Jakarta (WarkopPublik)--Kisah sembilan
prajurit dinasti Han dalam menjaga perbatasan Sutra dalam film Dragon Blade
menciptakan pemukiman 36 panji berbagai bangsa untuk hidup damai adalah kisah
inspiratif yang menggambarkan hidup damai adalah impian. Inilah wujud dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang hakiki. Impian, memang sulit digapai
namun setidaknya impian adalah fondasi dalam membangun sebuah kenyataan.
Setiap tahunnya, dari puluhan
ratusan hingga jutaan lebih umat Islam dari seluruh bangsa di dunia ini akan
bersatu dalam satu wadah sejak perintah haji datang dari Maha Penguasa Dzat,
Allah Swt. Wadah yang luas, terik dan pasti tidak mengenakkan. Wadah yang hanya
berhias tenda, sedikit pepohonan dan lebih banyak dihiasi dengan bebatuan dan
lahan tandus berpasir. Wadah tidak menyenangkan itu, berubah menjadi
menyenangkan, menyejukkan. Mengapa? Karena itu adalah Arafah, tempat dimana
wukuf sebagai prosesi puncak penyelenggaraan haji pada 9 Dzulhijjah. Umat Islam
saat itu melakukan perintah haji dari Allah swt, Alhajju Arafah, Haji itu wukuf
di Arafah. Hanya dua lembar kain putih pembalut badan, persis anak banyi yang
lahir dari kandungan berselimutkan bedung. Inilah kelahiran kedua, setelah
kelahiran dari kandungan dari rahim ibu.
Layaknya bayi, tak pernah seorang
ibu mengajarkannya untuk bertengkar, bermusuhan, apalagi merampas hak hidup
makhluk apakah itu tumbuhan, hewan apalagi manusia. Inilah puncak sebuah toleransi
tanpa batas, toleransi umat Islam pada alam semesta. Membangun sikap menumbukan
kepedulian antar makhluk, tidak hanya manusia, bahkan nyamuk sendiripun begitu
sangat dihargai untuk tidak ditepuk walaupun telah menyakiti.
Bentuk toleransi komprehenship dan
nyata, hanya dapat terlihat pada saat wukuf di padang tandus Arafah ini. Proses
pengenalan diri dan lingkungan berwawasan semesta ini tidak lama, hanya
berdurasikan kurang lebih setengah hari, sejak tegaknya mentari hingga mulai
beranjak terbenam. Inilah hakikat sebuah makna hidup dalam 5 elemen, air, api,
tanah, angin dan kayu yang mengajarkan pentingnya sikap patuh dan tunduk atas
sebuah perintah dari Maha Pencipta. Mengajarkan toleransi tingkat tinggi untuk
diimplementasikan pada kenyataan hidup yang sebenarnya.
Setiap tahun, ini dilakukan dari
orang dan zaman yang berbeda, tak ada satupun tambahan dalam proses pendidikan
alam semesta yang diajarkan ini, selain membangun iman. Tapi kenyataannya,
penyakit sosial seolah cenderung lebih kuat untuk mematahkan semangat
pendidikan alam semesta ini. Peperangan, kriminalitas, amoral, acuh atas
kemiskinan dan mengedepankan keegoan diri dan kelompok menjadi bukti banyak
orang yang gagal dalam proses suci ini. Karena tidak terjadi kesesuaian ucapan
dengan lidah, kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota
badan. Kecenderungan perbedaan inilah mungkin sebagai pemicu kerusakan moral
dan sosial yang terjadi, baik pada diri maupun lingkungannya.
Sepertinya ada hal yang keliru dalam
pra pendidikan semesta ini, ada hal yang terlewatkan dalam proses pembelajaran
ini. Kenyataannya, di Indonesia sendiri lebih dari 27 juta jiwa masyarakatnya
hidup dalam kemiskinan. Tidak sedikit masyarakatnya yang menggondol gelar pak
haji dan bu haji, itupun tak mampu melakukan sebuah perubahan mendasar atas apa
yang ada di sekelilingnya.
Kerusakan moral telah terjadi,
kerusakan sosial jadi tontonan dan kerusakan alam jadi bahan sekedar
pembicaraan. Bingung, mengapa ini bisa terjadi ditengah kehidupan diantara
banyaknya bu haji dan pak haji hasil pendidikan wadah suci di bumi Arafah.
Puluhan juta orang berhaji sudah, namun tidak mampu melakukan perubahan ke arah
yang lebih baik, bahkan tontonan pertikaian kepentingan, kerusakan moral,
sosial dan kemiskinan yang justru terlihat. Ada apa ini, dan siapa yang
bertanggungjawab atas hal ini. Jawabannya adalah, ini menjadi tanggungjawab
bersama dan bersamalah memikul untuk membentuk sebuah peradaban yang lebih
baik. Banyaknya orang berhaji berbanding terbalik dengan situasi yang harusnya
berbanding lurus dengan perbaikan.
Maaf jika, tulisan ini tidak
mengenakkan untuk di baca, tulisan ini hanya berbicara kenyataan. Kenyataan
untuk dituntut berubah ke arah yang baik dan tidak tidak harus sangat baik,
namun setidaknya dapat mengurangi secara signifikan atas diri dan lingkungan. (ar/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar