![]() |
Ilustrasi Frekuensi milik publik? Foto: jatimpost.com |
Penggunaan frekuensi diperuntukan bagi publik bukan untuk kepentingan kelompok atau orang per orang.
Hanya sedikit dari masyarakat Indonesia memahami bahwa frekuensi merupakan milik publik karena untuk mengelola frekuensi menggunakan pajak masyarakat.
Berdasarkan riset (2015) yang dilakukan salah satu lembaga studi dan pemantauan media (Remotivi) terkuak bahwa 57 persen masyarakat Indonesia menganggap frekuensi publik milik perusahaan, 34 persen menganggap milik pemerintah dan hanya 8 persen yang sadar bahwa frekuensi publik milik publik.
Minimnya angka kesadaran publik akan kepemilikan frekuensi publik menyebabkan banyak tayangan tidak layak tetap tersiar minim dilaporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sejumlah catatan penyiaran masih menghadang. Seperti tayangan tidak informatif, kurang akurat, tidak objektif, tidak berimbang, tendensius, kurang mendidik, dipenuhi kekerasan, mistik, horor, didominasi tayangan infotainment, sinetron, informasi yang mengutamakan sensasi dan dramatisasi (kpi.go.id).
Memang, banyak publik apalagi yang berada di pedesaan kurang atau sama sekali tidak mengenal apa itu KPI. KPI sendiri juga terkesan kurang melakukan sosialisasi masif kepada publik. Agar KPI akrab dikenal oleh masyarakat dan menjamin setiap ada laporan akan ditindak oleh KPI.
Beberapa praktisi dan pengamat penyiaran menyebutkan terdapat banyak lembaga penyiaran terkontaminasi kepentingan politik yang harus ditata kembali. Penataan ini dengan melakukan revisi UU 32/2002 tentang Penyiaran. Alih-alih revisi ini oleh beberapa kalangan dinilai mengalami kemunduran karena ada indikasi mengubah sejumlah pasal untuk kepentingan lembaga-lembaga penyiaran swasta besar dengan mengabaikan kepentingan publik. Akankah nantinya frekuensi publik adalah benar adalah milik publik? (ar/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar