Jakarta (WarkopPubik)--Sebelumnya diberitakan, PKB akan menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas), 5-6 Februari 2016, di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta. Di dalam agenda acara tersebut, PKB ditengarai hendak `mengobok-obok` keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indoneia (DPD RI).
DPD RI lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.
Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoneia (DPR RI) menilai pembubaran DPD RI hanya sebatas wacana. Sebab, untuk membubarkan lembaga perwakilan daerah tersebut, diperlukan amandemen UUD 1945. Padahal, amandemen ini sendiri belum dilaksanakan.
“Sehingga wacana-wacana semacam itu belum bisa kita tarik ke kesimpulan karena wacana kan mungkin setiap orang berbeda,” ujar Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto di kompleks parlemen Senayan, Selasa (09/02/2016).
Agus menambahkan, lembaga DPD ada dalam UUD 1945. Kalau memang ada rencana untuk membubarkan lembaga ini, kata dia, harus melalui mekanisme amandemen UUD 1945. Amandemen itu untuk memberikan dasar hukum pembubaran DPD RI.
“Kalau memang harus ditiadakan, ya harus diamandemen dulu, kalau tidak ya tidak bisa,” tegas Agus.
DPR, kata dia akan tetap mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku dalam wacana pembubaran DPD RI. Dalam setiap amandemen UUD 1945, seluruh pihak akan mendasarkan pada kebutuhan masyarakat. Selain itu, DPR dan pemerintah akan tetap memertimbangkan soal politik, substansial dari rencana pembubaran DPD itu.
“Tidak bisa sekonyong-konyong dihilangkan,” tegas dia. (republika/wikipedia/cnnindonesia/ar)
DPD RI lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.
Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoneia (DPR RI) menilai pembubaran DPD RI hanya sebatas wacana. Sebab, untuk membubarkan lembaga perwakilan daerah tersebut, diperlukan amandemen UUD 1945. Padahal, amandemen ini sendiri belum dilaksanakan.
“Sehingga wacana-wacana semacam itu belum bisa kita tarik ke kesimpulan karena wacana kan mungkin setiap orang berbeda,” ujar Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto di kompleks parlemen Senayan, Selasa (09/02/2016).
Agus menambahkan, lembaga DPD ada dalam UUD 1945. Kalau memang ada rencana untuk membubarkan lembaga ini, kata dia, harus melalui mekanisme amandemen UUD 1945. Amandemen itu untuk memberikan dasar hukum pembubaran DPD RI.
“Kalau memang harus ditiadakan, ya harus diamandemen dulu, kalau tidak ya tidak bisa,” tegas Agus.
DPR, kata dia akan tetap mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku dalam wacana pembubaran DPD RI. Dalam setiap amandemen UUD 1945, seluruh pihak akan mendasarkan pada kebutuhan masyarakat. Selain itu, DPR dan pemerintah akan tetap memertimbangkan soal politik, substansial dari rencana pembubaran DPD itu.
“Tidak bisa sekonyong-konyong dihilangkan,” tegas dia. (republika/wikipedia/cnnindonesia/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar