Running Text

ADVOKASI HAJI DARI DAN UNTUK JAMAAH (KLIK DI SINI) PENINGKATAN LAYANAN HAJI 2017 BUKAN CERITA 'DONGENG' (KLIK DISINI) ABDUL DJAMIL, PEMIKIR CERDAS DAN TOKOH PERUBAHAN HAJI INDONESIA (KLIK DISINI) AFFAN RANGKUTI: SELAMAT DATANG JEMAAH HAJI INDONESIA SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI KE-71, NKRI HARGA MATI” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “SELAMAT JALAN JEMAAH HAJI INDONESIA 2016 SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI REGULER TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) KEMENAG DAN DPR SEPAKATI BPIH 2016 TURUN 132 USD DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI KHUSUS TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) SELAMAT ATAS KEMENANGAN MUSA LA ODE ABU HANAFI YANG MERAIH JUARA KETIGA DALAM AJANG MUSABAQAH HIFZIL QURAN (MTQ) INTERNASIONAL DI MESIR SELAMAT ATAS LAHIRNYA CUCU PRESIDEN JOKO WIDODO DASAR HUKUM MENJERAT TRAVEL HAJI DAN UMRAH NAKAL (KLIK DISINI) POTENSI PDB INDUSTRI JASA UMRAH 16 TRILYUN RUPIAH PER TAHUN JOKOWI AJAK TWITTER SEBARKAN PESAN TOLERANSI DAN PERDAMAIAN MENAKAR INDUSTRI JASA HAJI DAN UMRAH NASIONAL DI ERA PASAR BEBAS ASEAN SELAMAT ATAS PELANTIKAN SOETRISNO BACHIR MENJADI KETUA KEIN KAPOLRI BERTEKAD PERANGI AKSI TEROR

Kamis, 23 November 2017

Katanya, Frekuensi Publik Milik Publik

Ilustrasi Frekuensi milik publik?
Foto: jatimpost.com
Jakarta (WarkopPublik)--Semakin berkembangnya stasiun televisi swasta berjaringan semestinya menjadi titik penting bagi pemegang kunci kran regulasi penyiaran untuk melegitimasi bahwa frekuensi publik adalah milik publik.

Penggunaan frekuensi diperuntukan bagi publik bukan untuk kepentingan kelompok atau orang per orang.

Hanya sedikit dari masyarakat Indonesia memahami bahwa frekuensi merupakan milik publik karena untuk mengelola frekuensi menggunakan pajak masyarakat.

Berdasarkan riset (2015) yang dilakukan salah satu lembaga studi dan pemantauan media (Remotivi) terkuak bahwa 57 persen masyarakat Indonesia menganggap frekuensi publik milik perusahaan, 34 persen menganggap milik pemerintah dan hanya 8 persen yang sadar bahwa frekuensi publik milik publik.

Minimnya angka kesadaran publik akan kepemilikan frekuensi publik menyebabkan banyak tayangan tidak layak tetap tersiar minim dilaporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sejumlah catatan penyiaran masih menghadang. Seperti tayangan tidak informatif, kurang akurat, tidak objektif, tidak berimbang, tendensius, kurang mendidik, dipenuhi kekerasan, mistik, horor, didominasi tayangan infotainment, sinetron, informasi yang mengutamakan sensasi dan dramatisasi (kpi.go.id).

Memang, banyak publik apalagi yang berada di pedesaan kurang atau sama sekali tidak mengenal apa itu KPI. KPI sendiri juga terkesan kurang melakukan sosialisasi masif kepada publik. Agar KPI akrab dikenal oleh masyarakat dan menjamin setiap ada laporan akan ditindak oleh KPI.

Beberapa praktisi dan pengamat penyiaran menyebutkan terdapat banyak lembaga penyiaran terkontaminasi kepentingan politik yang harus ditata kembali. Penataan ini dengan melakukan revisi UU 32/2002 tentang Penyiaran. Alih-alih revisi ini oleh beberapa kalangan dinilai mengalami kemunduran karena ada indikasi mengubah sejumlah pasal untuk kepentingan lembaga-lembaga penyiaran swasta besar dengan mengabaikan kepentingan publik. Akankah nantinya frekuensi publik adalah benar adalah milik publik? (ar/ar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar