
Jakarta (WarkopPublik)--Panas, padat, kemacetan
dimana-mana, riuh, ketegangan, cemas, dan berbagai macam aktivitas ibadah
dipertontonkan dan dijalani dengan tulus dan ikhlas. Seakan untuk menunjukkan
kepada Sang Penguasa Alam bahwa kami datang ke bait al atiq atas panggilan-Nya
dan sebagai bentuk kehambaan yang hakiki untuk menyantap hidangan ilahi di
padang arafah.
Semua orang terlihat tergesa-gesa
takkala akan menyambut beberapa hari lagi peristiwa penting, sebuah peristiwa
yang tidak semua orang dapat mengikutinya, wukuf di padang arafah.
Ekspresi penyesalan, kesedihan,
keceriaan lebur terlihat jelas pada wajah-wajah lusuh berdebu, lelah dan
sedikit kumal. Airmata penyesalan keluar, seolah menyampaikan pesan bahwa
mengapa tidak dari dahulu dapat menghadiri undangan itu. Sedih, karena begitu
banyaknya perbuatan yang tidak pantas dilakukan sebelumnya.
Ceria, karena akan menyambut
hamburan dan melimpahnya hidangan ilahi dengan taburan-taburan cahaya yang
indah. Sangat berbeda dengan saat mengunjungi pusat-pusat wisata mancanegara,
dan terlena dengan hedonisme dan konsumtif serta aktualisasi diri yang hanya
menyentuh pada kulit dan pikiran, jauh dari sentuhan emosional perasaan.
Hamparan kekeluargaan dibentang,
memiliki rasa persaudaraan yang sangat tinggi tanpa batas. Tidak mengenal
status sosial apapun. Semua melebur dalam kedamaian kekeluargaan dan tolong
menolong yang sangat tinggi. Tanpa instruksi, mengalir dalam panggilan kejiwaan
yang mendorong kuat untuk berbuat kebaikan.
Wajah-wajah orang yang dicintai
hadir dalam kerumunan ibadah itu, jelas dan nyata. Bibir-bibir kering bergumam
melantunkan dzikir di setiap saat dan di setiap waktu. Mempersiapkan dan
membekali diri untuk dapat berkonsentrasi penuh dalam menyantap hidangan ilahi itu.
Dan akhirnya, hari yang dinantikan itupun tiba.
Padang tandus itu ramai dengan
lilitan putih, bagai tebaran permadani putih, bagai kumpulan pingwin, bagai
hamburan kapas-kapas putih tebal yang menyelimuti padang pasir itu. Gema
talbiyah, gema dzikir, gema isak tangis terdengar sangat syahdu. Instrumental
yang tidak dapat dinotasikan dalam sebuah musik. Ketika saat itu tiba, ketika
taburan cahaya indah itu ditebar walau sesaat, pikiran terbang menuju arsy
penuh muatan dzikir dan talbiyah, bukan pikiran kosong dan bukan juga sebuah
lamunan.
Panasnya arafah menjadi sejuk
untuk sesaat. Saat itulah, puncak dari kehambaan yang menikmati hidangan yang
sangat nikmat sekali, bahkan bagai dedaunan kering, penikmat itu jatuh dan
merindu kepada nur-Nya agar kenikmatan itu terus dirasakan dan tidak mau melepaskan
kenikmatan itu, doapun diijabah. Wafat dalam keadaan ihram, sahid dalam pelukan
talbiyah dan selimut arafah.
Beruntunglah mereka yang tidur
dengan ihramnya dan akan bangkit kemudian dengan talbiyah untuk menyelesaikan
hajinya. Beruntunglah mereka yang telah menikmati hidangan ilahi dalam hamparan
padang yang luas dengan menu yang diracik dan disajikan langsung oleh Yang Maha
Agung. Ya Allah, undanglah kami, panggillah kami untuk dapat kembali menyantap
hidangan-Mu. (ar/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar