![]() |
Ilustrasi group 'paduan suara' rakyat Foto: berdikarionline.com |
Selintas, bagi para pemerhati perjalanan suci haji umrah akan memuarakan pandangannya disaat duit haji yang mencapai 100 triliun rupiah akan dikelola BPKH. Duit haji ini akan terus mengalami peningkatan searah dengan pertumbuhan angka pendaftar peserta haji. Duit yang sebelumnya dikelola Kemenag, namun sudah berganti 'Tuan' yakni BPKH.
Tidak ada cerita yang menarik untuk diperbincangkan dan membahagiakan selain cerita 'Parfum Cap BI'. Aroma parfum yang khas yang menjadi tujuan manusia di bumi ini bangun pagi dan bergegas beraktivitas. Persoalan pun sulit dilepaskan dari aroma parfum yang satu ini.
Masih anyar dalam perbincangan soal berpindahnya urusan jaminan produk halal. Sertifikasi halal akan dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang kewenangannya di bawah Kemenag.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) agaknya harus ikhlas. Lembaganya para alim ulama itu harus menyerahkan kewenangan menerbitkan sertifikasi halal kepada BPJPH. Namun, MUI masih dilibatkan dalam pemberian fatwa halal maupun haram. Mau bagaimana lagi, BPJPH merupakan lembaga yang pembentukannya merupakan mandat UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Begitu juga dengan Kemenag yang harus ikhlas melepas duit lebih kurang 100 triliun rupiah. Karena BPKH adalah lembaga yang wajib dibentuk sesuai UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Siapa inisiator UU itu tak perlu dikulik, pastinya UU itu sudah disahkan.
Memang ikhlas adalah suatu sikap yang mesti berjalan. Apakah ikhlas itu sungguh-sungguh atau hanya ikhlas yang terbungkus dengan senyum manis, hanya diri sendiri dan Pemilik diri itulah yang tahu.
Tetapi, masih ada harapan di luar sana. Harapan untuk lebih intervensi soal urusan perjalanan umrah. Duitnya tidak sedikit, lebih kurang 17 triliun belanja masyarakat tersedot di usaha perjalanan suci ini. Akan semakin tinggi jika lembaga keuangan bank dan non bank masif memainkan perannya dengan produk pembiayaan. Bagaimana Kemenag memainkan peran nya, ditunggu saja dalam episode dan lembar-lembarnya esok lusa.
Tak pernah ada teori ekonomi yang mengatakan aktivitas ekonomi industri itu murni charity. Tidak ada itu, namanya industri apakah jasa atau barang pasti tujuannya duit. Ekonomi arus dua sektor, tiga sektor dan empat sektor pasti bicara duit. 17 triliun rupiah itu duit, dan jika Kemenag hanya menjadi 'penonton' itu sangat disayangkan. Urusan pendidikan yang tercatat sebagai urusan yang menguasai hajat hidup orang banyak saja ada yang diselenggarakan pemerintah dan tidak sedikit yang diselenggarakan swasta. Kecuali, jika perjalanan suci umrah ini disepakati bukan hal yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Tersiar kabar, katanya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sedang menggodok sampai tuntas perubahan UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dewan yang terhormat ini semoga tidak menjadi tempat 'paduan suara' wakil rakyat. 'Paduan suara' yang bisa saja 'memekak kan' telinga rakyat karena suaranya yang 'sumbang'. Group 'paduan suara' itu beberapa waktu lalu telah 'merilis tembang terbarunya' hingga Perppu 2/2017 menjadi Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Semoga lah mereka yang punya suara di sana memposisikan sedikit saja diri dan hatinya sebagai rakyat, akan diyakini revisi UU 13/2008 akan mewujudkan impian rakyat untuk dapat melakukan perjalanan suci dengan benar dan bebas 'kepentingan'. Tentu juga, Kemenag sendiri mesti melewati masa 'remaja' nya menuju 'pendewasaan' diri. Dewasa untuk lebih berinovasi dalam urusan manasik misalnya. Kasihan kan rakyat, jika melakukan perjalanan suci lebih disuguhkan 'traveling' ketimbang ibadah. Karena ilmu dalam beribadah adalah kunci pintu gerbang surga.
Ada isu penyelenggaraan haji umrah akan dilakukan satu badan tersendiri di luar Kemenag. Sekiranya nanti, peran urusan haji dan umrah dikelola badan itu, maka hilanglah harapan Kemenag yang menjadi simbol penyelenggara selama puluhan tahun. Hilang juga harapan Kemenag untuk lebih intervensi soal urusan umrah. Bisa itu terjadi, ya bisa saja. Semua tergantung ketuk palu sidang di Gedung Senayan. (ar/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar