Jakarta (WarkopPublik)--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkeinginan dapat masuk mengusut korupsi di tubuh militer. Hal tersebut dilakukan salah satunya untuk memperbaiki indeks antikorupsi militer (IAKM) yang masih rendah.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua (KPK) Saut Situmorang dalam diskusi Mengendalikan Risiko Korupsi di Sektor Pertahanan dan Keamanan, di Jakarta, kemarin (21/01/2016). Saut mengatakan saat ini indikasi adanya korupsi di tubuh TNI sudah banyak diketahui publik. ”Sekarang ini apa sih yang tidak bisa diketahui di publik ini? Nah pertanyaannya kita mau berubah gak?” ujar Saut.
Masalahnya indikasi korupsi itu tak bisa ditindaklanjuti KPK karena terhalang undang-undang. Salah satu aturan yang menjadi penghalang itu adalah UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Dalam UU tersebut, prajurit militer hanya tunduk pada peradilan militer. Hal itu yang membuat anggota TNI tidak bisa diseret ke pengadilan tipikor jika kedapatan melakukan korupsi.
Menurut Saut, UU KPK sebenarnya mengisyaratkan semua orang yang menggarong uang negara harus ditindak. ”Tapi masalahnya ya itu tadi, UU yang membuat kami tidak bisa melangkah (menindak TNI yang korupsi),” jelas Saut.
Karena itu, Saut setuju jika ada revisi UU KPK yang membuat KPK bisa leluasa melakukan penindakan korupsi, termasuk di tubuh militer. ”Kalau tidak direvisi percuma juga kita bergerak tapi bisa mengadili mereka,” imbuhnya. Dia berharap DPR memperhatikan hal ini, bukan malah membahas revisi yang tidak perlu misalnya dengan membahas soal SP3 (penghentian perkara).
Meskipun nantinya undang-undang memberikan ruang KPK untuk mengusut korupsi di tubuh militer, namun hal tersebut tetap perlu dilakukan dengan smooth. Menurut Saut saat ini sudah bukan zamannya melakukan pemberantasan korupsi dengan cara yang bisa membuat gaduh.
Saut mengatakan, langkah kongkrit yang saat ini bisa dilakukan KPK mungkin hanya perluasan soal pencegahan. Misalnya dengan perluasan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN. Namun itupun menurut Saut juga masih belum bisa disebut efektif. ”Kami di internal KPK memang harus terus mengkaji untuk membuat best practices pencegahan korupsi di militer, terutama terkait pengadaan alutsista,” ujarnya.
Kemarin, Transparency International kawasan Asia Pasific memang memaparkan riset mereka terhadap IAKM. Hasilnya, Indonesia masih berada di kategori D (tinggi). Menurut TI, hasil itu lebih baik karena sebelumnya pada 2013 Indonesia berada di kategori E (sangat tinggi). Di Asia Pasific, kategori itu lebih baik dibanding Thailand, Tiongkok, Pakistan, Srilanka (kategori E), Kamboja dan Myanmar (kategori F, kritis).
Sekjen TI Indonesia, Dadang Trisasongko mengatakan peningkatan IAKM itu harus terus ditingkatkan dua tahun ke depan. Caranya bisa melalui pencegahan maupun penindakan. ”Misalnya dengan meningkatkan komitmen dan zona integritas termasuk didalamnya terkait transparansi anggaran dan pengadaan alutsista,” jelas Dadang.
Peneliti ICW Agus Sunaryanto mendorong agar DPR dan TNI terlibat dalam percepatan perbaikan IAKM. DPR dengan cara terlibat dalam revisi UU yang menghalangi KPK mengusut korupsi militer. Sementara TNI sendiri harus membuka akses yang transparan ke BPK dan KPK untuk melakukan audit. (indopos/ar)
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua (KPK) Saut Situmorang dalam diskusi Mengendalikan Risiko Korupsi di Sektor Pertahanan dan Keamanan, di Jakarta, kemarin (21/01/2016). Saut mengatakan saat ini indikasi adanya korupsi di tubuh TNI sudah banyak diketahui publik. ”Sekarang ini apa sih yang tidak bisa diketahui di publik ini? Nah pertanyaannya kita mau berubah gak?” ujar Saut.
Masalahnya indikasi korupsi itu tak bisa ditindaklanjuti KPK karena terhalang undang-undang. Salah satu aturan yang menjadi penghalang itu adalah UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Dalam UU tersebut, prajurit militer hanya tunduk pada peradilan militer. Hal itu yang membuat anggota TNI tidak bisa diseret ke pengadilan tipikor jika kedapatan melakukan korupsi.
Menurut Saut, UU KPK sebenarnya mengisyaratkan semua orang yang menggarong uang negara harus ditindak. ”Tapi masalahnya ya itu tadi, UU yang membuat kami tidak bisa melangkah (menindak TNI yang korupsi),” jelas Saut.
Karena itu, Saut setuju jika ada revisi UU KPK yang membuat KPK bisa leluasa melakukan penindakan korupsi, termasuk di tubuh militer. ”Kalau tidak direvisi percuma juga kita bergerak tapi bisa mengadili mereka,” imbuhnya. Dia berharap DPR memperhatikan hal ini, bukan malah membahas revisi yang tidak perlu misalnya dengan membahas soal SP3 (penghentian perkara).
Meskipun nantinya undang-undang memberikan ruang KPK untuk mengusut korupsi di tubuh militer, namun hal tersebut tetap perlu dilakukan dengan smooth. Menurut Saut saat ini sudah bukan zamannya melakukan pemberantasan korupsi dengan cara yang bisa membuat gaduh.
Saut mengatakan, langkah kongkrit yang saat ini bisa dilakukan KPK mungkin hanya perluasan soal pencegahan. Misalnya dengan perluasan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN. Namun itupun menurut Saut juga masih belum bisa disebut efektif. ”Kami di internal KPK memang harus terus mengkaji untuk membuat best practices pencegahan korupsi di militer, terutama terkait pengadaan alutsista,” ujarnya.
Kemarin, Transparency International kawasan Asia Pasific memang memaparkan riset mereka terhadap IAKM. Hasilnya, Indonesia masih berada di kategori D (tinggi). Menurut TI, hasil itu lebih baik karena sebelumnya pada 2013 Indonesia berada di kategori E (sangat tinggi). Di Asia Pasific, kategori itu lebih baik dibanding Thailand, Tiongkok, Pakistan, Srilanka (kategori E), Kamboja dan Myanmar (kategori F, kritis).
Sekjen TI Indonesia, Dadang Trisasongko mengatakan peningkatan IAKM itu harus terus ditingkatkan dua tahun ke depan. Caranya bisa melalui pencegahan maupun penindakan. ”Misalnya dengan meningkatkan komitmen dan zona integritas termasuk didalamnya terkait transparansi anggaran dan pengadaan alutsista,” jelas Dadang.
Peneliti ICW Agus Sunaryanto mendorong agar DPR dan TNI terlibat dalam percepatan perbaikan IAKM. DPR dengan cara terlibat dalam revisi UU yang menghalangi KPK mengusut korupsi militer. Sementara TNI sendiri harus membuka akses yang transparan ke BPK dan KPK untuk melakukan audit. (indopos/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar