![]() |
Karl Marx in 1875. Foto: Wikipedia |
"Hai, apa kabar? Doakan saya ya. Saya ikut seleksi jadi pejabat nih," kata kerabat si Polan.
Si Polan tidak kaget dengan kabar itu. Dengan tegas dia mengatakan, "Kalau mau jadi harus ada sesuatu yang penting. Tanpa itu, percuma," kata si Polan.
"Oh ya, apa itu," selidik kerabat si Polan.
Si Polan pun menjawab, "Mau tahu apa itu? Nekad. Doa, usaha, ikhtiar dan nekad."
Lanjutnya, dengan nekad akan ada kepuasan tersendiri saat kalah dalam seleksi. "Mau jadi pejabat ya harus sadar diri. Seleksi itukan cuma ecek-ecek. Nepotisme yang dibungkus dengan kata seleksi. Pemenang seleksi sudah ditentukan kok," kata si Polan.
"Lalu bagaimana merubah yang sudah ditentukan itu?" Kata kerabatnya lagi.
Dengan serius si Polan menjawab, "Lakukan aksi massa. Lakukan keributan. Tuntut keadilan, keseimbangan antar kelas. Jangan kelas-kelas itu saja yang dapat."
Kalau pun tetap kalah ya setidaknya ada kepuasan dan keberanian menentukan sikap. Daripada jadi keset kaki sepanjang hayat.
Lebih baik kalah tapi puas daripada menang tapi tersandera. "Ada sikap bahwa dalam struktur harus ada keseimbangan. Jangan kelas-kelas itu saja yang jadi," kata si Polan.
Lanjut si Polan, kalau mau hayo kita gelar aksi. Kita buat keributan agar menjadi perhatian bahwa ada ketidakberesan dalam keseimbangan. "Kalau tidak mau maka gantung baju saja, tidak usah ikut seleksi. Sudah muak kita dengan itu. Harus ada perubahan, harus ada keseimbangan," tegas si Polan. (ar/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar