 |
Ilustrasi bimbingan belajar
Foto: netralnews.com |
Jakarta (WarkopPublik)--"Pada Hari Guru Nasional ini (25/11/2017) aku persembahkan satu tulisan berjudul Analisis Perubahan (Transformasi Kelompok Bimbingan Menuju Bimbingan Belajar Manasik Haji). Setiap guru memiliki satu tujuan mulia, mengantarkan peserta didiknya untuk tujuan yang mulia juga," Affan Rangkuti, pemerhati haji dan umrah.
Dimensi Regulasi. Perihal pendidikan apapun jenisnya tentu tidak akan terlepas dari UU 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keliru jika sandaran pendidikan dalam hal ini bimbingan manasik haji hanya bersandar pada satu dasar hukum yakni UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Fakta dan Data Kelemahan (Sulit Diukur)
Tolak ukur keberhasilan bimbingan manasik haji yang selama ini dilakukan cenderung bersifat yang sulit diukur. Ada beberapa kendala teknis dan kendala non teknis yang mempegaruhi tingkat keberhasilan proses bimbingan manasik (bimsik) dimaksud. Apa saja faktor tersebut:
1. Struktur Kelembagaan Semu
Kenyataan yang terjadi dalam proses bimsik ada dua lembaga yang melakukannya. Memang kelembagaan ini merupakan mandatori service UU 13/2008. Ada Bimsik yang dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini dilakukan oleh badan hukum yang disebut dengan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Ada juga yang dilakukan oleh pemerintah melalui unit kerja Kantor Kementerian Agama kabupaten kota dan KUA.
Pada sistem pengorganisasian pelaksanaan tidak terjadi hubungan kelembagaan yang terstruktur dengan baik. KBIH menjalankan program bimsik dengan sistem pengawasan yang lemah. Dalam artian ketiadaan lembaga jaminan mutu pelaksanaan bimsik. Hingga ukuran keberhasilan sulit diukur secara kuantitas. Sama juga halnya dengan pelaksanaan bimbingan yang dilakukan Kemenag kabupaten kota dan KUA. Pada fase pelaksanaan bimbingan pun terkesan ada persaingan. Anggapan ini semakin memperjelas garis kelembagaan ada batas. Tingkat korelasi bisa mendekati numerik 0.
2. Pedoman Bimsik Lemah Terdistribusi
Pedoman sebagai sandaran satuan ukur dalam bertindak dan melakukan sesuatu hal sama dan bersama-sama juga memiliki kelemahan yang curam. Tercatat dalam data jumlah Kemenag kabupaten kota sebanyak 510 dan KUA sebanyak 5.615 (Layanan Kantor Urusan Agama Dasbor Ukur Kementerian Agama RI, http://dulk.erfanresearch.org).
Sedangkan jumlah KBIH tercatat sebanyak 1.596 kelompok bimbingan. Catatan kuantitas yang dapat diukur dan umpan balik distribusi pedoman bimsik tidak dapat dicatat secara kuantitatif. Hingga ada penyumbatan data sebagai dampak kepastian ukuran penerimaan.
3. Rasio Bimsik Tak Terintegrasi
Jumlah jamaah Indonesia yang menjadi dasar kesepakatan OKI adalah 1 permil. Hingga Indonesia memperoleh kuota haji sebesar 211.000. Jumlah ini sudah dapat ditentukan secara spesifik siapa saja yang berhak untuk berangkat dalam waktu yang lebih dini. Karena ada sistem Siskohat.
Rasio bimsik yang diperoleh untuk Kemenag kabupaten kota adalah 1: 414 (211.000/510). Dalam wilayah kabupaten kota terjadi pelayanan bimsik dengan jumlah jamaah yang dilayani sebanyak 414 orang per kabupaten kota. Wilayah KUA berasio 1:38 (211.000/5.615) melayani bimsik jamaah per KUA sebanyak 38 orang. Sedangkan pelayanan bimsik di KBIH berasio 1:132 (211.000/1.596) melayani bimsik jamaah per KBIH sebanyak 132 orang.
Ideal jika, komulatif layanan bimsik terintegrasi berasio 1:32 (211.00/(510+5615+1596)). Pelayanan semesta bimsik akan melayani 32 orang per setiap bimsik.
4. Asumsi Biaya Pelaksanaan Bimsik
Kisaran 15,825 milyar rupiah (Rp.75.000x211.000 orang). Sedangkan KBIH mematok biaya kisaran rata-rata 1,5 juta rupiah per jamaah dengan asumsi biaya kumulatif sebesar 316,5 milyar rupiah (Rp.1.500.000x211.000). Pembiayaan keseluruhan mencapai 332,325 milyar rupiah.
Asumsi biaya bimsik ini kurang berdaya guna dan tepat sasaran. Persoalan waktu pelaksanaan bimsik yang berdekatan dengan pemberangkatan jamaah haji.
Mungkin akan ada beberapa bantahan tentang asumsi biaya ini. Bantahan akan dijawab bahwa pertama hitungan bersifat ceteris paribus karena ukuran haji adalah mampu dalam hal keuangan.
5. Waktu Bimsik Relatif Singkat
Haji adalah ibadah yang dilakukan umat Islam yang dikerjakan sesuai syarat, wajib dan rukun. Ada muda, ada tua, ada yang berpendidikan ada yang tidak, ada wanita dan ada laki-laki, ada yang mengerti bahasa daerah saja dan sebagainya. Banyak ragam dan strata sosial dalam aspek orang yang mengerjakan haji ini.
Persoalan ini tentu tidak dapat disamaratakan jika ditinjau dari sudut pandang alih pengetahuan. Pendidikan apakah itu formal atau non formal memiliki ukuran atas waktu dan kelas. Keliru jika pelaksanaan bimsik bersandar pada keterburuan dan mengabaikan aspek mutu pendidikan bimsik itu sendiri.
6. Seperti Anti Kelas
Pelaksanaan bimsik cenderung dilakukan anti kelas. Pelaksanaan bimsik yang anti kelas dalam hal ini mengelompokkan semua jamaah dalam satu wadah tanpa membagi kelas sesuai ragam yang ada. Hingga bimsik lebih cenderung berkategori ceramah daripada alih pengetahuan. Ada cara, metode, pola dan kesyariatan dalam proses interaksi. Berbeda perlakuan orang muda dengan orang tua, laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
Tranformasi Bimsik Suatu Solusi
Butuh satu inovasi dalam pelaksanaan bimsik. Inovasi yang revolusioner dalam mendayagunakan hubungan kelembagaan dengan orang yang membutuhkan bekal dalam menjalankan syariat Islam yang ke lima ini.
1. Pendayagunaan Pembimbing Bersertifikat
Jumlah pembimbing bersertifikat berasio 1:45 dengan jumlah jamaah haji 211.000. Terbutuhkan 4.689 orang pembimbing sebagai penanggungjawab mutlak berjalannya proses pelaksanaan bimsik sesuai pola dan metode yang ditetapkan. Ada silabus bertematik toharoh, ibadah saat di Tanah Air, saat di perjalanan, saat di Arab Saudi, tuntunan kesehatan dan saat kembali ke Tanah Air.
Para pembimbing bersertifikat inilah yang menjadi penjamin mutu terlaksananya bimsik. Jaminan mutu yang dapat diukur dengan kuantitas rapor per setiap orang.
Merekalah nantinya yang akan bertangggungjawab atas pelaksanaan bimbingan baik dilembaga pemerintahan maupun di lembaga non formal.
2. Pembentukan Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar adalah suatu proses alih pengetahuan dengan ukuran satuan waktu, materi dan kelembagaan yang dapat diukur dengan pasti. Semisal, Seorang peserta didik Sekolah Dasar (SD) bertujuan dapat lulus dan diterima di Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri. Ada dua cara yang cenderung dilakukan. Pertama, memperoleh alih pengetahuan formal disekolah dan mengulang dan menekuninya kembali di rumah. Kedua, masuk dalam pendidikan non formal yaitu bimbingan belajar.
Perihal pertama tentu segala hal hambatan dalam hal pemahaman cenderung dipecahkan sendiri (otodidak) atau bertanya ke sana dan kemari. Tanpa ada jaminan apa yang dilakukan terukur dengan baik.
Sedangkan perihal kedua, ada ukuran keberhasilan dan ada lembar penilaian untuk perbaikan untuk semakin lebih memahami dan dapat diterapkan dengan cepat, tepat dan tidak salah. Lembar penilaian inilah sebagai jaminan mutunya. Tentu saat memilih bimbingan belajar akan ada opotuniti cost (biaya) karena memperoleh layanan dan jaminan dalam pelaksanaan bimbingan.
3. Bimbel Nilai Ekonomis
Pembentukan bimbel bimsik sebagaimana pendidikan non formal (bimbingan belajar pada umumnya) akan memberikan kesempatan kepada seluruh umat Islam yang mau dan ingin menjalankan bimsik yang benar dan tepat, bukan hanya jamaah haji yang akan berangkat pada tahun berjalan dan jamaah umrah.
Aspek ekonomis jika perbandingan dengan bimbel pada umumnya selama periode satu tahun akan diperoleh kisaran 10 juta rupiah per setiap peserta selama setahun. Akan diperoleh pendapatan setiap tahunnya sebesar 2,110 trilyun per tahun (211.000 x Rp.10.000.000). Tentu negara juga akan memperoleh pendapatan pajak penghasilan pertahun kisaran 211 milyar rupiah. Asumsi itu dapat lebih kurang, jika kurang dari 211.000 atau bisa juga lebih dari 211.000 karena pangsa ekonomisnya adalah umat Islam.
4. Keterbutuhan Petugas Kloter Terjamin
Selain aspek ekonomis ada juga manfaat kepada pemerintah. Para alumni bimbel bimsik yang sudah terukur melalui kertas penilaian oleh penjamin mutu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah dalam memperkuat pelayanan pada jamaah haji dan umrah. Mereka bisa diberdayakan menjadi Petugas Kloter, Petugas Non Kloter, Karom, Karu dan TPHD. Bisa juga diberdayakan menjadi petugas PPIH di Embarkasi. Banyak faedah yang bisa dimanfaatkan.
5. Asrama Haji Sebagai Kelas
Revitalisasi asrama haji bukan program tanpa biaya. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk memperkuat layanan kepada jamaah haji. Sebagai lembaga Unit Pelaksana Teknis (UPT), asrama haji diperbolehkan untuk profit. Penguatan peningkatan pendapatan tentu perlu dipetakan agar UPT itu dapat mandiri dan berdayaguna, tidak menjadi beban negara tentunya.
Roadmap pendanaan revitalisasi dan pengembangan asrama haji menunjukkan bahwa Kementerian Agama menerima SBSN tahun 2014 sebesar 200 milyar rupiah dan hingga 2017 terima 424,58 milyar rupiah (Khasan Faozi, Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, ditayang di hajiumrahnews.com, 25 April 2017 berjudul Sejak 2014, Biaya Revitalisasi Asrama Haji Habiskan Ratusan Milyar).
Bukan hanya asrama haji, bahwa kurang lebih ada 314 Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia yang dibangun dengan dana haji (proyek berbasis sukuk haji). Tiap KUA diberikan anggaran 900 juta sd 1,2 miliar rupiah. (Ali Rahmat, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Agama RI, ditayang di
Kompas.com, 7 September 2017 berjudul 314 KUA di Indonesia Dibangun dengan Dana Haji).
Ada alokasi biaya infrastruktur haji yang besar dalam memperkuat layanan haji. Alokasi ini tidak hanya untuk asrama haji dan KUA saja namun juga membangun madrasah dan juga perguruan tinggi.
Infrastruktur itu dapat dimanfaatkan dengan melakukan penyewaan kelas bimbel bimsik kepada lembaga pendidikan non formal. Hingga kebermanfaatannya dapat lebih diberdayagunakan dan UPT lebih mandiri dalam kelayakan keuangan. (ar/ar)