Jakarta (WarkopPublik)--Dinamisnya perekonomian dunia saat ini memaksa pemerintah melakukan strategi ekonomi generik. Apalagi dengan anjloknya harga minyak dunia. Pertumbuhan ekonomi diprediksi melambat dan kemungkinan turun juga besar.
Peluncuran kebijakan ekonomi paket 10 dipandang sebagai energi baru dalam ketahanan ekonomi nasional. Terkait ini, lesunya bidang usaha prosuksi komoditas harus di induksi dengan pembangunan industri alternatif.
"Pemerintahan yang lalu sangat percaya diri dengan produksi komoditas, peningkatan industri lainnya hampir tak tersentuh. Lihat saja harga karet, sawit dll anjlok. Petani banyak rugi. Keseimbangan dalam geliat ekonomi penting," kata Ekonom Syariah Affan Rangkuti di Jakarta, Rabu (17/02/2016).
Kebijakan paket ekonomi 10 membuka ruang itu. Ruang peningkatan pertumbuhan ekonomi pada industri. Riset dan kajian memperkecil biaya produksi dalam industri harus dapat dilakukan, agar ekspor industri kita dapat bersaing di pasar international.
"Amerika sudah lakukan itu, bagaimana biaya produksi minyak dapat ditekan dengan metode baru dan bahan baku baru hasil riset dan kajian. Memang untuk industri membutuhkan waktu," kata Affan.
Penguatan industri ini berjalan didampingi dengan industri jasa dan ternak dan perikanan
Tidak harus meninggalkan produksi komoditi, komoditi tetap berjalan namun tidak menjadi skala prioritas.
"Peningkatan pada komoditi yang diperkuat adalah komoditi palawija dan rempah. Kita dulu dijajah karena palawija dan rempah, ini kita tingkatkan karena dibutuhkan dunia," katanya lagi.
Disamping itu prioritas dalam jangka pendek adalah memaksimalkan industri jasa pariwisata.
"Pemerintah segera ambil alih bertahap industri jasa umrah, bisa menyumbang pendapatan nasional mencapai 16 trilyun pertahun," katanya.
Ada hubungan ekonomi international dalam umrah, ini juga dapat dijadikan barter ekonomi.
Selain itu terkait perbankan, diusulkan melakukan revisi atas UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
"Perbankan syariah lebih banyak mengandalkan produk pembiayaan. Parahnya pembiayaan banyak untuk umrah dan haji. Ini tidak benar dan menjadi bank yang tidak mandiri. Market share hanya kisaran 4,5 persen. Apalagi dana haji kisaran 36 trilyun di bank syariah. Kalau hanya untuk pembiayaan umrah dan haji itukan seperti tidak ada inovasi dan mau gampangnya saja. Sudah saatnya UU 21/2008 direvisi agar perbankan syariah lebih percaya diri," kata Affan. (rilis/ar)
Peluncuran kebijakan ekonomi paket 10 dipandang sebagai energi baru dalam ketahanan ekonomi nasional. Terkait ini, lesunya bidang usaha prosuksi komoditas harus di induksi dengan pembangunan industri alternatif.
"Pemerintahan yang lalu sangat percaya diri dengan produksi komoditas, peningkatan industri lainnya hampir tak tersentuh. Lihat saja harga karet, sawit dll anjlok. Petani banyak rugi. Keseimbangan dalam geliat ekonomi penting," kata Ekonom Syariah Affan Rangkuti di Jakarta, Rabu (17/02/2016).
Kebijakan paket ekonomi 10 membuka ruang itu. Ruang peningkatan pertumbuhan ekonomi pada industri. Riset dan kajian memperkecil biaya produksi dalam industri harus dapat dilakukan, agar ekspor industri kita dapat bersaing di pasar international.
"Amerika sudah lakukan itu, bagaimana biaya produksi minyak dapat ditekan dengan metode baru dan bahan baku baru hasil riset dan kajian. Memang untuk industri membutuhkan waktu," kata Affan.
Penguatan industri ini berjalan didampingi dengan industri jasa dan ternak dan perikanan
Tidak harus meninggalkan produksi komoditi, komoditi tetap berjalan namun tidak menjadi skala prioritas.
"Peningkatan pada komoditi yang diperkuat adalah komoditi palawija dan rempah. Kita dulu dijajah karena palawija dan rempah, ini kita tingkatkan karena dibutuhkan dunia," katanya lagi.
Disamping itu prioritas dalam jangka pendek adalah memaksimalkan industri jasa pariwisata.
"Pemerintah segera ambil alih bertahap industri jasa umrah, bisa menyumbang pendapatan nasional mencapai 16 trilyun pertahun," katanya.
Ada hubungan ekonomi international dalam umrah, ini juga dapat dijadikan barter ekonomi.
Selain itu terkait perbankan, diusulkan melakukan revisi atas UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
"Perbankan syariah lebih banyak mengandalkan produk pembiayaan. Parahnya pembiayaan banyak untuk umrah dan haji. Ini tidak benar dan menjadi bank yang tidak mandiri. Market share hanya kisaran 4,5 persen. Apalagi dana haji kisaran 36 trilyun di bank syariah. Kalau hanya untuk pembiayaan umrah dan haji itukan seperti tidak ada inovasi dan mau gampangnya saja. Sudah saatnya UU 21/2008 direvisi agar perbankan syariah lebih percaya diri," kata Affan. (rilis/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar