Running Text

ADVOKASI HAJI DARI DAN UNTUK JAMAAH (KLIK DI SINI) PENINGKATAN LAYANAN HAJI 2017 BUKAN CERITA 'DONGENG' (KLIK DISINI) ABDUL DJAMIL, PEMIKIR CERDAS DAN TOKOH PERUBAHAN HAJI INDONESIA (KLIK DISINI) AFFAN RANGKUTI: SELAMAT DATANG JEMAAH HAJI INDONESIA SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI KE-71, NKRI HARGA MATI” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “SELAMAT JALAN JEMAAH HAJI INDONESIA 2016 SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI REGULER TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) KEMENAG DAN DPR SEPAKATI BPIH 2016 TURUN 132 USD DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI KHUSUS TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) SELAMAT ATAS KEMENANGAN MUSA LA ODE ABU HANAFI YANG MERAIH JUARA KETIGA DALAM AJANG MUSABAQAH HIFZIL QURAN (MTQ) INTERNASIONAL DI MESIR SELAMAT ATAS LAHIRNYA CUCU PRESIDEN JOKO WIDODO DASAR HUKUM MENJERAT TRAVEL HAJI DAN UMRAH NAKAL (KLIK DISINI) POTENSI PDB INDUSTRI JASA UMRAH 16 TRILYUN RUPIAH PER TAHUN JOKOWI AJAK TWITTER SEBARKAN PESAN TOLERANSI DAN PERDAMAIAN MENAKAR INDUSTRI JASA HAJI DAN UMRAH NASIONAL DI ERA PASAR BEBAS ASEAN SELAMAT ATAS PELANTIKAN SOETRISNO BACHIR MENJADI KETUA KEIN KAPOLRI BERTEKAD PERANGI AKSI TEROR

Jumat, 29 Desember 2017

Sepertinya, Pendatang Pas Pimpin Sumut (Kalau Aku Ditanya: Setuju Sekali)

Siti Aisyah Pulungan dan sang ayah
Foto: Akbar/Okezone
Bogor (WarkopPublik)--"Dulu semasa aku kecil dan remaja saat di Sumatera Utara (Sumut) beredar istilah di masyarakat saat itu seperti Semua Urusan Melalui Uang Tunai, Katebelece, Cuma Buang Angin yang Gratis, Cari yang Haram Saja Susah Apalagi yang Halal, Ujung ujungnya Duit, dll. Mudah-mudahan saja istilah seperti itu saat ini di sana tidak sepopular dulu atau mungkin semakin popular," Affan Rangkuti.

Sumut, adalah provinsi yang masuk dalam tujuh besar dalam pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal rasuah. Predikat yang akan melekat seumur hidup, walaupun bisa diperbaiki akan tetap memiliki bekas. Andaisaja ini tidak menjadi catatan bagi Provinsi Sumut, namun sejarah tidak mencatat andaisaja. Sayangnga sejarah hanya mencatat bukti dan kenyataaan.

Perkembangan Sumut belum menggembirakan. Bagaimana dapat gembira, dua gubernur sudah dikerangkeng KPK karena kasus korupsi. Bukan hanya gubernur, sejumlah anggota dewan pimpinan daerahnya pun ikut dipenjara dalam kasus itu. Bahkan kasus itu menurut informasi tetap dilanjutkan sebab kasusnya tidak pernah dihentikan. Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara pun sempat terseret kasus korupsi.
Kasus korupsi di Sumut melibatkan banyak lini, dari walikota, bupati, anggota DPRD, hingga gubernur.

Soal miskin dan pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut mencatat jumlah penduduk miskin di provinsi itu mencapai 1,45 juta jiwa. Jumlah pengangguran terbuka di Sumut pada posisi Agustus 2017 sebanyak 377.000 orang.

Narkoba, Badan Narkotika Nasional mencatat warga yang menjadi pengguna dan terdampak narkoba di Sumut berjumlah sekitar 350 ribu orang dan tersebar di 33 kabupaten kota.

Kesehatan, Ombudsman RI perwakilan Sumut menilai kualitas layanan rumah sakit (RS) di Sumut masih buruk. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya keluhan masyarakat yang melapor ke Ombudsman. Salah satu anggota DPRD mengungkapkan pada 2015 terdapat 1.152 kasus gizi buruk yang tersebar di berbagai kabupaten kota di Sumut.

Pendidikan, Kejaksaan Tinggi Sumut membidik kasus penerimaan siswa secara "siluman" di SMA Negeri di Medan yang tidak melalui jalur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online.

Terbaru, harus 'ditiru' ada universitas Islam di Sumut menyelenggarakan seminar Jejak Pelacur Arab dalam Seni Baca Alquran. Mantabkan, bagus sekali seminar itu untuk 'ditauladani'.

Itu masih secuil bagaimana 'hebat dan luar biasanya' sebagian pemimpin di Sumut dalam melayani dan mengajarkan 'sesuatu' pada masyarakatnya.

Ada pepatah tua mengatakan. Jika ingin air di dalam bak menjadi bersih dan jernih, buatlah pancuran agar air baru masuk. Jika tidak maka air di bak tidak akan pernah akan berubah, tetap airnya tak bersih dan tak jernih. (ar/ar)

Kamis, 28 Desember 2017

Daging Dam Haji Perkuat Kebijakan Indonesia Sehat Bergizi

Domba Suffolk, salah satu jenis domba untuk dam
Foto: habaloen.com
Bogor (WarkopPublik)--Kajian ini pernah disampaikan pada 2013 lalu. Saat ini kembali dimunculkan oleh Lukman Hakim Saifuddin (Menag) dalam pengelolaan daging dam haji. Jika ini dapat segera diimplementasikan, akan bermanfaat bagi orang yang membutuhkan kebutuhan atas gizi.

Hanya saja, Menag harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan berpengaruh buruk pada pasar Kakiyah (pasar rakyat) pemotongan hewan di Mina. Namun pada prinsipnya mendorong pemanfaatan daging dam itu sangat baik. Baik bagi jamaah haji, karena ada kepastian hewan damnya dipotong dengan syarat yang terpenuhi. Serta baik, bermanfaat bagi orang yang menerima daging dam tersebut.

Seekor kambing punya karkas (tulang daging, tanpa kepala, kaki, kulit dan jeroan) sekitar 50 % dari berat hidup. Pemotongan hewan modern Moissem, di kawasan Mina yang dikelola Islamic Development Bank (IDB) memiliki kambing dengan berat hidup kisaran 25 kg. Karkasnya lebih kurang 12 kg. Jumlah ini, akan mampu dihasilkan daging tanpa tulang sekitar 75% dari berat karkas atau sekitar 9 kg.

Terkomulatif sebanyak 1.989.00 juta kg ekuivalen 1.989 ton (9 kg x 221.000 jamaah haji). Andaikata daging tanpa tulang itu dikirim ke Indonesia ditaksir pembiayaannya sebesar 8 riyal per kg sudah termasuk pengalengan. Dibutuhkan biaya sebesar 55,7 milyar rupiah untuk mengirimnya ke Indonesia.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih kurang 27 juta jiwa. Pertahun akan tersedia untuk dikonsumsi daging dam haji untuk 1,98 juta penduduk miskin. Biaya pengalengan dan kirim masih lebih murah daripada 1,98 juta penduduk miskin didistribusi dengan daging (bukan daging dam). Harga per kilo daging di Tanah Air kisaran 100 ribu rupiah atau ekuivalen dengan 198,9 milyar rupiah.

Masih ada selisih lebih hemat sebesar 143 miliar rupiah apabila daging dam dimanfaatkan untuk kebutuhan gizi penduduk miskin di Indonesia.

Ini sebagai potret kajian sadd adz-dzari'ah dalam tinjauan matematik. Hingga daging dam lebih bermanfaat pengelolaannya, dan haji pun akan menjadi bagian pendukung nyata dalam kebijakan Indonesia sehat dan bergizi. (ar/ar)

Rabu, 27 Desember 2017

Berani Gencar Promosi Manasik, Paten!

Praktisi haji umrah Affan Rangkuti
Foto: citraindonesia.com
Bogor (WarkopPublik)--Prosesi ibadah umrah bagi beberapa kalangan kadangkala menjadi beban psikologis tersendiri. Psikologis itu salah satunya disebabkan kemampuan manasik. Sering kita perhatikan pelaksanaan manasik dilaksanakan ditempat yang cukup mewah, hotel misalnya. Mungkin ini dinilai penting dalam strategi promotif penyelenggara. Jepret sana, jepret sini naik dilinimasa media sosial atau media lainnya. Memang itu bukan suatu kekeliruan, akan tetapi takaran ukuran kemampuan manasiknya bagaimana. Boleh jadi yang dibimbing mengerti, boleh jadi tidak.

Standarisasi pola bimbingan manasik umrah mungkin belum dibakukan. Penting menjawab problematika ini, perlu sebuah konsep praktis agar jemaah ibadah umrah lebih yakin dan percaya diri bahwa umrah adalah ibadah yang lebih mengutamakan pisik, adapun doa-doa lebih bermakna pada media untuk lebih khusuk dalam proses penghambaan diri yang melebur dalam konsentrasi, penghayatan kepada Allah Swt hingga menimbulkan satu kenikmatan yang dirasakan. Dan, melihat kenyataan itu butuh panduan ibadah praktis manasik umrah yang tidak bertentangan dengan rukun, syarat, dan wajib.

Membuat hal baru sangat baik, daripada tidak samasekali. Sekaligus menggugah pemerintah untuk secepatnya membuat standarisasi dan pola bimbingan manasik umrah yang mewadahi semua kalangan, hingga ada pilihan bagai sajian menu di restoran nasi Padang. Jangan hanya menetapkan harga minimal saja karena kajian harga minimal sudah dilakukan jauh sebelum adanya rencana penetapan itu. Masih banyak hal lainnya yang tidak kalah penting seperti penguasaan manasik umrah.

Ini belum lagi perihal siapa yang akan tanggungjawab jika ada city tour alias melancong ke negara di luar Arab Saudi. Kan gak lucu apabila ada persoalan lantas 'meriam' diarahkan ke Lapangan Banteng (Kemenag). Jadi norma yang akan dikeluarkan nantinya benar-benar harus dicermati agar mewadahi kepentingan bersama, bukan kepentingan tertentu. Nanti akan terkesan jenaka jika setiap tahun norma berubah, paling tidak ada kajian estimasi berapa tahun norma ini diperkirakan mesti diubah, kecuali ada kebutuhan yang sangat luar biasa. Karena ia (norma) dibangun dari keinginan dan nilai yang ada pada masyarakat luas, akan menjadi bijak jika terlebih dahulu diuji ke publik.

Kembali ke manasik umrah, mestinya ada panduan. Seperti ada panduan bagi orang tak bisa baca tulis tapi bisa mendengar dan melihat. Ada panduan bagi orang disabilitas (mata, telinga, atau anggota badan lainnya). Ada panduan bagi orang tidak atau kurang bisa berbahasa Indonesia (bisa bahasa daerah saja). Ada panduan bagi orang yang tidak bisa baca doa atau niat dalam aksara Arab. Ada panduan lengkap bagi orang yang ingin keringkasan dan praktis karena ingin khusuk tanpa dipenuhi bacaan-bacaan yang tidak wajib, dll.

Tidak bisa kita menyamaratakan jemaah umrah seolah semuanya laki-laki, semuanya muda, semuanya normal. Jemaah itu beragam. Ada yang pintar, ada yang kurang atau tidak pintar, ada yang sekolah, ada yang tidak, ada disabilitas, ada yang tua, ada muda, ada wanita, ada yang hanya tahu bahasa daerah dll, komplekslah.

Mungkin akan ada yang mengatakan wah ribet dong. Ya mesti ribet, karena mereka kan bayar. Kalau bayarannya kurang atas biaya manasik ya mesti dihitung benar agar menjadi tidak kurang. Mereka pada prinsipnya mau ibadah umrah, bukan mau melancong. Kalau urusan lancong-melancong itu lain lagi dimensinya. Jadi apabila kurang biayanya ya hitung ulang. Manalah ada di dunia ini ada proses belajar ramai-ramai dan dilakukan sekali dua kali lalu hasilnya yang diajari langsung tahu dan mengerti. Hebat sekali gurunya jika itu ada.

Apa artinya jika berumrah jika tak mengerti apa-apa. Hanya ikut mutawif, apa yang disampaikan mutawif saat prosesi ibadah. Iya jika jemaahnya dengar, iya jika jemaahnya bisa ikuti, iya jika jemaahnya tahu bahasanya. Iya jika mutawif bertanya kepada masing-masing apakah ada yang belum mengikuti. Realitanya bagaimana. Ini belum lagi soal mutawifnya mazhab apa, Syafii kah, Hambali kah, Maliki kah, Hanafi kah.

Kemampuan itu diperoleh dari diri sendiri dan bantuan orang atau pihak lain agar menjadi mampu. Justru para penyelenggaralah yang memiliki peran vital dalam membantu agar kemampuan itu ada terutama manasik. Jangan sampai sepulang umrah hanya bisa menceritakan oh hotelnya megah, pesawatnya bagus, makanannya enak, pergi ke sana, pergi ke sini, belanja sana, belanja sini dll. Sementara urgensinya kurang bisa dihayati dan diceritakan kepada orang lain bagaimana nikmatnya prosesi ibadah ini. Kasihankan, kalau sudahlah capek tapi kurang mendapat apa-apa kecuali hanya belanjaan dan selfie lalu unggah.

Penyelenggara punya tugas moral dalam menafkahi kebutuhan manasik. Tidak cukup hanya promosi hotel berbintang, pesawat besar, makan lezat, bus exekutive, bayar boleh cicil, atau boleh hutang (ini masih beda pendapat). Justru substansinya minim dipromosikan (manasik). "Kami akan bimbing Anda manasik umrah sampai bisa, setelahnya baru kita berangkat" atau "Pertanggungjawaban kami dunia dan akhirat, maka kami harus pastikan manasik umrah bisa Anda kuasai" ada tidak yang promosi itu, kalau ada mesti diapresiasi.

Mungkin promosi manasik dinilai kurang menguntungkan atau kurang menarik. Padahal itu substansinya. Masalah diterima atau tidak manasik itu nantinya bukan kita yang menilai. (ar/ar)

Senin, 25 Desember 2017

Kuota Haji, Masyarakat Perlu Tahu dan Bijak

Kuota haji 13 tahun terakhir
Foto: Affan Rangkuti
Bogor (WarkopPublik)--Lukman Hakim Saifuddin dan rombongan saat ini sedang berada di Arab Saudi. Agendanya antara lain adalah penambahan kota haji, penambahan kuota petugas haji dan peningkatan layanan di Mina. Nah masalah kuota haji kita ini masih sangat relevan bahkan lebih dari formula 1 permil penduduk muslim suatu negara sesuai hasil keputusan OKI 1987. Kuota haji kita diberi 211.000. Kalau riil harusnya kuota haji Indonesia adalah sebesar 207.176 karena jumlah penduduk muslim sebanyak 207.176.162 (SP BPS 2010). Ada kenaikan 3.824 dari kuota dasar haji untuk 2010 jika merujuk pada jumlah muslim SP BPS 2010.

Berikut ini rincian kuota jemaah haji dalam 13 tahun terakhir:

1. Kuota haji 2005: 205.000
2. Kuota haji 2006: 205.000
3. Kuota haji 2007: 210.000
4. Kuota haji 2008: 207.000
5. Kuota haji 2009: 207.000
6. Kuota haji 2010: 211.000 (kuota haji kita diberi 211.000. Kalau riilnya harusnya kuota haji adalah sebesar 207.176 karena jumlah penduduk muslimnya sebanyak 207.176.162 (SP BPS 2010). Ada kenaikan 3.824 dari kuota dasar haji untuk 2010 jika merujuk pada jumlah muslim SP BPS 2010.
7. Kuota haji 2011: 211.000
8. Kuota haji 2012: 221.000 (ada tambahan 10.000 dari 211.000)
9. Kuota haji 2013: 168.800 (ada potongan 42.000 atau 20% dari 211.000 karena proyek perluasan Masjidil Haram)
10. Kuota haji 2014: 168.800 (ada potongan 42.000 atau 20% dari 211.000 karena proyek perluasan Masjidil Haram)
11. Kuota haji 2015: 168.800 (ada potongan 42.000 atau 20% dari 211.000 karena proyek perluasan Masjidil Haram)
12. Kuota haji 2016: 168.800 (ada potongan 42.000 atau 20% dari 211.000 karena proyek perluasan Masjidil Haram)
13. Kuota haji 2017: 221.000 (kuota kembali normal 211.000 karena proyek perluasa  Masjidil Haram selesai dan ada tambahan 10.000)
14. Kuota haji 2018: Prediksi 221.000 (kuota dasar 211.000 ditambah tambahan 10.000)

Artinya masyarakat luas harus memahami bahwa ada formula dalam urusan kuota haji ini. Sepatutnya kita bersyukur bahwa ternyata kuota haji justru berada pada angka di atas formula 1 permil dari jumlah penduduk muslim di Indonesia. Jika pun kita uji dengan survei penduduk antar sensus (supas) sesuai UU 16/1997 tentang Statistik pada Pasal 8  dan Pasal 9 maka angka kuota haji masih di atas formula 1 permil.

Tak perlu kita seperti mendesak pemerintah Arab Saudi untuk menambah kuota melalui Menteri Agama. Hingga akhirnya mau tak mau si menteri pun harus menyuarakan itu pada Arab Saudi. Kasihan juga, padahal kuota itu sudah di atas formulasi OKI 1987. Memang kita sebenarnya maunya ditambah berapa lagi.

Kita juga harus menyadari bahwa suatu formula dibuat bukan tanpa dasar. Memangnya yang berhaji hanya muslim dari negara kita saja. Apakah jika ditambah seperti yang kita mau agar haji jadi cepat antrian misalkan 230.000 atau 250.000 lalu membuat kita nyaman. Itu semua butuh proses, perlu perluasan, perlu pembangunan di wilayah Masyair (Mina, Muzdalifah, dan Arafah). Kalau tidak maka akan terjadi penumpukan ditenda tidur sempit-sempitan, belum lagi urusan water closet (wc), apa mau atau bisa mengantri berjam-jam disaat kebelet atau mau kebelet.

Nanti kalau kurang atau tidak nyaman lalu ribut, recok sana sini dan anggap Kementerian Agama (Kemenag) tidak becus urus jemaah. Musim haji tahun 2017 dengan jumlah kuota 221.000 itu Indeks Kepuasan Jemaah Haji (IKJH) sebesar 84.85. Angka indeks ini terbilang di luar perdiksi. Kenapa, jumlah petugas kurang dan banyak kekurangan lainnya seperti layanan di Mina. Apakah tahun esok akan lebih baik, tidak ada jaminannya. Apalagi jika kuota haji tetap ditambah 10.000 (221.000) dengan kondisi petugas kurang, layanan di Mina kurang dll. Jika pun petugas haji ditambah dan layanan Mina ditingkatkan angka 84.85 itu belum tentu naik, tetap saja sudah sangat bersyukur karena bisa saja angka itu turun. Mengapa begitu, ya karena banyak faktor yang mempengaruhi contoh faktor alam, karakteristik jemaah, situasi politik, karakteristik petugas dll. Karakteristik ini selalu berubah. Jamaah kemarin dengan mendatang beda orang, petugas kemarin dengan mendatang 30-40% beda orang, situasi politik dalam dan luar negeri (Timur Tengah) mendatang juga belum tentu sama dengan kemarin.

Lalu apa langkah yang dilakukan Kemenag dalam hal ini. Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah.., "dan apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah." Tekad diaplikasikan dengan pola, standarisasi, dan pembakuan dalam menjalankan dan meningkatkan program pelayanan haji. Ada managemen yang sudah dibangun, ditata dan terus dtingkatkan. Setelah semua dilakukan barulah Kemenag menyerahkan kepada Allah Swt. (ar/ar)

Kabupaten Bogor Masih Berwajah 'Kusam'

Safari sosial Ade Whardana Adinata
Foto: facebook Ade Whardana Adinata
Bogor (WarkopPublik)--"Jadilah rakyat miskin disaat engkau menjabat, dan jadilah pejabat manakala engkau bertemu penjahat"

Kalimat ini sepertinya cocok untuk bupati Bogor mendatang. Sedikit meluangkan waktu mengikuti salah satu akun media sosial (medsos) salah satu calon Bupati Bogor. Ternyata banyak hal yang menarik dalam aktivitas dan safari sosialnya. Banyak temuan-temuan kemanusiaan dalam dimensi ekonomi dan sosial. Memang, medsos saat ini menjadi salah satu jendela informasi yang tidak bisa diabaikan bahkan justru diandalkan. Banyak riset terkait tentang itu.

Soal Kabupaten Bogor. Siapa sih yang mau untuk hidup miskin. Tak ada yang sudi untuk menjadi manusia yang minim kepintaran. Tak akan ada yang rela untuk menjadi manusia berpenyakit. Tak kan ada yang mau untuk hidup tanpa pekerjaan.

Pemetaan dan identifikasi masalah dinamika sosial ekonomi yang didapati membuat kita terperangah. Bahkan boleh jadi diprediksi ada fenomena gunung es yang menyelimuti kabupaten ini. Lebih kaget lagi disaat media menulis Bogor ”Surga” LGBT. Rasa kuatir, cemas, takut dan amarah pun muncul. Bagaimana tidak, namanya orang tua dipastikan akan cemas dengan kondisi ini.

Harga kehidupan sosial di Kabupaten Bogor boleh disebut terbilang mahal. Setiap waktu mata dan telinga orang tua digunakan dengan seksama dalam meradar pergaulan anak. Tak masalah dikatakan lebay, kepo atau sotoy (istilah anak terkini). Orang tua hanya memastikan bahwa anaknya jelas bergaul kemana dan dengan siapa.

Dimana pemerintah Kabupaten Bogor. Apakah pernah para pemangku jabatan ini berkala melakukan kajian, penelitian dalam menjawab dinamika dan persoalan sosial yang terjadi. Apakah karena mereka habis waktu dan energi karena berkutat pada masalah kemiskinan sebagai prioritas, sedang soal lainnya dikesampingkan. Sajian data dari salah satu media nasional menyebutkan bahwa Kabupaten Bogor menduduki posisi 10 daerah termiskin dari 27 kabupaten dan kota seprovinsi Jawa Barat. Angka penduduk miskin mencapai 8,92 persen dari jumlah penduduk mencapai 5,5 juta jiwa. Artinya 490 ribu orang lebih masyarakat kabupaten itu hidup miskin. 490 ribu orang berpotensi pada entitas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dll. Potensi itu bisa saja membentuk sikap dan kepribadian yang menyimpang.

Sudahlah rakyat miskin, pejabatnya saat aktif malah terbelit kasus korupsi. Mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan terkait suap alih fungsi lahan pada 7 Mei 2014 silam. Selain Yasin, lembaga anti rasuah itu juga menangkap Muhammad Zairin mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan juga sudah divonis kurungan penjara dan denda atas kejahatan yang dilakukan. Mereka divonis atas menerima suap senilai 4,5 miliar rupiah guna memuluskan rekomendasi surat tukar menukar kawasan hutan. Selain mereka berdua, divonis juga 'para juragan' dan mendekam dalam 'hotel prodeo', mereka adalah Yohan Yap dan Cahyadi Kumala.

Itu soal kemiskinan dan potensi dampak yang ditimbulkan. Bagaimana soal pendidikan. Ada satu sekolah di wilayah Parung bersemayam ajaran sesat di dalamnya. Herannya, saat kasus ini terkuak barulah ada investigatif bahwa sekolah itu belum memiliki izin dari dinas pendidikan Kabupaten Bogor. Di luar logika jawaban itu, mengapa. Pertama letak sekolah jelas di salah satu jalan lintas ramai Bogor Jakarta. Kedua, sekolah sudah memiliki dua rombongan belajar untuk setiap tingkatan. Untuk tingkat SMP baru ada kelas 7 dan kelas 8, sedangkan untuk tingkat SMA baru ada kelas 10 dan kelas 11. Ketiga, sudah beroperasi sekitar 1,5 tahun. Aneh bukan, tidak akan aneh jika melihatnya dalam dimensi 'kepentingan'.

Hal di atas masih sejumput dari sekeranjang persoalan lain yang masih menumpuk dan menjadikan Kabupaten Bogor berwajah 'kusam'. Bupati Bogor mendatang akan ditantang untuk mampu mengubah wajah itu menjadi 'ceria'. Ada keyakinan dan harapan besar yang akan memimpin nanti mampu melakukan itu di bumi Prayoga Tohaga Sayaga Kuta Udaya Wangsa, Bumi Tegar Beriman. (ar/ar)

Sabtu, 23 Desember 2017

Dua Jempol Buat Turki Yaman dan Terima Kasih Trump

Presiden Turki
Recep Tayyip Erdogan
Foto: alamislam.com
Bogor (WarkopPublik)--Peristiwa aneksasi Yerusalem sudah terjadi berulang kali sejak era kuno.  Kembali dunia dikejutkan dengan pengakuan 'aneksasi' sepihak Amerika Serikat (AS) terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Melalui Donald Trump sebagai Presiden AS melakukan gerakan aneksasi politik. Dunia pun bergejolak paska pengakuan itu (06/12/2017).

Aneksasi dijawab dengan aneksasi. Dalam sidang istimewa darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York (21/12/2017), sebanyak 193 anggota majelis umum PBB melakukan pemungutan suara atas resolusi yang menolak keputusan Presiden AS Donald Trump. Hasilnya, 128 anggota mendukung resolusi, sembilan negara menolak sementara 35 lainnya abstain.

Trump pun gagal dalam menyulut gejolak politik dunia yang sudah hampir padam soal Timur Tengah. Walaupun usahanya bisa terbilang sudah berjalan namun akhirnya dieliminir melalui Resolusi PBB Nomor A/ES‑10/L.22 yang menyatakan status Yerusalem sebagai ibu kota Israel "tidak berlaku". Sebelumnya draf resolusi ini diajukan oleh Yaman dan Turki sebagai perwakilan negara-negara Arab dan Islam (draf resolusi Nomor A/ES-10/L.22) dan ditolak keras oleh AS. Usaha keras Trump tanpa dia sadar malah memperkuat persatuan negara Islam dan mengisolasi AS.

Donald pun semakin terpukul dengan pengakuan itu, bagaimana tidak, negara pemilik Hak Veto selain AS pun tidak mendukungnya (Rusia, China, Inggris, Prancis).

Berikut rincian negara mendukung, menentang, abstain, dan tidak memberikan suara untuk resolusi menolak Yerusalem ibu kota Israel:

Negara-negara yang mendukung resolusi: Afghanistan, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belarus, Belgia, Belize, Bolivia, Botswana, Brasil, Brunei, Bulgaria, Burkina Faso, Burundi, Cabo Verde, Kamboja, Chad, Chile, China, Comoros, Kongo, Costa Rica, Cote d'Ivoire (Pantai Gading), Kuba, Siprus, Korea Utara, Denmark, Djibouti, Dominika, Ekuador, Mesir, Eritrea, Estonia, Ethiopia, Finlandia, Prancis, Gabon, Gambia, Jerman, Ghana, Yunani, Grenada, Guinea, Guyana, Islandia, India, Indonesia, Iran, Irak, Irlandia, Italia, Jepang, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Kyrgyzstan, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Liechtenstein, Lithuania, Luksembourg, Madagascar, Malaysia, Maladewa, Mali, Malta, Mauritania, Mauritius, Monako, Montenegro, Maroko, Mozambique, Namibia, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Niger, Nigeria, Norwegia, Oman, Pakistan, Papua New Guinea, Peru, Portugal, Qatar, Korea Selatan, Rusia, Saint Vincent dan Grenadines, Saudi Arabia, Senegal, Serbia, Seychelles, Singapura, Slowakia, Slovenia, Somalia, Afrika Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swedia, Swiss, Suriah, Tajikistan, Thailand, Makedonia, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, Tanzania, Uruguay, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yaman, Zimbabwe

Negara-negara yang menolak resolusi: Guatemala, Honduras, Israel, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau, Togo, Amerika Serikat

Negara-negara yang abstain: Antigua, Barbuda, Argentina, Australia, Bahamas, Benin, Bhutan, Bosnia Herzegovina, Kolombia, Kroasia, Republik Ceko, Republik Dominika, Guinea Ekuatorial, Fiji, Haiti, Hungaria, Jamaika, Kiribati, Latvia, Lesotho, Malawi, Meksiko, Panama, Paraguay, Filipina, Polandia, Rumania, Rwanda, Kepulauan Solomon, Sudan Selatan, Trinidad, Tobago, Tuvalu, Uganda, Vanuatu.

Negara yang tidak memberikan suara: Republik Afrika Tengah, Republik Demokrasi Kongo, El Salvador, Georgia, Guinea-Bissau, Kenya, Mongolia, Myanmar, Moldova, Saint Kitts Nevis, Saint Lucia, Samoa, San Marino, Sao Tome-Principe, Sierra Leone, Swaziland, Timor Leste, Tonga, Turkmenistan, Ukraina, Zambia. (ar/ar)

Kamis, 21 Desember 2017

Nilai Kemanusiaan yang Seperti Apa

Salah satu acara ILC
Foto: property dari TVone 
Bogor (WarkopPublik)--Dalam hal simulasi, orang mendiami suatu realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, antara asli dan palsu itu tipis. Butuh tingkat pengetahuan yang luas, bijak dan cermat untuk mengujinya. Karena ada proses metamorfosis realitas menjadi semi realitas dengan hasil akhirnya hiperrealitas. Ini bisa medekonstruksi hal yang benar menjadi keliru dan keliru menjadi sebuah kebenaran.

Ini biasa dan bukan hal baru, manun akankah ini menjadi biasa juga jika bersentuhan dengan urusan agama? Contoh Islam, Islam juga punya gaya khas soal ini, namun Islam membangun siyasah dengan al Ahkam melalui proses manhaj. Itu sandaran Islam dalam menentukan sikap dalam sosial politik yang diterjemahkan dalam qawaid fiqhiyyah (kaidah fiqh) akhirnya menjadi qanun.

Qanun dapat diadopsi menjadi hukum positif. Karena hukum positif bersumber salah satunya dari qanun. Inilah Islam. Islam tak memaksa harus ikut dalam pemikiran Islam, maka Islam juga jangan dipaksa untuk mengikuti arus pemikiran yang bukan Islam. Apa yang terjadi saat ada arus pemikiran yang dipaksakan, perdebatan dan pertentangan tajam akan terjadi.

Butuh satu solusi cerdas dan mewadahi agar perdebatan tajam itu tidak memunculkan konflik. Ada norma yang mesti dibuat hingga norma itu mengisi ruang-ruang kosong, tidak cukup hanya berbicara nilai kemanusiaan dalam kerangka komprehenship, butuh tafsir jelas nilai kemanusiaan yang seperti apa yang mesti dilakukan.

Semisal senyum adalah nilai kemanusiaan, maka senyum yang bagaimana dan dalam kondisi apa hingga senyum menjadi nilai kemanusiaan. Jika mengelus adalah nilai kemanusiaan, maka elusan seperti apa dan dalam kondisi apa hingga elusan itu menjadi nilai kemanusiaan. Apabila melayani orang adalah nilai kemanusiaan, maka melayani yang seperti apa dan kondisi yang bagaimana hingga melayani itu agar menjadi nilai kemanusiaan. (ar/ar)

Perlu Manasik Haji Lintas Kampus

Kakbah
Foto: islamiclandmarks.com
Bogor (WarkopPublik)--Jika peserta didik Taman Kanak-Kanak (TK) atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) melaksanakan manasik akbar, itu sudah tidak asing lagi dimata dan telinga kita. Tapi, jika mahasiswa melaksanakan manasik, ini baru hal yang menarik. Lebih menarik lagi, jika dilakukan bukan oleh lembaga pendidikan Islam atau mahasiswa jurusan terkait agama Islam.

Nah, tersiar kabar Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Widya Pratama di Pekalongan mengikuti kegiatan Manasik Haji, Minggu (17/12/2017). Program manasik haji ini masuk dalam program mata kuliah yang wajib diikuti di STMIK itu. Hebat kan, perlu dua jempol buat pengelolanya.

Setelah dikulik, program manasik haji bagi mahasiswa baru STMIK telah ada sejak 2010. Wah luar biasa, Ditjen PHU perlu tahu informasi sebagus ini. Program mereka ini bisa menjadi penopang program-program Kemenag dalam urusan manasik. Sepertinya Ditjen PHU harus keluar 'kandang' nih, bangun program Manasik Haji Lintas Kampus.

STMIK mewajibkan mahasiswanya ikut dalam salah satu mata kuliahnya. Padahal lembaga pendidikan mahasiswa itu bukan lembaga pendidikan agama Islam. Jika STMIK bisa, harusnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi agama Islam juga bisa, bukan cuma bisa tapi harusnya menjadi lokomotif penggerak agar kampus-kampus umum mau melakukannya. (ar/ar)

Minggu, 17 Desember 2017

Boikot Paman Sam, Siapa yang Untung?

Ilustrasi boikot produk Amerika
Foto: portal-islam.id
Bogor (WarkopPublik)--Presiden Donald Trump bagai menantang dunia dengan mengumumkan secara resmi pengakuan Amerika atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan kedutaan besar Paman Sam ke kota itu.

Duniapun bergejolak. Aksi protes dari berbagai negara terjadi dan meminta Trump untuk mencabut pernyataan resminya itu. Termasuk Indonesia, masyarakat muslimnya pada hari ini melakukan seruan penolakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Lebih kurang dua juta umat Islam Indonesia ikut dalam aksi bela Palestina berkumpul di Monumen Nasional Jakarta Pusat pada Minggu (17/12/2017).

Selain menyerukan penolakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, aksi ini  juga mengajak umat Islam memboikot segala hal yang berkaitan dengan Amerika Serikat (AS).

Muncul asumsi saya soal seruan penolakan atau boikot yang berkaitan dengan Amerika yang kini didengungkan untuk kesekian kalinya. Ada barang dan jasa yang berhubungan dengan itu. Mungkin kita akan dapat melepaskan diri dari parfum Elizabeth Arden, rokok Marlboro. Mudah juga kita palingkan wajah dari tekonologi Apple, IBM, Intel atau nyamannya otomotif Hammer, Chevrolet, Buick, GMC dan Cadillac.

Kita juga bisa tak memikirkan  pujian karena memakai fashion Hanesbrands, Ralph Lauren, Calvin Klein, Vans Heusen atau Tommy Hilfiger. Itu bisa kita gantikan dengan merek lain yang murah, tak masalah jika tak dipuji yang penting aurat tertutup. Mudah bagi kita dengan tidak menggunakan itu karena selain harganya yang super mahal, tempat membelinya juga tertentu.

Namun, apakah kita dapat melepaskan diri dari media sosial Facebook, Twitter, WhatsApp, Gmail atau Google. Dan bagaimana juga dengan sistem utama sistem persenjataan (alutsista) kita yang masih menggunakan produk Amerika itu.

Enam tahun kita diembargo dalam soal pengadaan senjata militer (1999-2005), embargo yang dilatarbelakangi tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan di Timor Timur, seperti peristiwa Santa Cruz. Akibatnya pesawat-pesawat produk AS yang dioperasikan oleh Indonesia terpaksa digrounded karena  pengiriman suku cadang pesawat-pesawat dihentikan. F-16 Fighting Falcon, sejumlah armada F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130 Hercules. Bukan hanya itu, beberapa pesawat Hawk 109/209 buatan Inggris sebagai sekutu sekutu AS juga ikut terkena embargo.

Embargo sudah dicabut, Indonesia telah menerima hibah dari AS sejumlah pesawat tempur F-16 Fighting Falcon. Penguatan alutsista dengan helikopter serang AH-64D Apache Longbow. Bahkan Indonesia telah memesan 30 AIM-9X-2 rudal Sidewinder,  AIM-9X-2 rudal captive pelatihan udara, Blok II unit bimbingan rudal taktis, dan rudal udara pelatihan dummy dll.

Ini belum termasuk produk barang jasa buatan Amerika di bidang percetakan, alat kesehatan, pendidikan dan lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah mandiri dengan rencana memboikot segala hal yang berkaitan dengan Amerika Serikat. Selanjutnya siapa yang akan diuntungkan atas boikot ini nantinya, produksi barang jasa dalam negeri atau malah bergantung ke negeri lain. (ar/ar)

Seminar di UIN Sumut: Usut Tuntas Biang Keroknya

Tema seminar di UIN Sumut
Foto: hidayatullah.com
Bogor (WarkopPublik)--'Tuhan Membusuk', inilah tema Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (Oscar) Mahasiswa Baru (Maba) 2014 di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabayaya Jawa Timur, yang digelar pada 28 hingga 30 Agustus 2014 silam. Tema yang cukup kontroversi, radikal plus 'ngeri' yang bisa memunculkan penafsiran luar biasa bagi yang membacanya.

Alih-alih sadar, pada 11 Desember 2017 kembali kampus Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara (Sumut) menyelenggarakan seminar bertajuk “Jejak Pelacur Arab dalam Seni Baca Alquran”. Judul seminar  yang membangkitkan amarah ini tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Apakah mereka yang terlibat dalam seminar ini lupa, pura-pura lupa atau mungkin menantang munculnya gelombang persoalan. Gelombang penuntutan untuk mempidana penghinaan sudah berkali-kali terjadi.

Lia Eden

Nama Syamsuriati alias Lia Eden sempat heboh di awal tahun 2000-an. Lia yang mengaku sebagai pemimpin ajaran Tahta Suci Kerajaan Tuhan itu dua kali dipenjara karena penodaan agama. Kasus pertama adalah ketika dia menyerukan penghapusan seluruh agama. Lia akhirnya dijatuhi hukuman penjara 2 tahun 6 bulan pada tahun 2006. Seolah tak kapok, Lia kembali mengulangi perbuatannya. Kali ini, dia menyebarkan ratusan brosur yang berisi penistaan agama. Akibatnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2 Juni 2009 mengganjal Lia dengan hukuman penjara 2,5 tahun.

Tajul Muluk

Kasus penistaan agama juga terjadi pada tahun 2012, pimpinan Syiah Kabupaten Sampang, Tajul Muluk dianggap melakukan penodaan agama karena menyatakan kitab suci Alquran yang beredar saat ini tidak orisinal. Tajul kemudian divonis penjara 2 tahun penjara.

Antonius Bawengan

Di Temanggung, seorang pendeta bernama Antonius Richmond Bawengan akhirnya divonis 5 tahun penjara karena dinilai melecehkan agama Islam dan Katholik. Kasusnya terjadi pada 2010 saat dia menyebarkan pamflet dan buku anti Bunda Maria. Parahnya, sang pendeta juga mengutip ayat Alquran.

Arswendo Atmowiloto

Budayawan Arswendo Atmowiloto pernah divonis 4 tahun akibat dinilai menodai agama pada tahun 1990. Saat itu, Arswendo masih menjabat sebagai pemimpin redaksi Tabloid Monitor. Pada salah satu edisinya, media tersebut menampilkan hasil jajak pendapat tentang tokoh idola para pembaca. Hasilnya, Soeharto menjadi tokoh paling diidolakan. Yang dipermasalahkan adalah, Arswendo berada di urutan 10, di atas Nabi Muhammad Saw yang berada di posisi 11.

Permadi

Pernah ditangkap karena telah melakukan penistaan agama karena mengatakan Nabi Muhammad Saw adalah diktator. Kejadian itu terjadi tahun 1993/1994. Akhir-akhir ini permadi juga meminta kepada kepolisian agar ditegakkan keadilan hukum kepada Ahok seperti yang dialami oleh dirinya.

Ahok

Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dihukum 2 tahun penjara pada Mei 2017. Ahok dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama karena pernyataan soal Alquran Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggara seminar bertajuk “Jejak Pelacur Arab dalam Seni Baca Alquran” di UIN Sumut ini mesti diusut tuntas. Alasannya jelas, ada aturan main secara hukum apalagi jika pihak yang terlibat adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Bagi yang bukan PNS maka ada sejumlah Undang-undang (UU) yang berlaku. Yaitu UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Bagi yang PNS selain UU di atas masih ada peraturan yang mesti dilaksanakan. Yaitu PP 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, PMA 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah, PMA 10 Tahun 2016 tentang Statuta Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.

Minta maaf silahkan bahkan seribu kali minta maaf pun tak masalah. Karena kata maaf tidak akan serta merta menghapus hukum yang berlaku. Hukum harus ditegakkan, karena hukum adalah hukum yang berlaku bagi siapa pun tanpa kecuali. (ar/ar)

Jumat, 15 Desember 2017

Jaga Wibawa: Kemenag Harus Tepis Opini Ketiadaan Biaya Soal Haji dan Umrah

Ilustrasi pemerintahan bersih dan berwibawa
Foto: alimpolos.blogspot.co.id
Bogor (WarkopPublik)--Hasil Survei Indeks Bisnis Wells Fargo/Gallup Small Business tentang media sosial sebagai media e-commerce yang dirilis pada November lalu ditemukan bahwa kurang dari separuh (44 persen) pemilik mengatakan bahwa bisnis mereka memiliki strategi media sosial aktif. (news.gallup.com, 9 November 2017).

Sebanyak 53 persen pemilik mengatakan bisnis mereka memiliki kehadiran media aktif di Facebook. Perbedaan antara jumlah yang menganggap dirinya memiliki strategi media sosial dan jumlah yang lebih besar yang ada di facebook menyarankan beberapa pemilik menggunakan yang terakhir, namun tidak secara sistematis. Sekitar sepertiga dari pemilik mengatakan mereka memiliki kehadiran di linkedln.

Pengaruh media sosial penting dalam membantu mereka memperoleh pelanggan baru (54 persen), membantu pasar bagi pelanggan baru dan yang sudah ada (53 persen) dan memungkinkan mereka untuk mengiklankan bisnis mereka (52 persen).

Apabila hasil survei ini kita diskursuskan dalam pengembangan model edukasi haji dan umrah akan diyakini tingkat sebaran edukasi akan semakin kuat. Hingga tingkat kriminalitas, kekeliruan pelaksanaan dalam manasik dapat ditekan juga anasir-anasir nakal pinjaman dapat direduksi.

Hasil penelitian itu searah dengan data yang disampaikan Komenterian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis bahwa pengguna internet di Indonesia menurut lembaga riset pasar e-Marketer mencapai 83,7 juta orang pada 2014. (Kominfo.go.id, 24 November 2014).

Jumlah itu mendudukkan Indonesia di peringkat 6 terbesar di dunia (Tiongkok, Amerika  Serikat, India, Brazil, dan Jepang) dalam hal jumlah pengguna internet. Pada 2017 diperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang.

Secara keseluruhan, jumlah pengguna internet di seluruh dunia diproyeksikan bakal mencapai 3 miliar orang pada 2015. Tiga tahun setelahnya, pada 2018, diperkirakan sebanyak 3,6 miliar manusia di bumi bakal mengakses internet setidaknya sekali tiap satu bulan. Ponsel dan koneksi broadband mobile terjangkau mendorong pertumbuhan akses internet di negara-negara yang tidak bisa mengandalkan fixed line, mungkin karena masalah infrastruktur atau biaya.

Kedua hasil survei ini dapat menjadi pandangan berbasis survei bagi Kementerian Agama (Kemenag) dalam membangun dan melakukan pola-pola baru dan terkini dalam edukasi kepada seluruh peserta haji dan umrah maupun calon peserta (umat Islam). Menjaga wibawa pemerintah dari pernyataan "kurang anggaran".

Salah satu pelaku industri haji dan umrah menilai masyarakat perlu memiliki literasi ibadah haji dan umrah. Namun, tugas departemen agama itu terkendala anggaran. Mereka mengeluh, saat harus bersosialisasi mereka kekurangan dana, tak ada anggarannya. (Republika.co.id, 13 Desember 2017). Pernyataan 'sangat santun' kepada pemerintah (Kemenag) ini dapat dijadikan sebagai pemicu untuk bergegas melakukan perubahan-perubahan terukur dan terstruktur agar utuh tersampaikan ke masyarakat.

Disamping itu, juga sebagai uapaya mengembalikan langkah dan arah berfikir berdasar mandat UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dalam berhindar dari konflik kepentingan (pasal 1 angka 14). Menjalankan Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai prinsip (pasal 1 angka 17) meliputi asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik (Pasal 10 ayat 1).

Mana tahu ada undangan peresmian atau acara seremonial internal pelaku industri haji dan umrah seperti pembukaan kantor dan lainnya, sementara yang diundang adalah pemangku jabatan dibidang dimaksud. Sebaiknya bacalah, pahami dan laksanakan UU 30/2014 itu dengan baik dan benar agar wibawa meningkat. (ar/ar)

Selasa, 12 Desember 2017

Tekan Konflik, Jadikan Filantropi Sebagai Gaya Hidup

Gambar memviral terkait
"persekusi" oleh elemen ormas
yang menolak safari dakwah
Ustaz Abdul Somad
di Bali, Jumat (08/12/2017)
Foto: m.hidayatullah.com
Bogor (WarkopPublik)--Karl Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas". Menarik apa yang disebutkan tokoh yang namanya santer di bicarakan di dunia ini. Pertentangan dapat menimbulkan konflik. Masing-masing berusaha mempertahankan hidup, eksistensi, dan prisipnya. Bisa konflik pribadi, rasial, politik, antar kelas sosial, antar kelompok, internasional, berbasis massa.

Diduga faktor penyebab sebagai dampak semakin tajamnya perbedaan pendirian dan perasaan, perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan kebudayaan, kesenjangan ekonomi, kedekatan kepemimpinan, ketidakadilan yang dirasakan, penegakan hukum, dll.

Beberapa hasil survei dapat menjadi pandangan komparatif bagi beberapa kalangan sebagai referensi opini bersifat kritisi dan apresiasi, bahkan dapat memperjelas garis bahwa persoalan konflik penting sebagai konsentrasi untuk diurai, ditekan tingkat pertumbuhannya.

Maret 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin, yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk). Agustus, BPS juga mengungkapkan, telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang. Lain lagi Hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) tahun 2017. SPTK diperoleh angka sebesar 70,69 pada skala 0–100. Indeks ini merupakan indeks komposit yang disusun oleh tiga dimensi, yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimoni).

Kerukunan Umat Beragama (KUB), Puslitbang Kementerian Agama pada Maret  2017 menyebutkan indeks KUB 2016 berada pada angka 75,47 persen, naik 0,11 persen dari tahun sebelumnya, yakni 75,36 persen. Ada tiga variable yang diukur, yaitu  aspek kesetaraan, toleransi, dan kerjasama. Kalau dua aspek pertama sudah di atas 76 persen (78,4 persen dan 76,5 persen), aspek kerjasama baru mencapai angka 42 persen. Diklaim indeks KUB pada 2015 ada tiga daerah dengan kerukunan agama tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur (83,3 persen), Bali (81,6 persen) dan Maluku (81,3 persen). Survei dilakukan secara kuantitatif dan dengan sample multistage random sampling responden 2.720 orang, dan margin of error 17 persen.

Langkah-langkah menekan tumbuhnya tingkat konflik atau pencegahan, tentu berbagai pihak dan kalangan lebih sadar untuk menanamkan sifat dan nilai kemanusian, mendengar dengan seksama, intensitas berkomunikasi, bekerjasama, memberdayakan semua unsur dengan tidak melihat suku, agama, ras dan golongan (proporsional). Ini dalam melemahkan stereotip, melemahkan jarak sosial, menekan perubahan kepribadian yang keliru, dan proporsional dalam dominasi (fatsun).

Pola dan langkah tepat dalam penyelesaian konflik juga penting untuk dibangun, diajarkan dan disosialisasikan sebagai salah satu gaya hidup. Seperti konsiliasi, usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan itu. Mediasi, proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Arbitrase, usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Hingga terjaga dan terpeliharanya integrasi yang serasi dan harmonis. (ar/ar)

Semua Dapat Dibicarakan Baik-Baik

Gambar memviral terkait
"persekusi" oleh elemen ormas
yang menolak safari dakwah
Ustaz Abdul Somad
Di Bali, Jumat (08/12/2017)
Foto: m.hidayatullah.com
Bogor (WarkopPublik)--Jangan pancing kisah 1998-2001. Cukuplah itu menjadi catatan kelam dan semoga tak pernah terulang kembali persamaan kisahnya hari ini, esok dan mendatang.

Dia hanya pria yang kurus. Badannya tak tegap, dia hanya mau berdakwah. Jangan lihat dia nya, tapi pandang apa yang dibawanya. Dia tak membawa senjata tajam, tak membawa pistol, tak membawa senapan mesin, tak membawa bazoka meriam ataupun bom. Dia hanya membawa dakwah.

Kalaulah dakwahnya salah atau keliru atau menyakiti maka luruskanlah dakwahnya atau kritiklah dakwahnya. Bukan dengan membentak, memaki dengan bahasa yang kasar apalagi sampai bawa senjata tajam.

Ada cara yang santun, ada cara bijak, ada cara bermartat. Ada hukum yang mengatur, karena dia hidup dalam sebuah tatanan dan prosedur hukum. Dia dan lainnya sama, sama-sama harus taat dan patuh atas hukum itu. Bukan hukum-hukum pribadi, bukan hukum kelompok dan bukan juga hukum organisasi apalagi hukum rimba.

Sudah lelah dengan keributan, kisruh dan tebaran kebencian. Tak ada manfaat, tak ada guna, tak ada faedah. Hanya menguras tenaga, pikiran, waktu dan biaya. Namun, adakalanya sabar jadi kontrol dan ada merendah diri jadi sandaran. Adakalanya juga sabar dan rendah diri itu dapat diacuhkan. Hingga khilaf bisa ternomorsatukan. Pertikaianlah yang terjadi, bisa panjang bisa juga pendek bisa juga tak terselesaikan.

Menjaga diri, berkoordinasi, berkomunikasi adalah hal yang perlu dilakukan. Bukan merasa diri paling hebat, paling jago, paling sakti, paling bertatoo atau paling banyak. Semua untuk kebaikan dan kedamaian. Jagalah nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai hubungan dan nilai-nilai komunikasi. Agar energi, pikiran, waktu dan biaya dapat lebih bermanfaat. Hingga tumbuh rasa bahagia yang tinggi. Badan sehat, pikiran sehat, hidup sejahtera, aman dan damai. (ar/ar)

Minggu, 10 Desember 2017

Perlu Pemetaan Pendapatan Negara dari Industri Jasa Haji dan Umrah

Ilustrasi peningkatan pendapatan negara
Foto: google.com
Bogor (WarkopPublik)--Kerajaan Arab Saudi diperkirakan memperoleh sekitar 32 miliar real saudi (8,5 miliar dolar AS) dari penyelengraan ibadah haji Oktober lalu. (Republika, Minggu 10 Desember 2017).

8,5 miliar dolar equivalen dengan 110,5 triliun rupiah (asumsi kurs per dolar Rp.13.000). Pendapatan itu dari 2 juta jamaah haji.

Menurut statistik (Mei-Juni 2017) yang dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi, hingga pertengahan tahun ini sudah  sekitar 6,75 juta visa telah dikeluarkan untuk umat Islam untuk melakukan ziarah ke Makkah dan Madinah. (Republika, Senin 26 Juni 2017).

Jika rata-rata biaya umrah dunia sebesar 2 ribu dolar juta equivalen 26 juta rupiah akan terhimpun asumsi sebesar 87,7 triliun rupiah (175,5×50 persen). Variable pendapatan dari maskapai, biaya bandara, hotel, katering, transportasi darat, general service, konsumtif jamaah lainnya.

Asumsi besaran pendapatan Arab Saudi dari sektor industri jasa haji dan umrah pada Mei sd Oktober 2017 sebesar 198,2 triliun rupiah.

Lalu kita memperoleh apa dalam industri jasa haji dan umrah ini. Belum pernah ada rilis resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) atas pendapatan terhadap kisaran 210 ribu jamaah haji dan kisaran 600 ribu jamaah umrah per tahun. Harusnya ada multiplier effect atau hasil kali pertambahan tiap pos pendapatan nasional. Misalnya pajak, investasi dan lainnya.

Pemerintah semestinya melakukan langkah pemetaan terhadap industri sampai akhir zaman tersebut. Pos pendapatan bisa disisir dari pajak jasa umrah, pajak jasa haji, pemanfaatan full penerbangan nasional, pemanfaatan asrama haji, pemberdayaan industri kecil menengah entitas haji dan umrah dll.

Inikan tidak, kita hanya memperoleh dan disuguhi masalah. Sudah saatnya industri ini dipetakan agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemberdayaan aset dan pengurang pengangguran. Hasil pemetaan tersebut sebagai salah satu formula penerbitan regulasi, tidak cukup dengan peraturan menteri saja namun melalui peraturan presiden. (ar/ar)

Sabtu, 02 Desember 2017

Seorang Anak Nasrani Tertembak Saat Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw (Kisah Nyata)

Peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw
Foto: google.com
Bogor (WarkopPublik)--"Hanya satu kalimat agung "Allahu Akbar" yang terucap olehku. Manakala aku membaca sebuah postingan salah satu akun media sosial. Postingan itu mampu menggetarkan seluruh badanku. Aliran darahku mengalir deras, degup jantungku kecang, bibirku bergetar dan air mata pun mengalir. Akupun tersadar bahwa apa yang terjadi pada setiap organ dan sel yang berada dalam tubuhku sedang bertakbir. Takbir saat otakku sedang menangkap apa yang sedang aku baca dan mengirimkan pesan kepada seluruh organ, sel dan jaringan yang ada di tubuh. Terlepas dari benar atau tidaknya tulisan di bawah ini bukan hal yang harus aku perdebatkan. Tulisan ini mampu mengantarkan ragaku beserta organnya untuk bertasbih memuji kebesaran Allah Swt. Selamat membaca," Affan Rangkuti.

Pada saat itu, di Libanon Selatan, kebiasaan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, mereka rayakan secara turun temurun dan selalu dimeriahkan dengan menembakkan senjata api ke atas untuk menunjukkan kegembiraan.

Ketika itu seorang anak Nasrani dari keluarga Ghatas yang terkenal terlihat asyik menonton meriahnya peringatan Itu. Tanpa disadari, sebuah peluru nyasar menembus kepalanya. Anak itu pun jatuh tersungkur bersimbah darah dan seketika itu juga ibunya berteriak histeris.

Maka dengan segera anaknya dilarikan ke Rumah Sakit Ghasan Hamud. Namun rumah sakit tersebut angkat tangan karena tidak mampu menangani pendarahan yang begitu hebat.

Lantas anak itu dirujuk ke Rumah Sakit Amerika yang memiliki banyak dokter ahli dan spesialis. Sama halnya dengan Rumas Sakit Ghasan, pihak Rumah Sakit Amerika itupun angkat tangan juga.

Karena panik penuh kecewa, ibu sang anak berteriak dengan kerasnya sambil berseru, "Di manakah engkau hai Muhammad yang mengaku sebagai Nabi?"

"Lihatlah apa yang dilakukan umatmu kepada anakku karena merayakan hari kelahiranmu," teriaknya kembali.

Pada saat itu dokter kepala yang memimpin perawatan keluar ruangan menemui sang ibu dan memintanya agar melihat anaknya untuk yang terakhir kali. Ibu Nasrani itu dengan lemas dan dipapah masuk ke ruangan, diikuti dengan keluarnya para dokter.

Namun Keajaiban terjadi, ketika sang ibu sudah di dalam ruangan, ternyata dia melihat anaknya sedang duduk di tepi tempat tidur sambil berteriak kepada ibunya, "Tutup semua pintu dan jendela nya ibu! Dia jangan diperbolehkan keluar!"

Antara percaya dan tidak si ibu mendekati anaknya untuk memastikan kondisi anaknya. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal. Kondisi anaknya begitu sehat dan bugar serta tidak ada bekas luka tembakan sama sekali di kepalanya, apalagi bercak darah.

"Anakku apa yang terjadi?“ tanya sang ibu terheran antara percaya dan tidak. Anaknya menjawab, "Ibu, dia datang mengelus kepalaku sambil tersenyum."

“Siapa dia sayang?" tanya ibunya lagi.
"Muhammad...Muhammad...Ibu,“ jawab anak itu.

Subhanallah, ternyata teriakan kesal si ibu karena anaknya tertembak umat Muhammad saat merayakan hari kelahirannya itu dijawab tunai oleh Allah Swt.

Beberapa menit kemudian, berkumpullah semua dokter untuk melihat kenyataan di hadapan mereka. Ibu, anak dan semua dokter Nasrani yang menyaksikan keajaiban tersebut saat itu juga mengikrarkan sahadat (masuk Islam).

"Kami bersaksi tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad benar-benar utusan Allah"

Ini kejadian nyata yang ditakdirkan oleh Allah Swt untuk menunjukkan keagungan junjungan kita Sayyidina Muhammad Shalallaahu 'alaihi wassalam.

Tiada yang tidak mungkin bagi Allah Swt. Shallu 'Alan Nabi. (ar/berbagai sumber media)

Minggu, 26 November 2017

Hayoo Pak Menag Jawab Dong, Daripada Jadi Fitnah

Metro TV dapat penghargaan
Foto: portal-islam.id
Banten (WarkopPublik)--Menteri Agama Beri Penghargaan Metro TV Sebagai Media Dakwah Islam. Itulah judul yang ditayang di satuswara.com pada Jumat (25/11/2017).

Banyak komentar saat akun facebook Halim Murdowo menayang judul dimaksud di akun nya. "Apa gak salah nih Pak...rasanya gimana gitu..." kata Halim Murdowo di wall akun facebooknya.

Menarik dan cukup menyita perhatian warga facebook akan hal ini manakala Metro TV di klaim Menteri Agama Sebagai Media Dakwah Islam.

"Saya baru tau kalo metro tv bisa sebagai tv media dakwah, tapi gak punya acara dakwah," kata Didi Armayanto di akun facebooknya.

Lain lagi tayangan di gardakeadilan pada Jumat (25/11/2017) berjudul Metro TV Raih “Apresiasi Pendidikan Islam 2017”, Pakar Komunikasi: Mati Nalar! Kemenag Lagi Ngigau.

Pakar komunikasi dari UIN Syarief Hidayatullah, Edy A Effendi, mengecam pemberian API award kepada Metro TV. “Metro TV raih Penghargaan Apresiasi Pendidikan Islam 2017. Yang ngasih @lukmansaifuddin Ini zaman edan. Kemenag lagi ngiggauuuuu. Mati nalar!” tulis Edy di akun Twitter @eae18.

Dari beberapa persepsi di akun media sosial itu, penghargaan yang diberikan kepada Metro TV mengundang tanda tanya apa kriteria hingga itu diberikan.

Jawaban yang paling tepat dalam menyikapi pernyataan warganet di media sosial itu hanya Menag lah yang tahu. Karena dia yang memberikan penghargaan itu. (ar/ar)

Sabtu, 25 November 2017

Hutang Umrah Haji? yang Makmur si Pemberi Hutang lah

Terhina karena hutang
Foto: store.yufid.com
Jakarta (WarkopPublik)--Terperangah, saat membaca tayangan informasi di tribunnews.com pada Jumat (24/11/2017) berjudul "BSM Sediakan Dana Talangan Haji dan Paket Umrah Kompetitif di Umrah Expo 2017."

Sepanjang aku tahu, bahwa umrah itu bukan kewajiban atau berhukum wajib. Tapi pada kenyataannya bank 'berpeci' masif sekali menawarkan hutang untuk ibadah umrah. Bukan kah ini seperti mengeksploitasi ibadah dalam dimensi nilai ekonomis. 

Sepanjang aku tahu, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan atau pun menganjurkan berhutang. Karena namanya hutang suka tidak suka pasti jadi beban. Dan namanya hutang pasti dibayar berlebih dari nilai yang dihutangkan itu. Mana ada satu aktivitas bisnis itu tidak bernuansa profit. Bodoh namanya jika ada pelaku bisnis mengatakan tak ada profit. 

Setidaknya bunga terapan per tahun raya-rata 10%. Misalkan  flat, contoh simulasi: 

Si Polan mengajukan pinjaman sebesar Rp50,000,000 buat umrah jangka waktu kredit 12 bulan, dengan bunga flat 10%, maka berapa angsuran yang harus si Polan bayar setiap bulan? Maka diketahui:

Jumlah pokok pinjaman = Rp50,000,000
Masa tenor = 12 bulan
Bunga flat = 10% per tahun
Jika dihitung secara manual:

Cicilan pokok = Rp50,000,000 : 12 bulan = Rp4,166,667/bulan.
Bunga = (Rp50,000,000 x 10%) : 12 bulan = Rp416,667.
Angsuran per bulan =Rp4,166,667 + Rp416,667 = Rp4,583,334.
Total Rp4,583,334 x 12 = Rp55,000,008
Profit Rp55,000,008 - Rp50,000,000 = Rp5,000,008

Jika seperti si Polan ada 1,870,000 orang (187,000,000 x 1%) dan hutang semua maka profit si bank "berpeci' pertahun sebesar 9,3 triliun rupiah lebih. Mantabkan. Bisa 1,870,000 orang? Ya bisa saja, bisa juga lebih atau kurang. Mengapa? Pertama bank 'berpeci' masif dalam gerakan berhutang. Kedua, pangsa pasar umrah itu kisaran 187,000,000 penduduk Muslim di Indonesia.

Asumsi hitungan itu flat. Beda dengan anuitas atau efektif. Hitungan itu juga asumsi bunga 10 % bagaimana jika lebih tinggi. Hitungan itu jika si Polan tidak menunggak karena tak sanggup bayar, bagaimana dengan dendanya. Hitungan itu asumsi 12 bulan, bagaimana dengan 3 tahun atau 36 bulan. Hitungan itu belum ditambah biaya tetek bengek. Bagaimana jika ditambah.

Itulah hutang. Orang berhutang tidak nyanyak dalam tidur malam. Saat siang bisa berbohong saat ditagih.

Lain kalau haji. Haji ibadah wajib bagi yang mampu. Pun begitu, mampu atau Istithaah perlu ditambah variable nya oleh para ahli agama Islam. Apa itu Istithaah bayar hutang.

Jadi perlu kiranya ada pernyataan tegas dari para ahli agama soal hutang ibadah ini. Baik ibadah umrah atau ibadah haji. Jangan sampai hanya berisi kalimat "Tak selamanya hutang itu baik, tak selamanya hutang itu buruk". 

Kalau hanya kata-kata itu yang keluar ya tak ada ketegasan dong. Memang semua adalah pilihan orang lain, namun harus ada etika, moral dan akhlak baik bagi yang berhutang maupun yang memberikan hutang. Semua harus jelas, tegas dan tidak abu-abu.

Sedih jika terjadi "Pergi pakai Ihram, pulang menanggung hutang. Susah tidur malam, bangun pagi pun bisa berbohong karena ditagih tak bisa bayar". Alah mak oi. 

Kalau kita balik skenarionya, hutang untuk pendidikan dengan suku bunga mendekati 0 persen pertahun. Maka akan ada 1,870,000 sarjana-sarjana Islam apakah S1 atau S2. Mana lebih bermanfaat berhutang umrah yang hukumnya tidak wajib dengan berhutang untuk pendidikan yang hukumnya wajib?

Tapi sayang, bank 'berpeci' itu tidak gencar untuk pembiayaan hutang untuk pendidikan. Tak gencar mungkin karena kuatir tak punya nilai profit. 

Masih mau hutang umrah atau haji? Kalau aku sih "No". Bagus tak usah umrah atau haji daripada jadi beban selepas kembali nanti. Lagi pula agama tidak memaksa orang untuk berhutang kok, apalagi dalam perihal ibadah. Tidak harus umrah atau haji untuk masuk surga. Jadi jangan memaksakan diri apalagi terbuai dengan ayunan-ayunan hutang. (ar/ar)

Jumat, 24 November 2017

Analisis Perubahan (Transformasi Kelompok Bimbingan Menuju Bimbingan Belajar Manasik Haji)

Ilustrasi bimbingan belajar
Foto: netralnews.com
Jakarta (WarkopPublik)--"Pada Hari Guru Nasional ini (25/11/2017) aku persembahkan satu tulisan berjudul Analisis Perubahan (Transformasi Kelompok Bimbingan Menuju Bimbingan Belajar Manasik Haji). Setiap guru memiliki satu tujuan mulia, mengantarkan peserta didiknya untuk tujuan yang mulia juga," Affan Rangkuti, pemerhati haji dan umrah.

Dimensi Regulasi. Perihal pendidikan apapun jenisnya tentu tidak akan terlepas dari UU 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keliru jika sandaran pendidikan dalam hal ini bimbingan manasik haji hanya bersandar pada satu dasar hukum yakni UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Fakta dan Data Kelemahan (Sulit Diukur)

Tolak ukur keberhasilan bimbingan manasik haji yang selama ini dilakukan cenderung bersifat yang sulit diukur. Ada beberapa kendala teknis dan kendala non teknis yang mempegaruhi tingkat keberhasilan proses bimbingan manasik (bimsik) dimaksud. Apa saja faktor tersebut:

1. Struktur Kelembagaan Semu

Kenyataan yang terjadi dalam proses bimsik ada dua lembaga yang melakukannya. Memang kelembagaan ini merupakan mandatori service UU 13/2008. Ada Bimsik yang dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini dilakukan oleh badan hukum yang disebut dengan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Ada juga yang dilakukan oleh pemerintah melalui unit kerja Kantor Kementerian Agama kabupaten kota dan KUA.

Pada sistem pengorganisasian pelaksanaan tidak terjadi hubungan kelembagaan yang terstruktur dengan baik. KBIH menjalankan program bimsik dengan sistem pengawasan yang lemah. Dalam artian ketiadaan lembaga jaminan mutu pelaksanaan bimsik. Hingga ukuran keberhasilan sulit diukur secara kuantitas. Sama juga halnya dengan pelaksanaan bimbingan yang dilakukan Kemenag kabupaten kota dan KUA. Pada fase pelaksanaan bimbingan pun terkesan ada persaingan. Anggapan ini semakin memperjelas garis kelembagaan ada batas. Tingkat korelasi bisa mendekati numerik 0.

2. Pedoman Bimsik Lemah Terdistribusi

Pedoman sebagai sandaran satuan ukur dalam bertindak dan melakukan sesuatu hal sama dan bersama-sama juga memiliki kelemahan yang curam. Tercatat dalam data jumlah Kemenag kabupaten kota sebanyak 510 dan KUA sebanyak 5.615 (Layanan Kantor Urusan Agama Dasbor Ukur Kementerian Agama RI, http://dulk.erfanresearch.org).

Sedangkan jumlah KBIH tercatat sebanyak 1.596 kelompok bimbingan. Catatan kuantitas yang dapat diukur dan umpan balik distribusi pedoman bimsik tidak dapat dicatat secara kuantitatif. Hingga ada penyumbatan data sebagai dampak kepastian ukuran penerimaan.

3. Rasio Bimsik Tak Terintegrasi

Jumlah jamaah Indonesia yang menjadi dasar kesepakatan OKI adalah 1 permil. Hingga Indonesia memperoleh kuota haji sebesar 211.000. Jumlah ini sudah dapat ditentukan secara spesifik siapa saja yang berhak untuk berangkat dalam waktu yang lebih dini. Karena ada sistem Siskohat.

Rasio bimsik yang diperoleh untuk Kemenag kabupaten kota adalah 1: 414 (211.000/510). Dalam wilayah kabupaten kota terjadi pelayanan bimsik dengan jumlah jamaah yang dilayani sebanyak 414 orang per kabupaten kota. Wilayah KUA berasio 1:38 (211.000/5.615) melayani bimsik jamaah per KUA sebanyak 38 orang. Sedangkan pelayanan bimsik di KBIH berasio 1:132 (211.000/1.596) melayani bimsik jamaah per KBIH sebanyak 132 orang.

Ideal jika, komulatif layanan bimsik terintegrasi berasio 1:32  (211.00/(510+5615+1596)). Pelayanan semesta bimsik akan melayani 32 orang per setiap bimsik.

4. Asumsi Biaya Pelaksanaan Bimsik

Kisaran 15,825 milyar rupiah (Rp.75.000x211.000 orang). Sedangkan KBIH mematok biaya kisaran rata-rata 1,5 juta rupiah per jamaah dengan asumsi biaya kumulatif sebesar 316,5 milyar rupiah (Rp.1.500.000x211.000). Pembiayaan keseluruhan mencapai 332,325 milyar rupiah.

Asumsi biaya bimsik ini kurang berdaya guna dan tepat sasaran. Persoalan waktu pelaksanaan bimsik yang berdekatan dengan pemberangkatan jamaah haji.

Mungkin akan ada beberapa bantahan tentang asumsi biaya ini. Bantahan akan dijawab bahwa pertama hitungan bersifat ceteris paribus karena ukuran haji adalah mampu dalam hal keuangan.

5. Waktu Bimsik Relatif Singkat

Haji adalah ibadah yang dilakukan umat Islam yang dikerjakan sesuai syarat, wajib dan rukun. Ada muda, ada tua, ada yang berpendidikan ada yang tidak, ada wanita dan ada laki-laki, ada yang mengerti bahasa daerah saja dan sebagainya. Banyak ragam dan strata sosial dalam aspek orang yang mengerjakan haji ini.

Persoalan ini tentu tidak dapat disamaratakan jika ditinjau dari sudut pandang alih pengetahuan. Pendidikan apakah itu formal atau non formal memiliki ukuran atas waktu dan kelas. Keliru jika pelaksanaan bimsik bersandar pada keterburuan dan mengabaikan aspek mutu pendidikan bimsik itu sendiri.

6. Seperti Anti Kelas

Pelaksanaan bimsik cenderung dilakukan anti kelas. Pelaksanaan bimsik yang anti kelas dalam hal ini mengelompokkan semua jamaah dalam satu wadah tanpa membagi kelas sesuai ragam yang ada. Hingga bimsik lebih cenderung berkategori ceramah daripada alih pengetahuan. Ada cara, metode, pola dan kesyariatan dalam proses interaksi. Berbeda perlakuan orang muda dengan orang tua, laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

Tranformasi Bimsik Suatu Solusi

Butuh satu inovasi dalam pelaksanaan bimsik. Inovasi yang revolusioner dalam mendayagunakan hubungan kelembagaan dengan orang yang membutuhkan bekal dalam menjalankan syariat Islam yang ke lima ini.

1. Pendayagunaan Pembimbing Bersertifikat

Jumlah pembimbing bersertifikat berasio 1:45 dengan jumlah jamaah haji 211.000. Terbutuhkan 4.689 orang pembimbing sebagai penanggungjawab mutlak berjalannya proses pelaksanaan bimsik sesuai pola dan metode yang ditetapkan. Ada silabus bertematik toharoh, ibadah saat di Tanah Air, saat di perjalanan, saat di Arab Saudi, tuntunan  kesehatan dan saat kembali ke Tanah Air.

Para pembimbing bersertifikat inilah yang menjadi penjamin mutu terlaksananya bimsik. Jaminan mutu yang dapat diukur dengan kuantitas rapor per setiap orang.

Merekalah nantinya yang akan bertangggungjawab atas pelaksanaan bimbingan baik dilembaga pemerintahan maupun di lembaga non formal.

2. Pembentukan Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar adalah suatu proses alih pengetahuan dengan ukuran satuan waktu, materi dan kelembagaan yang dapat diukur dengan pasti. Semisal, Seorang peserta didik Sekolah Dasar (SD) bertujuan dapat lulus dan diterima di Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri. Ada dua cara yang cenderung dilakukan. Pertama, memperoleh alih pengetahuan formal disekolah dan mengulang dan menekuninya kembali di rumah. Kedua, masuk dalam pendidikan non formal yaitu bimbingan belajar.

Perihal pertama tentu segala hal hambatan dalam hal pemahaman cenderung dipecahkan sendiri (otodidak) atau bertanya ke sana dan kemari. Tanpa ada jaminan apa yang dilakukan terukur dengan baik.

Sedangkan perihal kedua, ada ukuran keberhasilan dan ada lembar penilaian untuk perbaikan untuk semakin lebih memahami dan dapat diterapkan dengan cepat, tepat dan tidak salah. Lembar penilaian inilah sebagai jaminan mutunya. Tentu saat memilih bimbingan belajar akan ada opotuniti cost (biaya) karena memperoleh layanan dan jaminan dalam pelaksanaan bimbingan.

3. Bimbel Nilai Ekonomis

Pembentukan bimbel bimsik sebagaimana pendidikan non formal (bimbingan belajar pada umumnya) akan memberikan kesempatan kepada seluruh umat Islam yang mau dan ingin menjalankan bimsik yang benar dan tepat, bukan hanya jamaah haji yang akan berangkat pada tahun berjalan dan jamaah umrah.

Aspek ekonomis jika perbandingan dengan bimbel pada umumnya selama periode satu tahun akan diperoleh kisaran 10 juta rupiah per setiap peserta selama setahun. Akan diperoleh pendapatan setiap tahunnya sebesar 2,110 trilyun per tahun (211.000 x Rp.10.000.000). Tentu negara juga akan memperoleh pendapatan pajak penghasilan pertahun kisaran 211 milyar rupiah. Asumsi itu dapat lebih kurang, jika kurang dari 211.000 atau bisa juga lebih dari 211.000 karena pangsa ekonomisnya adalah umat Islam.

4. Keterbutuhan Petugas Kloter Terjamin

Selain aspek ekonomis ada juga manfaat kepada pemerintah. Para alumni bimbel bimsik yang sudah terukur melalui kertas penilaian oleh penjamin mutu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah dalam memperkuat pelayanan pada jamaah haji dan umrah. Mereka bisa diberdayakan menjadi Petugas Kloter, Petugas Non Kloter, Karom, Karu dan TPHD. Bisa juga diberdayakan menjadi petugas PPIH di Embarkasi. Banyak faedah yang bisa dimanfaatkan.

5. Asrama Haji Sebagai Kelas

Revitalisasi asrama haji bukan program tanpa biaya. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk memperkuat layanan kepada jamaah haji. Sebagai lembaga Unit Pelaksana Teknis (UPT), asrama haji diperbolehkan untuk profit. Penguatan peningkatan pendapatan tentu perlu dipetakan agar UPT itu dapat mandiri dan berdayaguna, tidak menjadi beban negara tentunya.

Roadmap pendanaan revitalisasi dan pengembangan asrama haji menunjukkan bahwa Kementerian Agama menerima SBSN tahun 2014 sebesar 200 milyar rupiah dan hingga 2017 terima 424,58 milyar rupiah (Khasan Faozi, Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, ditayang di hajiumrahnews.com, 25 April 2017 berjudul Sejak 2014, Biaya Revitalisasi Asrama Haji Habiskan Ratusan Milyar).

Bukan hanya asrama haji, bahwa kurang lebih ada 314 Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia yang dibangun dengan dana haji (proyek berbasis sukuk haji). Tiap KUA diberikan anggaran 900 juta sd 1,2 miliar rupiah. (Ali Rahmat, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Agama RI, ditayang di
Kompas.com, 7 September 2017 berjudul 314 KUA di Indonesia Dibangun dengan Dana Haji).

Ada alokasi biaya infrastruktur haji yang besar dalam memperkuat layanan haji. Alokasi ini tidak hanya untuk asrama haji dan KUA saja namun juga membangun madrasah dan juga perguruan tinggi.

Infrastruktur itu dapat dimanfaatkan dengan melakukan penyewaan kelas bimbel bimsik kepada lembaga pendidikan non formal. Hingga kebermanfaatannya dapat lebih diberdayagunakan dan UPT lebih mandiri dalam kelayakan keuangan. (ar/ar)

Kamis, 23 November 2017

Tengkiu Raja, Akhirnya Kau Larang Anasir Itu di Kakbah

Selfie di Kakbah saat tawaf.
Foto: myrepro.wordpress.com
Jakarta (WarkopPublik)--Pantas kiranya kita yang mengaku umat Islam untuk menyampaikan salam hormat kepada Penjaga Dua Kota Suci, menjaga dari anasir-anasir yang bisa saja mengimpresi Kakbah dalam perspektif lain.

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menerbitkan edaran tentang larangan mengambil gambar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan alat apapun. Surat edaran ini ditujukan kepada seluruh negara pengirim jemaah haji dan umrah melalui nota diplomatik Kementerian Luar Negeri Arab Saudi.

Surat Edaran yang ditandatangani Menteri Haji dan Umrah, Mohammed Saleh Bin Taher Benten diterima Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh pada 15 November 2017. Mungkin semua negara pengirim jamaah haji dan umrah juga menerima nota diplomatik ditanggal yang sama.

Lihatlah, bagaimana alat-alat itu digunakan dalam proses ibadah. Tak sedikit nada-nada dering bercampur dengan bacaan suci saat manusia melakukan ritual ibadah.

Tak sedikit pula blitz kamera menjadi bagian yang sebenarnya bukan bagian dari prosesi yang diajarkan syariat. Tetapi justru kehadiran alat itu bagai menjadi salah satu syariat. Tengkiu Raja, sudah sangat tepat Kau digelar dengan Penjaga Dua Kota Suci. (ar/ar)

Katanya, Frekuensi Publik Milik Publik

Ilustrasi Frekuensi milik publik?
Foto: jatimpost.com
Jakarta (WarkopPublik)--Semakin berkembangnya stasiun televisi swasta berjaringan semestinya menjadi titik penting bagi pemegang kunci kran regulasi penyiaran untuk melegitimasi bahwa frekuensi publik adalah milik publik.

Penggunaan frekuensi diperuntukan bagi publik bukan untuk kepentingan kelompok atau orang per orang.

Hanya sedikit dari masyarakat Indonesia memahami bahwa frekuensi merupakan milik publik karena untuk mengelola frekuensi menggunakan pajak masyarakat.

Berdasarkan riset (2015) yang dilakukan salah satu lembaga studi dan pemantauan media (Remotivi) terkuak bahwa 57 persen masyarakat Indonesia menganggap frekuensi publik milik perusahaan, 34 persen menganggap milik pemerintah dan hanya 8 persen yang sadar bahwa frekuensi publik milik publik.

Minimnya angka kesadaran publik akan kepemilikan frekuensi publik menyebabkan banyak tayangan tidak layak tetap tersiar minim dilaporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sejumlah catatan penyiaran masih menghadang. Seperti tayangan tidak informatif, kurang akurat, tidak objektif, tidak berimbang, tendensius, kurang mendidik, dipenuhi kekerasan, mistik, horor, didominasi tayangan infotainment, sinetron, informasi yang mengutamakan sensasi dan dramatisasi (kpi.go.id).

Memang, banyak publik apalagi yang berada di pedesaan kurang atau sama sekali tidak mengenal apa itu KPI. KPI sendiri juga terkesan kurang melakukan sosialisasi masif kepada publik. Agar KPI akrab dikenal oleh masyarakat dan menjamin setiap ada laporan akan ditindak oleh KPI.

Beberapa praktisi dan pengamat penyiaran menyebutkan terdapat banyak lembaga penyiaran terkontaminasi kepentingan politik yang harus ditata kembali. Penataan ini dengan melakukan revisi UU 32/2002 tentang Penyiaran. Alih-alih revisi ini oleh beberapa kalangan dinilai mengalami kemunduran karena ada indikasi mengubah sejumlah pasal untuk kepentingan lembaga-lembaga penyiaran swasta besar dengan mengabaikan kepentingan publik. Akankah nantinya frekuensi publik adalah benar adalah milik publik? (ar/ar)

Manasik Haji Sosialisme, Umrah Hedonisme

Bimbingan manasik haji
Foto: tribunnews.com
Jakarta (WarkopPublik)--Ada yang berpandangan bahwa bimbingan manasik haji yang dilakukan di KUA dan kabupaten kota adalah manasik haji sosialis. Tidak ada pemisahan antara pria-wanita, tua-muda, pintar-tidak pintar dll. Jadi apa parameter seorang jamaah haji bisa manasik atau tidak, tidak ada ukurannya.

Bagaimana jemaah haji wanita mau bertanya soal kewanitaan, pembimbingnya saja pria. Bagaimana menjawab realitas jemaah tua, tidak pintar pembimbingnya saja tidak dilatih bagaimana cara menangani hal seperti itu. Jadi ada benarnya bahwa manasik haji persis berpaham sosialisme.

Manasik yang dikemas dalam satu tempat, digabungkan, waktunya pun singkat. Mau mengerti apa tidak nantinya ya masa bodoh, mau benar atau tidak ya urusan masing-masing, yang penting jamaah haji sudah dibimbing soal manasik. Titik.

Lain lagi kalau manasik umrah. Materi manasik urusan belakangan alias tak perlu diutamakanlah. Perlu diutamakan adalah penyelenggaraannya di hotel. Kok bisa, ini soal performance travel.

Semakin mewah hotelnya, semakin terkenal si ustaz yang membimbing manasik maka semakin tinggi bandrol travel itu. Jadi mau masuk surga mungkin tergantung layanan wah nya travel. Jadilah manasik umrah yang hedonisme. (ar/ar)

Sabtu, 18 November 2017

PMA 18/2015 SARA: Menag, Anda Harus Adil

Ilustrasi kerusuhan berbau SARA
Foto: Beritasatu.com
Jakarta (WarkopPublik)--Pembangunan Masjid Istiqlal diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Soekarno. Peletakan batu pertama sebagai tanda dimulai pembangunan dilakukannya pada 24 Agustus 1961. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban, seorang Kristen Protestan. Ingat dan catat baik-baik, bahwa Masjid yang kita banggakan itu arsiteknya adalah seorang yang beragama Kristen Protestan.

PMA 18/2015 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah pada pasal 5 menyebutkan bahwa salah satu syarat wajib mendapat izin operasional sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) adalah bahwa pemilik dalam akta perusahaan, Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan tidak sebagai pemilik PPIU lain.

Dimaksud Pemilik di sini apakah keseluruh pemegang saham beragama Islam, pemegang saham terbanyak beragama Islam atau salah satu pemegang saham perusahaan bergama Islam. Ini tidak dijelaskan dalam PMA SARA tersebut.

Pertanyaan muncul, mengapa ada pembatasan harus beragama Islam? Apakah lantas jika pemilik adalah Non Muslim lalu tidak becus mengurus ibadah umrah? Persaingan bisnis atau apa?

Ini dinilai syarat SARA. Mengapa karena dalam struktur organisasi perusahaan sekelas Perseroan Terbatas, tidak harus pemilik perusahaan mengurus operasional. Pemilik dapat menunjuk direktur operasional yang beragama Islam. Tidak ada masalah harusnya, lalu mengapa dipersoalkan pemilik harus beragama Islam?

Baiknya Menteri Agama sadar diri bahwa dia adalah menteri dari seluruh agama. Kalau boleh adil maka perjalanan berkaitan dengan soal ibadah harus disesuaikan dengan agama. Jika perjalanan umrah mewajibkan si Pemilik harus bergama Islam, maka Menteri Agama juga sewajibnya mengeluarkan PMA bahwa untuk mendapatkan izin perjalanan ke situs agama di luar Islam maka si Pemilik perusahaan wajib beragama sesuai tujuan tersebut.

Jadi ada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang mengurusi perjalanan ibadah umrah dan ada juga Penyelenggara Perjalanan Ibadah Non Muslim (PPINM) yang mengurusi perjalanan ibadah orang-orang Non Muslim.Tapi tidak ada itu dibuat si Menteri.

Saat ini munculnya anggapan bahwa jika kehadiran Non Muslim sebagai pemilik memperoleh PPIU menjadi seperti 'ancaman'. Entah ancaman apa yang dimaksudkan. Kalau demikian, boleh dan menjadi hak orang-orang Non Muslim juga mengatakan bahwa PPIU yang juga biro perjalanan wisata adalah ancaman bagi mereka. Ancaman karena menggerus pasar Non Muslim dan tak paham soal ibadah Non Muslim. (ar/ar)

Jumat, 10 November 2017

Si Pemuda Itu Tidak Munafik

Ilustrasi munafik
Foto: inilah.com
Jakarta (WarkopPublik)--Akisah di Negara Antah Berantah ada seorang pemuda yang tersandung masalah penistaan agama. Kebetulan si pemuda ini merupakan seorang gubernur di salah satu provinsi di negara Antah Berantah itu. Masalahnya menjadi lokus dan memicu gelombang protes agar segera diadili dan di hukum.

Pada saat itu juga kebetulan berdekatan dengan pemilihan gubernur dimana si pemuda itu merupakan petahana, maju kembali untuk menjadi gubernur.

Terlepas dari persoalan pro kontra terhadap si pemuda itu, ada sikap si pemuda tersebut yang menjadi pemikiran tersendiri. Apa itu?

Si pemuda itu tidak munafik. Andai saja si pemuda itu mau memeluk agama yang dinistakan olehnya aku yakin dia akan mendapat simpati yang luar biasa pada saat itu. Apalagi jika dilakukan dengan publikasi yang besar-besaran dengan tematik pencitraan. Tetapi mengapa dia tidak mau, padahal jika dia mau bukan tidak mungkin dia akan menuai suara yang akan memenangkannya. Bahkan dia akan lolos dari jeratan hukum.

Saat aku membaca informasi yang terus terkini di pemberitaan di negara Antah Berantah itu, ada sikap-sikap yang berbeda dengan si pemuda tadi. Sikap yang sepertinya agnostik dan munafik. (ar/ar)

Kisah Haji di Negeri Antah Berantah

Ilustrasi hak asasi dilarang masuk
Foto: ridertua.com
Jakarta (WarkopPublik)--Di negara Antah Berantah orang sakit kronis tak boleh haji. Entah tidak boleh atau tidak mau mengurus, hanya yang buat aturanlah yang tahu. Perlu memperjelas antara tidak boleh dan tidak mau mengurus.

Jangan sampai karena tidak mau mengurus lalu dibuatlah hukum pakai dalil ini itu hingga akhirnya jadi tidak boleh. Pembuat dalil itu juga perlu ditanyakan juga, seluruh ormas Islam atau hanya ormas Islam pilihan saja, alias ormas Islam tertentu. Lagi pula sepertinya kalau pun fatwa sifatnya himbauan kan, bukan paksaan. Oh tidak, ini sudah jadi peraturan. Peraturan ya bisa diubah kok, ada cara ya contohnya di gugat saja (berani gak).

Soal kek gitu soal geleng kok sebenarnya. Gak perlu pakai fatwa atau peraturan segala macam. Jujur aja lebih baik, misalkan mengatakan: Maaf ya Bapak/Ibu, Anda punya penyakit yang harus bolak-balik kontrol ke rumah sakit. Penyakit Bapak/Ibu stadium 4 soalnya.

Kalau Bapak/Ibu pergi nanti siapa yang akan ngurus. Petugas kami sedikit, apalagi kalau sempat ada bayaran ini itu karena menggunakan obat paten, yang menanggung biayanya siapa.

Belum lagi niatan Bapak/Ibu kan mau ibadah. Sayang waktu akan habis hanya untuk ngontrol kesehatan terus. Apalagi domografis di sana beda dengan di sini. Namun itu pun keputusan tergantung sama Bapak/Ibu.

Kalau tetap bersikukuh mau haji juga ya silahkan. Tetapi Bapak/Ibu harus buat surat pernyataan mutlak. Bapak/Ibu di sana ya dengan berat hati ngurus sendirilah penyakitnya. Dan jika terjadi apapun di luar tanggungjawab kami.

Jadi gak perlulah pakai dalil macam-macam. Nanti malah aneh jadinya. (ar/ar)