Jakarta (WarkopPublik)--Belakangan ini muncul pemikiran akan pelarangan haji berkali-kali dengan alasan untuk mempersingkat antrian jemaah melalui sebuah aturan yang sebelumnya fatwa, namun MUI menolak untuk mengeluarkan fatwa atau kata-kata 'Saktinya". Entah dari mana munculnya pemikiran yang selayaknya dilakukan terlebih dahulu metodologi yang tepat dalam menghasilkan sebuah pemikiran yang tepat dan tidak salah.
Kalaulah alasannya untuk mempersingkat antrian, tentu cukup banyak opsi yang dapat dilakukan. Seperti melakukan moratorium, meninjau kembali formula kuota untuk masing-masing negara pengirim jemaah haji, melakukan test kemampuan manasik, peninjauan kembali validitas data di Siskohat dan lainnya. Tidak serta merta mengambil kesimpulan dengan pemikian prematur di atas. Mengapa prematur? Karena kebijakan ini tanpa parameter kajian yang mendalam.
Pemikiran prematur ini bisa jadi sebagai dampak desakan "publik terbatas" atau hanya sekedar retorika dan pencitraan saja. Antrian terjadi disebabkan oleh tingkat keinginan orang berhaji tinggi yang menembus angka 2,7juta daftar tunggu dari quota 168.800.
Namun pernahkah publik terbatas ini berfikir bahwa ini hanya bersifat musiman? Mengapa musiman, karena parameternya adalah stabilitas ekonomi, peranan lembaga keuangan dan proyek perluasan Masjidil Haram. Bagaimana jika stabilitas ekonomi tidak baik, bagaimana jika perbankan menerapkan tingkat bunga tinggi atas talangan haji, apa boleh haji berhutang sebagai dampak peranan bank atas dana talangan, bagaimana jika proyek perluasan Masjidil Haram sudah rampung? Dengan daya tampung Mataf (area tawaf) yang semula 42ribuan menjadi 150ribuan perjam atau bisa jadi lebih. Quota dasar haji Indonesia bisa jadi akan kembali normal 211.000 atau mungkin bertambah 2 kali lipatnya karena Mataf daya tampungnya sudah besar.
Saya tertawa geli dan lucu membaca komentar dukungan atas aturan ini yang datang dari ormas islam, dan tokoh agama. Justru saya mau bertanya kepada mereka, apakah mereka pernah memikirkan tentang patameter itu? Butuh kajian atau analisis yang mendalam melalui metodologi yang tepat, bukan pertemuan 2-3 hari lantas memutuskan sesuatu yang akhirnya akan menjadi prematur.
Belum lagi jika metodologi tersebut bereferensi atas data dan kemampuan Siskohat dalam validitas data, berapa banyak jemaah yang sudah berhaji kemudian mendaftar kembali. Apakah mencapai batas maksimum atau tidak. Data haji khusus saja belum dikelola dengan baik, mencari tahu estimasi keberangkatannya saja hanya bisa dengan telephon, subyektif sekali. Bagaimana dengan data haji reguler, sudah beres belum, lagi-lagi subyektif. Mencari tahu motivasi orang untuk kembali melakukan ibadah haji. Boleh jadi pengetahuan manasik dan pelayanan ibadah yang diperolehnya selama berhaji baik dari pemerintah ataupun Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) kurang terserap dan terlayani dengan baik sehingga keinginan untuk menyempurnakan ibadah haji menuntutnya untuk kembali berhaji.
Referensi qaedah fiqh dengan menggunakan pisau analisis juga sangat penting berdasarkan nash qod’i. Apa benar, diperbolehkan seseorang dilarang untuk melaksanakan sebuah ibadah walaupun berulangkali. Nabi saw tidak pernah memakruhkan apalagi mengharamkan haji berkali-kali.
Setidaknya ada dua payung hukum yang besar yang menjamin hak seseorang dalam kaitannya dengan agama. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 dan Universal Declaration of Human Rights pada angka 10 Bebas memeluk agama. Untuk itu, dalam kaitannya kepada sebuah hak tidak niscaya dapat dilakukan pemikiran-pemikiran yang belum mendasar untuk dipublikasikan. Bukan tidak mungkin, jika pemikiran tanpa dilandasi metodologi dan referensi yang tepat disampaikan akan membawa pengaruh kepada orang lain yang merasa akan tersandera hak-haknya.
Bahkan budaya ekspose pemikiran tanpa dilandasi hal dimaksud di atas akan membudaya pada pemikiran lainnya. Boleh jadi esok lusa akan ada pelarangan orang untuk melakukan shalat sunnat dan hal sunnat lainnya terkait ibadah.
Sejarah mencatatkan bahwa pernah terjadi kekosongan jemaah haji di Indonesia pada tahun 1945-1949 yang disebabkan oleh: (1) Kondisi ekonomi bangsa dan rakyat Indonesia dalam keadaan tidak berdaya sama sekali; (2) Sebagaimana suatu bangsa yang baru merdeka negara dalam penataan; (3) Bangsa Indonesia dihadapkan kepada perang kemerdekaan. Penyebab di atas dapat dikategorikan dalam keadaan darurat.
Apakah kondisi mempersingkat antrian masuk dalam keadaan darurat sehingga ada pemikiran untuk pelarangan haji berkali-kali? Bahkan perihal penyakit mers dan ebola yang menjadi trending topik kesehatan di Arab Saudi saja belum masuk dalam kategori darurat sehingga munculnya pelarangan, yang ada hanya himbauan. Pelarangan hanya dilakukan bagi orang yang terbukti telah terjangkiti penyakit mematikan tersebut agar tidak menular kepada yang lain.
Pemikiran yang keliru akan melahirkan kekeliruan-kekeliruan lainnya. Disebabkan pemikiran yang dituangkan dalam aturan tanpa kajian analisis yang kuat dan parameter yang tidak jelas. (ar/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar