![]() |
Terhina karena hutang Foto: store.yufid.com |
Jakarta (WarkopPublik)--Terperangah, saat membaca tayangan informasi di tribunnews.com pada Jumat (24/11/2017) berjudul "BSM Sediakan Dana Talangan Haji dan Paket Umrah Kompetitif di Umrah Expo 2017."
Sepanjang aku tahu, bahwa umrah itu bukan kewajiban atau berhukum wajib. Tapi pada kenyataannya bank 'berpeci' masif sekali menawarkan hutang untuk ibadah umrah. Bukan kah ini seperti mengeksploitasi ibadah dalam dimensi nilai ekonomis.
Sepanjang aku tahu, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan atau pun menganjurkan berhutang. Karena namanya hutang suka tidak suka pasti jadi beban. Dan namanya hutang pasti dibayar berlebih dari nilai yang dihutangkan itu. Mana ada satu aktivitas bisnis itu tidak bernuansa profit. Bodoh namanya jika ada pelaku bisnis mengatakan tak ada profit.
Setidaknya bunga terapan per tahun raya-rata 10%. Misalkan flat, contoh simulasi:
Si Polan mengajukan pinjaman sebesar Rp50,000,000 buat umrah jangka waktu kredit 12 bulan, dengan bunga flat 10%, maka berapa angsuran yang harus si Polan bayar setiap bulan? Maka diketahui:
Jumlah pokok pinjaman = Rp50,000,000
Masa tenor = 12 bulan
Bunga flat = 10% per tahun
Jika dihitung secara manual:
Cicilan pokok = Rp50,000,000 : 12 bulan = Rp4,166,667/bulan.
Bunga = (Rp50,000,000 x 10%) : 12 bulan = Rp416,667.
Angsuran per bulan =Rp4,166,667 + Rp416,667 = Rp4,583,334.
Total Rp4,583,334 x 12 = Rp55,000,008
Profit Rp55,000,008 - Rp50,000,000 = Rp5,000,008
Jika seperti si Polan ada 1,870,000 orang (187,000,000 x 1%) dan hutang semua maka profit si bank "berpeci' pertahun sebesar 9,3 triliun rupiah lebih. Mantabkan. Bisa 1,870,000 orang? Ya bisa saja, bisa juga lebih atau kurang. Mengapa? Pertama bank 'berpeci' masif dalam gerakan berhutang. Kedua, pangsa pasar umrah itu kisaran 187,000,000 penduduk Muslim di Indonesia.
Asumsi hitungan itu flat. Beda dengan anuitas atau efektif. Hitungan itu juga asumsi bunga 10 % bagaimana jika lebih tinggi. Hitungan itu jika si Polan tidak menunggak karena tak sanggup bayar, bagaimana dengan dendanya. Hitungan itu asumsi 12 bulan, bagaimana dengan 3 tahun atau 36 bulan. Hitungan itu belum ditambah biaya tetek bengek. Bagaimana jika ditambah.
Itulah hutang. Orang berhutang tidak nyanyak dalam tidur malam. Saat siang bisa berbohong saat ditagih.
Lain kalau haji. Haji ibadah wajib bagi yang mampu. Pun begitu, mampu atau Istithaah perlu ditambah variable nya oleh para ahli agama Islam. Apa itu Istithaah bayar hutang.
Jadi perlu kiranya ada pernyataan tegas dari para ahli agama soal hutang ibadah ini. Baik ibadah umrah atau ibadah haji. Jangan sampai hanya berisi kalimat "Tak selamanya hutang itu baik, tak selamanya hutang itu buruk".
Kalau hanya kata-kata itu yang keluar ya tak ada ketegasan dong. Memang semua adalah pilihan orang lain, namun harus ada etika, moral dan akhlak baik bagi yang berhutang maupun yang memberikan hutang. Semua harus jelas, tegas dan tidak abu-abu.
Sedih jika terjadi "Pergi pakai Ihram, pulang menanggung hutang. Susah tidur malam, bangun pagi pun bisa berbohong karena ditagih tak bisa bayar". Alah mak oi.
Kalau kita balik skenarionya, hutang untuk pendidikan dengan suku bunga mendekati 0 persen pertahun. Maka akan ada 1,870,000 sarjana-sarjana Islam apakah S1 atau S2. Mana lebih bermanfaat berhutang umrah yang hukumnya tidak wajib dengan berhutang untuk pendidikan yang hukumnya wajib?
Tapi sayang, bank 'berpeci' itu tidak gencar untuk pembiayaan hutang untuk pendidikan. Tak gencar mungkin karena kuatir tak punya nilai profit.
Masih mau hutang umrah atau haji? Kalau aku sih "No". Bagus tak usah umrah atau haji daripada jadi beban selepas kembali nanti. Lagi pula agama tidak memaksa orang untuk berhutang kok, apalagi dalam perihal ibadah. Tidak harus umrah atau haji untuk masuk surga. Jadi jangan memaksakan diri apalagi terbuai dengan ayunan-ayunan hutang. (ar/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar