Jakarta (WarkopPublik)--Ada 41.223 regulasi di tingkat pusat dan daerah berpotensi tumpang tindih satu sama lain. Puluhan ribu peraturan itu diterbitkan selama 10 tahun terakhir berdasarkan kajian Bappenas pada Oktober 2015 lalu.
Penyebab inefisiensi itu karena rencana kerja antarsektor yang tidak terpadu, sehingga banyak regulasi yang hanya mengulang regulasi sebelumnya. Belum lagi, kerap kali terjadi kontradiksi karena terdapat sejumlah regulasi yang mengatur sektor yang sama, namun dengan mekanisme yang berbeda.
“Rinciannya, sebanyak 12.471 peraturan dari pemerintah pusat, dan 28.752 peraturan dari pemerintah daerah,” kata Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Bappenas Sidqy L P Pangesti di Jakarta.
Menurut Sidqy, banyaknya tumpang tindih perizinan di tingkat peraturan daerah juga telah membebani biaya operasional dunia usaha. Dari kajiannya, biaya perizinan di tingkat kabupaten dan kota, secara rata-rata bisa setara dengan 30-40 persen biaya produksi suatu barang.
“Hal tersebut menjadi hambatan untuk peningkatan daya saing di era integrasi ekonomi ASEAN yang sudah dimulai tahun ini,” tambahnya.
Untuk di tataran pemerintah pusat, kata Sidqy, perizinan di sektor hulu minyak dan gas bumi menjadi salah satu sektor yang paling rumit. Menurut data Bappenas, terdapat lebih dari 200 perizinan di sektor migas.
Sidqy menuturkan deregulasi menjadi fokus pemerintah saat ini untuk mengembalikan tren pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, selain pembangunan besar-besaran infrastruktur, untuk mengurangi biaya logistik yang masih sebesar 27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Deregulasi peraturan secara masif ini sudah dimulai sejak paket kebijakan ekonomi jilid I pada September 2015. Namun, deregulasi tersebut masih dalam bentuk kecil, dengan sasaran 154 deregulasi peraturan.
Mengutip data Indikator Tata Kelola Pemerintahan Seluruh Dunia atau Worldwide Governance Indicators (WGI), kualitas regulasi Indonesia masih tertinggal di bawah sejumlah negara ASEAN. Indeks WGI Indonesia hanya 46 persen atau berada di bawah Filipina persen, Thailand persen, Malaysia persen, Brunei Darusalam 83 persen, dan Singapura 100 persen. (beritamoneter/ar)
Penyebab inefisiensi itu karena rencana kerja antarsektor yang tidak terpadu, sehingga banyak regulasi yang hanya mengulang regulasi sebelumnya. Belum lagi, kerap kali terjadi kontradiksi karena terdapat sejumlah regulasi yang mengatur sektor yang sama, namun dengan mekanisme yang berbeda.
“Rinciannya, sebanyak 12.471 peraturan dari pemerintah pusat, dan 28.752 peraturan dari pemerintah daerah,” kata Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Bappenas Sidqy L P Pangesti di Jakarta.
Menurut Sidqy, banyaknya tumpang tindih perizinan di tingkat peraturan daerah juga telah membebani biaya operasional dunia usaha. Dari kajiannya, biaya perizinan di tingkat kabupaten dan kota, secara rata-rata bisa setara dengan 30-40 persen biaya produksi suatu barang.
“Hal tersebut menjadi hambatan untuk peningkatan daya saing di era integrasi ekonomi ASEAN yang sudah dimulai tahun ini,” tambahnya.
Untuk di tataran pemerintah pusat, kata Sidqy, perizinan di sektor hulu minyak dan gas bumi menjadi salah satu sektor yang paling rumit. Menurut data Bappenas, terdapat lebih dari 200 perizinan di sektor migas.
Sidqy menuturkan deregulasi menjadi fokus pemerintah saat ini untuk mengembalikan tren pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, selain pembangunan besar-besaran infrastruktur, untuk mengurangi biaya logistik yang masih sebesar 27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Deregulasi peraturan secara masif ini sudah dimulai sejak paket kebijakan ekonomi jilid I pada September 2015. Namun, deregulasi tersebut masih dalam bentuk kecil, dengan sasaran 154 deregulasi peraturan.
Mengutip data Indikator Tata Kelola Pemerintahan Seluruh Dunia atau Worldwide Governance Indicators (WGI), kualitas regulasi Indonesia masih tertinggal di bawah sejumlah negara ASEAN. Indeks WGI Indonesia hanya 46 persen atau berada di bawah Filipina persen, Thailand persen, Malaysia persen, Brunei Darusalam 83 persen, dan Singapura 100 persen. (beritamoneter/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar