13/2008:
a. menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan;
b. memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan
d. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) UU 13/2008, penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 45 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apabila penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah tersebut tidak memberikan pelayanan kepada jemaah haji/umrah terkait keberangkatan padahal telah terdapat perjanjian tertulis yang disepakati, maka langkah hukum yang dapat dilakukan oleh calon jemaah haji/umrah yang dirugikan adalah dengan melaporkannya kepada pihak berwenang atas dasar pelanggaran pasal-pasal dalam UU 13/2008.
Selanjutnya mengenai penipuan. Untuk mengetahui apakah penyedia jasa travel (perjalanan) haji/umrah itu melakukan penipuan atau tidak, maka kita perlu mengetahui unsur-unsur suatu tindak pidana penipuan.
Untuk itu, kita mengacu pada Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penipuan yang berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Menurut R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan ini dinamakan penipuan. Penipu itu pekerjaannya (1) membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, (2) maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, (3) membujuknya itu dengan memakai: (a) nama palsu atau keadaan palsu atau, (b) akal cerdik (tipu muslihat) atau, (c) karangan perkataan bohong.
Mengacu pada pasal ini, apabila pihak yang menyelenggarakan perjalanan ibadah haji/umrah tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP, yakni secara melawan hukum dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dan menggerakkan calon jemaah haji/umrah untuk menyerahkan sesuatu kepadanya (misalnya mentransfer sejumlah uang) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, maka langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan adalah menuntut secara pidana penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah atas dasar tindak pidana penipuan.
Calon jemaah haji/umrah yang dirugikan dapat pula melaporkan penyelenggara perjalanan haji/umrah berdasarkan tindak pidana penipuan seperti yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP. Sebagai contoh, dapat mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Barabai Nomor : 224 / Pid.B / 2012 / PN.Brb.
Dalam putusan tersebut diketahui bahwa Terdakwa mewakili biro perjalanan haji/umrah PT Lintas Ziarah Sahara, menawarkan promo ibadah umrah kepada Saksi Korban hanya sebesar Rp.11.250.000,- (sebelas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan tidak ada akan penambahan biaya apapun, sampai pada saat pemberangkatan. Akan tetapi pada kenyataanya Terdakwa meminta tambahan biaya sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada Saksi Korban, dan Saksi Korban sampai sekarang tidak jadi berangkat umrah, sehingga Terdakwa telah membohongi Saksi Korban dengan maksud dan tujuan untuk menguntungan diri sendiri. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, majelis hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana disebut dalam Pasal 378 KUHP dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 10 (sepuluh) hari.
Dengan demikian, pada dasarnya calon jemaah haji/umrah yang dirugikan oleh pihak penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah terkait keberangkatan dapat melakukan penuntutan pidana berdasarkan UU 13/2008 karena sudah ada pengaturannya dalam UU tersebut. Akan tetapi, dalam praktiknya, calon jemaah haji/umrah yang dirugikan dapat pula menuntut berdasarkan KUHP tentang tindak pidana penipuan.
Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat dipakai untuk menjerat Penyelenggara Haji Khusus dan Penyelenggara Umrah yang tidak memiliki izin sebagai penyelenggara. Ini diperkuat dengan Pasal 63 ayat (1) UU 13/2008, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan/atau sebagai penerima pendaftaran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dan ayat (2) UU 13/2008, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (rilis/ar)
a. menerima pendaftaran dan melayani jemaah haji khusus yang telah terdaftar sebagai jemaah haji;
b. memberikan bimbingan ibadah haji;
c. memberikan layanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan secara khusus; dan
d. memberangkatkan, memulangkan, melayani jemaah haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah haji.
Berdasarkan Pasal 64 ayat (1) UU 13/3008, sanksi bagi penyelenggara ibadah haji khusus yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan penyedia jasa travel (perjalanan) umrah/biro perjalanan umrah dikenal sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sebagaimana disebut dalam Pasal 43 ayat (2) UU 13/2008, yakni dilakukan oleh pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh menteri. Adapun ketentuan yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara perjalanan ibadah umrah yaitu Pasal 45 ayat (1) UU 13/2008:
a. menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan;
b. memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan
d. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) UU 13/2008, penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 45 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apabila penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah tersebut tidak memberikan pelayanan kepada jemaah haji/umrah terkait keberangkatan padahal telah terdapat perjanjian tertulis yang disepakati, maka langkah hukum yang dapat dilakukan oleh calon jemaah haji/umrah yang dirugikan adalah dengan melaporkannya kepada pihak berwenang atas dasar pelanggaran pasal-pasal dalam UU 13/2008.
Selanjutnya mengenai penipuan. Untuk mengetahui apakah penyedia jasa travel (perjalanan) haji/umrah itu melakukan penipuan atau tidak, maka kita perlu mengetahui unsur-unsur suatu tindak pidana penipuan.
Untuk itu, kita mengacu pada Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penipuan yang berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Menurut R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan ini dinamakan penipuan. Penipu itu pekerjaannya (1) membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, (2) maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, (3) membujuknya itu dengan memakai: (a) nama palsu atau keadaan palsu atau, (b) akal cerdik (tipu muslihat) atau, (c) karangan perkataan bohong.
Mengacu pada pasal ini, apabila pihak yang menyelenggarakan perjalanan ibadah haji/umrah tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP, yakni secara melawan hukum dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dan menggerakkan calon jemaah haji/umrah untuk menyerahkan sesuatu kepadanya (misalnya mentransfer sejumlah uang) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, maka langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan adalah menuntut secara pidana penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah atas dasar tindak pidana penipuan.
Calon jemaah haji/umrah yang dirugikan dapat pula melaporkan penyelenggara perjalanan haji/umrah berdasarkan tindak pidana penipuan seperti yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP. Sebagai contoh, dapat mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Barabai Nomor : 224 / Pid.B / 2012 / PN.Brb.
Dalam putusan tersebut diketahui bahwa Terdakwa mewakili biro perjalanan haji/umrah PT Lintas Ziarah Sahara, menawarkan promo ibadah umrah kepada Saksi Korban hanya sebesar Rp.11.250.000,- (sebelas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan tidak ada akan penambahan biaya apapun, sampai pada saat pemberangkatan. Akan tetapi pada kenyataanya Terdakwa meminta tambahan biaya sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada Saksi Korban, dan Saksi Korban sampai sekarang tidak jadi berangkat umrah, sehingga Terdakwa telah membohongi Saksi Korban dengan maksud dan tujuan untuk menguntungan diri sendiri. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, majelis hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana disebut dalam Pasal 378 KUHP dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 10 (sepuluh) hari.
Dengan demikian, pada dasarnya calon jemaah haji/umrah yang dirugikan oleh pihak penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah terkait keberangkatan dapat melakukan penuntutan pidana berdasarkan UU 13/2008 karena sudah ada pengaturannya dalam UU tersebut. Akan tetapi, dalam praktiknya, calon jemaah haji/umrah yang dirugikan dapat pula menuntut berdasarkan KUHP tentang tindak pidana penipuan.
Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat dipakai untuk menjerat Penyelenggara Haji Khusus dan Penyelenggara Umrah yang tidak memiliki izin sebagai penyelenggara. Ini diperkuat dengan Pasal 63 ayat (1) UU 13/2008, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan/atau sebagai penerima pendaftaran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dan ayat (2) UU 13/2008, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (rilis/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar