Nusa Dua (WarkopPublik)--Populasi remaja di Indonesia mencapai 30 persen dari jumlah penduduk. Keterlibatan kelompok ini dinilai penting untuk mendukung keberhasilan program KB (Keluarga Berencana).
Youth Volunteer dari UNFPA, Anggraini Sari Astuti mengatakan
ada banyak hal yang bisa dilakukan remaja dalam mendukung program KB. Perempuan
yang akrab disapa Anggie ini tidak sepakat dengan anggapan bahwa urusan KB
hanya untuk pasangan yang sudah menikah.
"KB bukan cuma soal kontrasepsi tapi termasuk juga
bagaimana merencanakan pernikahan. Nah, itu harus dimulai sejak remaja,"
kata Anggie, ditemui dalam pre-conference ICFP (International Conference on
Family Planning) 2016 di Nusa Dua, Bali, Minggu (24/01/2016).
Terkait kesehatan seksual dan reproduksi, data BKKBN (Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana) menunjukkan angka perkawinan usia remaja
di beberapa daerah masih sangat tinggi. Di Kalimantan Selatan misalnya,
sebanyak 0,2 persen remaja putri sudah menikah di bawah usia 15 tahun.
Perkawinan di usia terlalu dini berkaitan dengan kehamilan
berisiko, sehingga turut menyumbang tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2012 mencatat AKI masih mencapai 359 kasus per
100.000 kelahiran hidup.
Lalu apa yang bisa dilakukan remaja? Menurut Anggie, menjadi
peer educator atau penyuluh sebaya adalah salah satu bentuk keterlibatan remaja
dalam masalah tersebut. Tidak selalu harus melalui forum resmi, jejaring sosial
di internet juga bisa dimanfaatkan.
"Pengguna twiter di Indonesia termasuk paling tinggi,
lebih tinggi dibandingkan Tokyo, London, dan US (United States)," kata
Anggie.
Soal layanan kesehatan yang ramah remaja, Anggie mengeluhkan
jam buka Puskesmas yang biasanya hanya buka di jam-jam sekolah. Perasaan 'tidak
nyaman' juga masih sering dialami remaja putri saat mengakses layanan dokter
kandungan dan kebidanan. (detik/ar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar