Running Text

ADVOKASI HAJI DARI DAN UNTUK JAMAAH (KLIK DI SINI) PENINGKATAN LAYANAN HAJI 2017 BUKAN CERITA 'DONGENG' (KLIK DISINI) ABDUL DJAMIL, PEMIKIR CERDAS DAN TOKOH PERUBAHAN HAJI INDONESIA (KLIK DISINI) AFFAN RANGKUTI: SELAMAT DATANG JEMAAH HAJI INDONESIA SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI KE-71, NKRI HARGA MATI” AL WASHLIYAH MENGUCAPKAN “SELAMAT JALAN JEMAAH HAJI INDONESIA 2016 SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR” DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI REGULER TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) KEMENAG DAN DPR SEPAKATI BPIH 2016 TURUN 132 USD DAFTAR NAMA BERHAK LUNAS HAJI KHUSUS TAHAP I TAHUN 2016 (KLIK DISINI) SELAMAT ATAS KEMENANGAN MUSA LA ODE ABU HANAFI YANG MERAIH JUARA KETIGA DALAM AJANG MUSABAQAH HIFZIL QURAN (MTQ) INTERNASIONAL DI MESIR SELAMAT ATAS LAHIRNYA CUCU PRESIDEN JOKO WIDODO DASAR HUKUM MENJERAT TRAVEL HAJI DAN UMRAH NAKAL (KLIK DISINI) POTENSI PDB INDUSTRI JASA UMRAH 16 TRILYUN RUPIAH PER TAHUN JOKOWI AJAK TWITTER SEBARKAN PESAN TOLERANSI DAN PERDAMAIAN MENAKAR INDUSTRI JASA HAJI DAN UMRAH NASIONAL DI ERA PASAR BEBAS ASEAN SELAMAT ATAS PELANTIKAN SOETRISNO BACHIR MENJADI KETUA KEIN KAPOLRI BERTEKAD PERANGI AKSI TEROR

Sabtu, 30 September 2017

Nasib si Becak Medan

Becak Medan
Foto: qublicle.id
Jakarta (WarkopPublik)--Siapa yang tidak mengenal Becak Medan. Siapa juga yang tidak pernah menggunakannya sebagai salah satu transportasi umum. Rata-rata penduduk Kota Medan pasti pernah menggunakan transportasi lawas yang satu ini. Transportasi roda tiga yang kini semakin tertinggal karena tergilas arus globalisasi dan modernisasi sistem angkutan masal.

Becak sendiri mengalami tiga dekade perkembangan pada sudut teknologi. Teknologi pertama saya menyebutnya Tarik Becak (Tarbet) Dengkul (sebelum 1960-an). Teknologi dimana tenaga manusia yang sekaligus sebagai pengendara untuk menggerakkan poros yang terhubung dengan tiga rodanya agar dapat bergerak dan berjalan.

Teknologi kedua saya menyebutnya Tarbet Cempreng Ice Smoke (1960-1980-an). Teknologi yang sudah menggunakan tenaga mesin dua tak. Cara menghidupkannya pun terbilang unik. Dikayuh dahulu dengan cepat agar mesin hidup dan dapat berjalan. Bunyi mesin yang khas berisik dan mengeluarkan asap tebal dari knalpotnya.

Teknologi ketiga saya menyebutnya Tarbet Dit Dit (1990-an sd sekarang). Teknologi yang sudah menggunakan tenaga mesin empat tak dengan teknologi starter. Cukup dengan menggerakkan kunci ke on dan tekan tombol start atau kick start. Suara mesin tidak berisik dan tanpa asap. Hanya saja rata-rata kepemilikan kendaraan ini diperoleh dengan kredit.

Mungkin hanya satu hal yang tidak berubah dalam perkembangan Becak Medan ini. Penampakan becak yang cenderung jauh dari artistik. Apalagi tak jarang didapati menjelang elected, jangan heran jika penampakan Becak Medan berfungsi sebagai Above The Line (ATL).

Transportasi umum lawas ini kelihatannya semakin hari semakin tertinggal dan besar kemungkinan juga akan ditinggalkan penumpang. Kehadiran transportasi daring akan lebih diminati. Karena lebih gampang, mudah, nyaman dan murah.

Akankah Becak Medan akan menjadi sejarah dan tinggal kenangan nantinya? Belum tentu, nasib si Becak Medan ada dalam tangan-tangan aktif, kreatif dan inovatif generasi milenial. Apakah generasi ini mau atau tidak untuk mempermak transportasi lawas ini menjadi transportasi keterkinian atau berteknologi Tarbet Futuritis. (ar/ar)

Kalau Benar Info Itu, Maka Kau Perampas Hak Namanya

Sampul Film Penghianatan G 30 S PKI
Foto: cineme-xcinema.blogspot.com
Jakarta (WarkopPublik)--Ramai di media bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhajir Effendy melarang siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) menonton Film Penghianatan G 30 S PKI. Film garapan sutradara Arifin C Noer itu dinilai bukan konsumsi anak-anak.

Bagai berbalas syair dan kata-kata indah menggugah, larangan ini disambut hangat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI mengapresiasi si Menteri atas pernyataannya itu. Menurut KPAI, tindakan tersebut sangat penting untuk melindungi anak-anak dari berbagai tayangan yang mengandung unsur kekerasan, sadistis dan pornografi.

Andai benarlah yang aku baca di media itu maka aku mengatakan ini kepada mereka:

Wahai Kau Bapak dan Ibu yang Mulia yang berbicara sangat berpendidikan, yang bicara sangat sayang tentang anak-anak. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu hal saja Wahai Paduka Bapak, Wahai Yang Mulia Ibu.

Lihatlah, tengoklah, berenglah, ketenlah sekeliling Kau saat ini. Kalau Kau sayang, kalau Kau cinta kepada anak-anak maka masih sangat banyak dan penting yang perlu Kau buat daripada Kau larang-larang Siswa SD dan SMP agar tak menonton film itu.

Tak ada hak Kau melarang-larang tentang itu. Tak ada hak Kau juga mewajibkan menonton tentang hal itu. Pilihan itu bukan Kau penentunya. Jangan ambil hak yang bukan Kau sebagai penentunya. Karena film itu bukan film terlarang. Kalau Kau mengambil hak yang semestinya bukan Kau penentunya maka sama saja Kau merampas namanya. Saat Kau paksakan kehendak atas sesuatu yang tidak salah secara hukum positif maka Kau akan meludah ke atas langit. Kau tak akan 'wangi' karena air ludah yang keluar itu pasti 'bauk'.

Jadi intinya adalah biarkanlah ada pilihan tak usah Kau paksa-paksa untuk melarang atau mewajibkan terkait tentang film itu. Aku saja tak pernah mau mewajibkan atau melarang film itu untuk ditonton oleh anak-anak ku. (ar/ar)

SPPD: Kabar Bahagia atau Beban si Tuan Rumah

Ilustrasi SPPD
 foto: dapo-dikmenhabiby87.blogspot.co.id
Jakarta (WarkopPublik)--SPPD, singkatan perjalanan dinas bagi pegawai 'plat merah' pusat yang melaksanakan salah satu kegiatan rutin ke daerah. Redaksi pemantauan, pengawasan, penelitian dan sejenisnya menjadi dasar perjalanan dan tentunya sudah teralokasi dalam anggaran satuan atau unit kerja.

Dulu, SPPD ini menjadi salah satu kegiatan favorit dikalangan pegawai plat merah. Namun belakangan seiring dengan semakin meningkatnya fungsi pengawasan dan efesiensi pengeluaran, SPPD ini menjadi kegiatan yang 'diberdayagunakan' selain untuk tujuan substansi, juga sekaligus dapat menyambangi sanak saudara atau melancong.

Tidak jarang, aktivitas SPPD ini dipublish di akun media sosial, apakah saat sedang menjalankan tugas atau mengunjungi tempat tujuan wisata yang lagi masyur. Istilah kalangan 'senior dan baby boomer' "Sambil Menyelam Minum Air". Kalau istilah kalangan 'milenial' mungkin "Bekerja dan Berinspiratif".

Tapi, ada yang terlewatkan dalam peristiwa SPPD ini. Tempat tujuan adalah daerah. Kalau melihat dari gestur dan mimik si 'Tuan Rumah' dapat diasumsikan (pendapat pribadi) bahwa sebenarnya si 'Tuan Rumah' ini kurang bahagia. Kurang bahagia dapat disebabkan beberapa hal. Karena membuat repot si Tuan Rumah. Repot ini akan menjadi bahagia, apabila SPPD itu membawa kabar atau informasi yang 'indah semerbak'.

Repot itu berubah wujud menjadi loyal manakala yang ber-SPPD itu setingkat eselon 2 ke atas. Pagi, siang, malam pun akan dijabani si Tuan Rumah. Tapi jika yang ber-SPPD hanya setingkat pelaksana, eselon 4 dan 3 yah begitu deh, lihat dulu area dan ruang lingkupnya. Jika masuk dalam yang menentukan bisa 'cap jempol' pelayanannya.

Ini tidak sedang membahas sebuah budaya yang mungkin akan semakin bergeser membaik seiring berjalannya waktu. Tetapi lebih cenderung kepada penyadaran diri bahwa harus ada sebuah garis tegas yang jelas, agar tidak timbul asumsi-asumsi 'liar' dan dampak liar sebagai terjemahan asumsi-asumsi liar tersebut baik bagi si Tuan Rumah maupun yang ber-SPPD. (ar/ar)

Selasa, 26 September 2017

'Raja Bonobo' Gol Kena 'Lendir'

Pengantar 'Raja Bonobo' di website lendirnya
Foto: warkoppublik
Jakarta (WarkopPublik)--Meski baru diperkenalkan 19 September 2017 aplikasi ini menyita perhatian. Ada pro dan kontra.  Bahkan Nikah Siri Online masuk kategori pencaria terpopuler di Google Trend Indonesia.

Selain mengklaim aplikasinya salah satu cara mewujudkan Indonesia Damai lewat program nikah siri online, Aris Wahyudi juga menggaransi mitra atau klien yang bergabung dijamin perawan dan perjaka.

Aris Wachyudi mengambil sampel hasil temuan peneliti yang melakukan pengamatan pada 2 (dua) jenis kera, yaitu simpanse dan bonobo. Dimana keduanya punya 97 persen kemiripan dengan DNA manusia.

"Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan di dalam kelompok Bonobo lebih damai karena mereka sering melakukan hubungan seksual. Dengan adanya pemenuhan kebutuhan biologis di komunitas Bonobo, telah membuat mereka lebih rileks, tidak stress, dan cinta damai. Sebaliknya, simpanse yang jarang melakukan aktivitas seksual, terbukti mempunyai kehidupan yang keras, penuh pertikaian, dan tidak jarang saling membunuh," pengantar Nikahsirri.com.

Ditambahkan juga di dalam pengantar itu bahwa bahwa saat ini, negara Indonesia seperti komunitas simpanse yang penuh dengan kekerasan, dengan adanya program Nikahsirri maka masyarakatnya akan mirip komunitas bonobo yang penuh dengan cinta.

Sebelum banyak yang jadi 'Bonobo', Penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, pada dini hari tadi menyatakan telah menangkap pemilik laman tersebut, yakni Aris Wahyudi. Ia ditangkap di kediamannya, saat sedang tidur.

Mungkin saja saat tidur si Aris ini sedang memimpikan membangun kerajaan megah para 'Bonobo' dan dia yang menjadi raja nya. Gagal deh keburu gol akibat 'lendir'.

Polri harus memberikan 'pelajaran' yang tak akan pernah dilupakan seumur hidup bagi si 'Raja Bonobo' ini. Misalkan disatu kandangi dengan hewan buas. Binatang 'serasi' nya kan dengan binatang juga. (ar/ar)

BPKH Penolong atau Nambah Beban

Pelantikan Dewan Pengawas dan Pelaksana BPKH
Foto: kumparan.com
Jakarta (WarkopPublik)--Kini, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sudah hadir. Mampukan BPKH menurunkan ongkos naik haji tanpa mengeruk optimalisasi dari outstanding itu sendiri. Jika mampu hebatlah BPKH. Asal jangan terjadi pembebanan biaya pada internal BPKH. Karena sebagai badan yang baru pasti membutuhkan biaya ini itu.

Gaji saja misalkan. Jika gaji BPKH dengan jumlah semisal 100 orang saja ditambah 14 orang komisioner (pelaksana dan pengawas). Ini bisa menyedot duit per bulan minimal 1,5 milyar rupiah. Belum lagi untuk sarana dan prasarana kegiatan. Boleh jadi total duit disedot minimalnya per bulan lebih kurang 10 milyar rupiah. Bisa lebih tinggi, tergantung standar dan acuan mana yang dipakai. Kecuali pegawai dan komisioner BPKH mau tak digaji alias sukarela, tapi apa mungkin ya? Cerita dongeng kali kalau tak mau digaji.

Kalau duitnya dari APBN itu mungkin tidak masalah. Menjadi masalah jika duitnya dari outstanding duit haji. Paska pembentukannya saja denyut kinerja BPKH nyaris tak terdengar. Kalau iklan salah satu perusahaan otomotif 1990-an dengan jargon "nyaris tak terdengar" itu artinya bagus. Nah kalau nyaris tak terdengarnya kinerja badan publik ini kira-kira bagus tidak ya.

Kalaulah kinerja BPKH menghasilkan sama dengan apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama lalu buat apa dibentuk. Hasil sama saja akan menjadi tidak bagus, karena biaya bertambah. Apalagi jika hasilnya di bawah. Belum lagi soal personal yang mengisi BPKH.

Cerita mengelola duit haji, pintar dan cerdas saja tidak cukup tapi perpaduan antara pintar, cerdas dan pengalaman. Urusan haji itu sangat kompleks. Karena soal duit haji itu bukan kitab si Keynes cs yang dijunjung, tapi ada kitab terkait nash qod'i yang dipakai. Gak bisa juga nash qod'i diplintir jadi 'halam'. Halal ya halal, haram ya haram. Jelas aturan mainnya. Kalau tidak jelas ya selamat dan sukses kita doakan pada si pembuat fatwa nantinya.

Mengurus duit umat termasuk duit haji, sebaiknya hati-hatilah. Kebiri hati dari godaan lambaian dan harumnya duit. Karena itu duit orang dari semua kalangan yang ingin masuk surga melalui ibadah. Silap sedikit saja dalam mengelolanya akan ada dampak, kalau kata anak 'pasar' gunakan yang bagus dan amanah itu duit umat kalau tak mau 'mati biru'.

Jangan silap-silap ya om...tante...pak...bu...BPKH. Jangan banyak melancong dan duduk-duduk, kurang baik untuk kesehatan. Ditunggu nih hasil kinerjanya tentang duit haji. (ar/ar)

Minggu, 24 September 2017

'Nano-nano': Perlukah Introspeksi Massal?

Infografis tentang generasi milenial
Infografis: tirto.id
Jakarta (WarkopPublik)--Suatu hari, aku mencoba meminta pendapat tentang paham, keyakinan dan ideologi pada anak muda yang lahir di era 86-an. Dia bukan anak yang tidak berpendidikan. Sangat berpendidikan malah. Pemikirannya cerdas dan dari kalangan orang yang berada.

"Apa pendapatmu tentang paham, keyakinan dan ideologi," tanyaku.

Dia menjawab dengan sederhana, "Bang, aku tidak ada urusan dengan itu semua. Bagiku mau apa pun ya terserah saja. Bagiku yang penting yang bisa menjamin hidup aman dan sejahtera," jawabnya.

"Sesederhana itukah?" selidik ku untuk menggali lebih jauh.

"Iya bang. Aman tak ada rusuh-rusuh. Sejahtera kebutuhan dapat terpenuhi. Apa pun dan siapa pun yang bisa untuk itu aku ikut," katanya.

Aku sebagai anak sekarang, kurang menyenangi panggung sandiwara bang. Sulit menerka mana pemeran utama, mana protagonis dan mana antagonis. "Blur bang," katanya berpendapat.

Lalu aku pun bertanya bagaimana dengan agama, kan agama mengajarkan hal kebaikan dan memberikan solusi pada semua hal. "Termasuk yang kau inginkan tadi," terangku.

Dia menjawab bahwa agama itu baik, tapi lihat dulu siapa yang menyampaikannya. Jika antara kata, hati, perbuatan yang menyampaikannya berbeda dalam kenyataan inilah yang menimbulkan kebimbangan. "Kita butuh konsistensi dan garis lurus, kalau kenyataannya bengkok-bengkok ini yang jadi kebimbangan bang," jawabnya tegas.

Aku pun bertanya lagi mengapa bisa seperti itu dia dapat melakukan penilaian. "Kok bisa seperti itu kamu menilainya?" Tanyaku kembali.

Dia pun menjawab, bukan aku yang menilai bang. Aku hanya melihat dari apa yang aku lihat, dan kenyataannya memang seperti itu. Apakah abang bisa kasi solusi atas itu? Paling abang juga akan nyerah. Mau membiayai orang sakit, mau membiayai anak-anak putus sekolah, mau bayar pengobatan orang, mau bayar ambulan buat anak kecil wafat ah banyaklah bang. "Kalau pun abang mau menurut aku abang ingin dipublikasikan, berimbal jasa jadinya alias gak ikhlas. Maaf ya bang," katanya.

"Astaghfirullah hal adzim, ampun kan kami Ya Rabb. Kami telah banyak melakukan kesalahan. Kami telah banyak melakukan dosa hingga anak muda ini dapat mengambil kesimpulan seperti ini. Ya Rabb ampunkan kami ya Rabb," doa ku dalam hati.

Ini secuil kisah perbincangan yang sangat memukul batin tapi sakitnya sampai ke semua sendi. Perlu introspeksi massal, bukan menyalahkan apalagi memaksakan sesuatu. Karena salah dan benar saat ini menjadi keabuan disebabkan kenyataan dalam sudut pandang 'nano-nano' berbeda, beragam dan bercorak. (ar/ar)

Sabtu, 23 September 2017

Yartis, Ada 'Thogut' Nanti

Ilustrasi 'Thogut' e-KTP
Foto: semarak.news
Jakarta (WarkopPublik)--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginformasikan bahwa pihaknya terus menelusuri kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun dalam proyek kasus e-KTP.

Tak ada kata terlambat, tak ada kata telat. Soal dan sial e-KTP ini didalami bukan tanpa perhitungan, sekelas KPK tak masuk akal jika ecek-ecek dalam menetapkan seseorang jadi tersangka.

Mau apa pun soal urusan administrasi dipastikan yang ditanya KTP. Sebagai rakyat yang patuh dan disiplin aturan administrasi pastilah akan mengurus yang namanya KTP. Gratis, itu hanya kata sakti. Iya gratis, selesainya sampai batas yang tak ditentukan.

Tak usah jauh-jauh lah. Aku saja mengurus KTP kisaran 2012 silam. Bulan Ramadan kita disuruh kumpul di kantor kecamatan. Antri untuk foto, pas lagi puasa pula. Yah..yang namanya rakyat ya patuh sajalah. Dari pada tidak dapat KTP ya ikuti aturan main saja.

Selang dua tahun, catat ya dua tahun. Itu KTP jangankan dapat, kabar akan keluarnya pun mungkin hanya 'nyamuk' dan 'lalat' di kantor camat saja yang tahu. Hingga akhirnya batas kesabaranku pun tercolek. Akhirnya kisaran 2015 mendatangi kantor camat dan bertanya mengapa kok KTP tidak keluar-keluar. Karena ditanya barulah diproses kembali, ngerih kali ah.

On kembalilah proses urus KTP tadi. Wah....wah...mantab, petugas minta agar kalau mau cepat bayar. Fantastik, minta 500 ribu bro untuk tiga KTP. Makjang, cari masalah nih kek nya petugas kecamatan. Akhirnya seminggu kemudian KTP pun jadi. Apa harus mengurus yang namanya administrasi rakyat harus diperlakukan seperti itu. Iya jika si rakyat tadi punya pengetahuan atau yang berpendidikan, nah kalau yang tidak cemana? Lagi-lagi hanya 'nyamuk' dan 'lalat' di kantor camat yang tahu.

Kita sih sebagai rakyat sebenarnya sederhana kok. Jika memang bayar ya bayar, jika memang gratis ya gratis jangan antara bayar dan gratis alias yartis. Karena antara bayar dan gratis ada si 'Thogut'. Kalau dah masuk dia maka urusan beda.

Semua sadar diri kok, hidup perlu uang. Tapi cara memperoleh uang haruslah yang terhormat dan tidak membuat orang lain susah. Tidak semua orang kaya atau sederhana dan tidak semua orang pula hidup miskin. Jadi kalau memang gratis ya gratis dan tetapkan kepastian selesainya.

Sudah tidak zaman nya lagi mengurus administrasi disaat persyaratan lengkap ada jawaban "tunggu, sabar, nanti akan dikabari dan lain-lain". Jawaban harus jelas dan tegas "syarat lengkap dipastikan sekian hari selesai". Jangan ada buntutnya ya dibelakang atau kata "tetapi atau pakai kode segala macam". Nah si om ombudsman kek nya harus sering-sering ke tingkat layanan nih. Evaluasi pelayanan dan harus tegas om, jangan lembek kek tape gak takut mereka om.

Kasus e-KTP ini menjadi pelajaran yang sangat berharga pada tingkatan pengguna dalam hal ini rakyat dalam pengurusan administrasi penting apapun bentuknya. Pertama, agar dalam soal pengurusan administrasi dapat dilakukan dengan kepastian penyelesaian dengan catatan persyaratan lengkap. Kedua, perlu penegasan berbayar atau gratis, jangan diantara keduanya alias yartis. Kalau yartis itu bisa Ujung-Ujung nya Duit atau Semua Urusan Melalui Uang Tunai. (ar/ar)

Hubungan Semu Bos dan Bawahan

Ilustrasi hubungan semu
Foto: m.kaskus.co.id
Jakarta (WarkopPublik)--Kring....kring...kring...berbunyi ponsel pada kisaran pukul 23.00 WIB. Itu bukan kali pertama ponsel berbunyi pada pukul di luar jam kerja. Cara menjawab telepon pun seolah si bos ada di depan mata. Pakai menganggukan kepala pula sembari berkata siap bos...segera bos, baik bos. Suka tidak suka itu merupakan bagian dari tugas. Tugas sebagai bawahan yang loyal pada bos nya. Kalau tidak dijawab lain cerita nya nanti.

Hari libur, tidak ada mungkin kamus tentang itu. Bagai seorang 'prajurit', kapan pun bos menghubungi dan meminta untuk memberikan pemikiran, merancang dan membuat pemaparan, meminta masukan pemikiran dan hadir untuk mendampingi.

Jujur, mungkin tidak semua orang akan mau diperlakukan seperti ini. Kalau pun mau setidaknya ada tujuan yang ingin diperoleh, kenaikan pangkat dan kedudukan. Tetapi, tidak semua orang juga yang akan mau walau akan ada perhatian khusus agar pangkat dan jabatannya akan naik. Inilah pilihan, loyalitas apakah itu ikhlas atau tidak, menjadi pilihan.

Nantinya, pilihan itu akan memiliki konsekuensi, waktu yang akan menentukan. Era saat ini memilih tidak loyal akan semakin banyak. Akan ada pemikiran bahwa tidak ada enak nya dekat dengan bos. Karena sering disuruh, dihubungi tanpa mengenal waktu.

Bos pun akan berfikir sama, esok lusa jika tidak menjabat akan tidak dipandang lagi. Jadilah hubungan yang semu. Era ini juga mungkin mulai membentuk setiap aktivitas diukur dengan nilai. Bahkan, tidak sedikit yang akan melakukan autokritik walau nantinya akan dinilai sebagai penentang dan melawan arus.

Pada prinsipnya, kedua pilihan itu dalam posisi benar. Benar dalam artian tidak dalam perbuatan yang salah dalam norma hukum. Akan menjadi salah jika dihadapkan pada budaya organisasi yang sudah lama mencengkram dan terkesan menghegemoni dan otoriter.

Pergeseran kepemimpinan saat ini cenderung egaliter hingga target untuk membangun simpatik proletar lebih dapat diraih. Namun, sebagai manusia yang memiliki nafsu adakalanya gaya tersebut sebagai lipstik. Tetap saja akan senyum di depan dan meninju dibelakang.

Semisal, sudah jarang dialami seorang bos akan datang saat ada musibah pada bawahan nya. Atau minimalnya menyampaikan ucapan selamat ulang tahun. Tetap saja seorang bawahan akan berfikir negatif dan dongkol, namun senantiasa berucap si bos lagi sibuk atau lupa. Si bos juga sama akan berfikir buat apa datang atau memberikan ucapan, aku ini kan bos.

Ini hanya pandangan fiksi, pandangan yang mencoba untuk mendudukan kembali apa sebenarnya arti hubungan. Saat hubungan terbungkus dengan norma dan status maka jangan heran akan ada kasta. Saat hubungan dibalut dengan persaudaraan akan menjadi peduli dan memiliki. Apa pilihannya tergantung pada diri sendiri. (ar/ar)

Jumat, 22 September 2017

'Cling' Muharam

Ilustrasi bermuka dua
Foto: ziripress.com
Jakarta (WarkopPublik)--1 Muharam (1439 H) hadir kembali. Akankah diikuti dengan kehadiran-kehadiran kesalehan pribadi dan sosial yang lebih nyata jangan malah kebalikannya ya, kesalahan pribadi dan kesalahan sosial. 'Lomba pidato' alias recok ini, recok itu tetap saja angka kemiskinan tinggi, tetap saja pengangguran banyak.

Lomba pidato tidak membuat angka kemiskinan menurun signifikan. Lomba pidato tidak menjadikan pengangguran jadi persoalan berkesudahan. Namanya juga direcoki. Bagaimana sistem berjalan dengan bagus jika terus direcoki.

Boleh lah direcoki tapi berikan solusi, jangan hanya sekedar recok dan cuap-cuap tidak jelas. Berani merecoki berani juga memberikan solusi dengan kajian dan analisa lalu dipaparkan. Tidak hanya lomba pidato saja.

Hidup miskin itu tidak mengenakkan, hidup menganggur itu juga sama. Pribadi-pribadi ini berpotensi untuk menjadi kufur. Pribadi-pribadi ini merasa terasingkan dalam berinteraksi. Pribadi-pribadi ini juga bisa akan melakukan perbuatan melawan hukum. Serta pribadi-pribadi ini juga dapat menjadi alat untuk kanal tujuan dan kepentingan tertentu.

Umumnya, siapa pun orangnya tidak terkecuali akan memposisikan diri menjadi orang yang berbeda manakala ada perubahan kedudukan sosialnya. Entah itu dari miskin menjadi kaya, entah itu dari pengangguran jadi berkedudukan atau yang semula bukan apa-apa menjadi penentu. Pendek kata menurut penulis kata-kata mutiara, emas, intan berlian disebut "nothing to something". Ada perubahan sikap dan sifat, itu kenyataan. Persoalan matarantai sosial yang nyaris tidak dapat diputus.

Tak heran kata sombong, angkuh dan sejenisnya akan menjadi kata yang terbentuk setidaknya dalam hati. Jangankan meminta bantuan, menjumpainya saja perlu waktu dan menunggu. Jawaban klasik akan diperoleh, maaf lagi sibuk. Lantas kadangkala muncul pertanyaan siapa yang dipersalahkan atas ini semua, entahlah.

Matarantai interaksi sosial ini nyata. Contoh saja, suatu ketika si polan ingin bertemu salah satu 'orang besar'. Sudah janjian, sudah juga diagendakan oleh staf pribadinya akan bertemu pada tempat dan pukul yang ditentukan. Tiba di sana malah si polan harus menunggu seperti orang bego berjam-jam lamanya. Akhirnya si polan pun memutuskan untuk pulang saja. Buat apa urusan sama orang model begini.

Perihal interaksi sosial seperti ini juga akan membentuk satu karakter pribadi yang memiliki sikap tegas yang berpotensi keras dan 'vocal' bahkan akan dikecam sebagai penentang. Ya mau apa lagi, kondisi yang menciptakan itu.

Saat luka terjadi itu ada rasa sakit. Pun jika sembuh juga akan tetap menimbulkan bekas yang tidak akan bisa dihilangkan. Walaupun sembuh juga akan berpotensi luka itu akan sakit kembali.

Semoga saja sketsa buram sosial ini dapat sedikit demi sedikit di 'cling' kan dengan hadirnya kembali 1 Muharram. Tidak ada perbedaan antara kita, yang berbeda hanyalah cara kita berfikir, cara kita menyikapi, cara kita dalam menyakini. Kita sama, sama-sama makhluk yang punya segumpal daging hati. Perasaan adalah salurannya dan saling menjaga dan menghargai adalah muaranya. (ar/ar)

Daun Saja Beda, Apalagi Pendapat Orang (Jangan Dipaksakan)

Ilustrasi beda pendapat
Foto: opini.id
Jakarta (WarkopPublik)--Pemutaran film 'itu' menjadi perbedaan pendapat. Ada setuju, ada tidak setuju, ada juga yang setuju dengan catatan. Ah...macam-macamlah. Perbedaan pendapat yang sudah ramai seperti ini seperti biasa di 'film' kan langsung dengan judul yang unik. Besoknya 'film' menjadi bahan pembicaraan yang kembali bernuansa balik kepada perbedaan pendapat.

Masalah perbedaan pendapat itu adalah hal yang umum dalam menyikapi sebuah pandangan atas sesuatu hal. Tak perlu untuk memaksakan diri bahwa satu pendapat adalah kebenaran dan satu pendapat lainnya adalah kekeliruan. Mau sampai 'telentang telungkup' pun perbedaan pendapat itu tidak akan pernah dapat disatukan.

Bebas saja kok dalam berbeda pendapat, hanya saja pendapat juga harus diikuti dengan etika dan moral. Jangan berpendapat 'asal bacok' saja. Ini bisa menimbulkan persoalan dan persinggungan baru, seperti 'berternak' dan 'budidaya' persoalan jadinya.

Kembali pada persoalan film 'itu'. Tentu juga menjadi hak orang lain untuk mau atau tidak menontonnya. Tidak perlu dipengaruhi apalagi dipaksa agar menontonnya. Namanya hak ya hak. Apakah hak itu akan diambil atau tidak berpulang kepada pribadi masing-masing. Sama seperti hak berserikat dan berkumpul, mau diambil haknya silahkan tidak juga ya tidak masalah.

Kalau begitu hak aku juga untuk perpendapat soal film 'itu'. Pendapatku soal film itu bukan pada sisi benar atau salahnya, bagus atau tidak bagus atau apalah. Tapi aku hanya berpendapat pada sisi manfaatnya. Apa manfaatnya bagiku melihat film 'itu'. Kalau lah aku menilai lebih banyak manfaatnya bagiku ya akan aku tonton, jika tidak ya tidak aku tonton. Boleh kan...ya boleh dong, kan hak menonton atau tidak itu urusan masing-masing.

Saat ini, menurut aku pribadi terjebak dalam sebuah kondisi apa untungnya bagiku. Toh orang susah lihat aku senang kok, dan senang lihat aku susah. Jadi prespektif ke depan adalah bagaimana mengurus periok aku agar tetap berasap, bagaimana mengurus mata air tetap mengalir. Sederhana kok hidup ini. Tak perlu dibuat rumit. Oh ya...ini pendapatku ya.

Aku yakin ada yang tidak sependapat denganku. Ya silahkan saja, itu hak. Jangan dipaksakan agar menjadi sependapat. Tumbuhan dan hewan dan apa-apa yang ada di dunia ini berbeda kok. Jenis daun saja itu beda alias tak ada yang sama. Jadi tidak perlu dipaksakan harus sama, karena jika disamakan maka bukan dunia lagi namanya. (ar/ar)

Sinopsis Shashi Dalam Prespektif Lain (English Vinglish)

English Vinglish
Foto: wikipedia
Jakarta (WarkopPublik)--Pernah menonton film berjudul "English Vinglish"? Aku sarankan untuk menontonnya. Film yang dirilis pada kisaran September 2012 adalah film bergenre drama asal India. Dibintangi oleh Sridevi, artis senior India yang berperan sebagai tokoh utama bernama Shashi.

Shashi merupakan ibu dari dua orang anak yang kesehariannya dipenuhi aktivitas mengurus anak-anak dan suami. Tak satu pun yang luput diurusnya asal anak-anak dan suami dapat melakukan aktivitas belajar dan bekerja, berprestasi dan berkarya. Berhasilkah apa yang diperbuatnya? Jelas berhasil, karena apa yang dilakukan Shashi didasari dengan cinta dan kasih sayang tulus.

Sebagai wanita Hindustan, Shashi memegang teguh budaya dan bahasa. Berpakaian sari, rambut dikepang, berkalung mangal dan menjaga salah satu makanan khas India berupa manisan yang bernama Laadoo. Tak pernah ia mengeluh, protes pada apa yang ia jalani itu.

Walau anak sulung dan suaminya acap kali lepas kontrol yang tanpa disadari menggores hati yang paling dalam, termasuk soal ia diklaim terlahir hanya untuk membuat manisan Laadoo serta ketidak mampuannya dalam berbahasa Inggris yang dinilai anak dan suami dapat membuat malu.

Marahkah ia, tidak. Karena ia yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk keluarga, anak-anak yang sukses di masa depan dan suami dapat berkarir tinggi.

Jika beberapa sinopsis menuliskan film ini lebih cenderung pada keberhasilan dalam edukasi dimana Shashi dapat berbahasa Inggris manakala ia berusaha keras untuk itu. Dalam pidato berbahasa Inggris, ia berhasil memukau di hari pernikahan keponakannya di New York. Bahkan para hadirin yang hadir di pernikahan tersebut menangis haru.

Tak ayal, anak putri sulung dan suaminya merasa terpukul, malu dan merasa bersalah atas apa yang pernah tanpa sadar mereka perbuat kepada Shashi. Kenyataannya bahwa Shashi, wanita sekaligus ibu Hindustan yang dinilai kolot itu mampu memukau orang lain dengan bahasa Inggris yang menyentuh.

Sinopsis yang aku sajikan di sini mungkin dari sudut pandang yang berbeda. Bahwa Shashi, wanita kolot Hindustan itu mengajarkan banyak hal. Ia mengajarkan nilai-nilai rasa, filantropi dan budaya. Ia akan rela melakukan apa saja dalam artian positif agar anak dan suaminya dapat memiliki jenjang prestasi dan karir. Dia bukan butuh cinta, namun yang dibutuhkan adalah rasa kasih sayang dan saling menghargai.

Saat kita membangun satu peradaban dengan menumbuh kembangkan sikap dan sifat rasa kasih, rasa sayang, rasa filantropi dan saling menghargai maka tidak akan kita dicekoki peristiwa-peristiwa bully, tawuran, narkoba, seks bebas, sara dan lainnya.

Kunci perubahan itu ada pada wadah seorang Ibu. Ikutilah apa yang dikatakan ibu karena seorang ibu tidak akan pernah mengantarkan keluarganya kejurang kehancuran. Patuhlah kepada ibu, karena ibu tahu apa yang terbaik bagi keluarga. (ar/ar)

E-Money, Semoga Menuju Gerbang Surga

Ilustrasi halal haram
Foto:http: studymuslim.blogspot.co.id
Jakarta (WarkopPublik)--Menjelang Hari Raya Idul Fitri, hal yang biasa terlihat di salah satu kawasan jalan protokol di Jakarta adalah munculnya para pedagang uang dadakan. Mereka bukan money changer. Mereka adalah pedagang uang rupiah yang dibeli dengan uang rupiah juga. Hanya saja pedagang mematok keuntungan dalam jual beli ini.

Misalkan kita membutuhkan segepok uang berjumlah 100 ribu rupiah dengan pecahan uang 5 ribu rupiah. Pecahan itu harus kita beli dengan pecahan 100 ribu rupiah. Biasanya pedagang uang ini mentarif keuntungan 10 sampai 20 ribu rupiah. Jadi jumlah yang kita bayarkan kepada pedagang uang ini selembar uang pecahan 100 ribu dan pecahan 10 ribu atau 20 ribu rupiah.

Uang rupiah dibeli dengan uang rupiah. Alias jeruk makan jeruk. Haram kah ini? Cuma ahli agama lah yang tahu.

Belakangan masif diinformasikan dan disosialisasikan penggunaan e-money. Katanya sih agar lebih efektif dan aman. Bagus sekali inovasinya, aku doakan semoga inovasi ini dapat mengantarkan para creatornya ke Gerbang Surga nantinya.

Misalkan begini, aku mengisi e-money sebesar 100 ribu rupiah. Jumlah ini aku tebus dengan uang rupiah sebesar 100 ribu rupiah ditambah biaya pembelian isi ulang. Jadi e-money ku sebesar 100 ribu rupiah tapi harus aku bayar lebih dari 100 ribu rupiah.

Uang rupiah dibeli dengan uang rupiah. Alias jeruk makan jeruk. Haram kah ini? Cuma ahli agama lah yang tahu. Bagus sekali inovasinya, aku doakan semoga inovasi ini dapat mengantarkan para creatornya ke Gerbang Surga nantinya.

Ada lagi yang menarik, saat aku isi ulang e-money sebesar 100 ribu rupiah. Jumlah ini aku tebus dengan uang rupiah sebesar 100 ribu rupiah ditambah biaya pembelian isi ulang. Mantabnya lagi e-money ku bukan berisi sebesar 100 ribu rupiah, tapi kurang dari 100 ribu rupiah. Karena niat yang suci dari para creator aku harus bayar lebih dari 100 ribu rupiah.

Uang rupiah dibeli dengan uang rupiah. Alias jeruk makan jeruk. Haram kah ini? Cuma ahli agama lah yang tahu. Bagus sekali inovasinya, aku doakan semoga inovasi ini dapat mengantarkan para creatornya ke Gerbang Surga nantinya.

Ini belum lagi sisa penggunaan e-money. Biasanya bersisa 2 ribu rupiah. Karena tidak cukup untuk pembayaran biasanya e-money main buang atau lupa diletak dimana. Efektif sekali ya alias hemat. Kalaulah ada puluhan ribu orang memiliki sisa e-money dan tidak digunakan lagi, uangnya hilang apa tidak ya.

Efektif dan efesien sekali ya. Haram kah ini? Cuma ahli agama lah yang tahu. Bagus sekali inovasinya, aku doakan semoga inovasi ini dapat mengantarkan para creatornya ke Gerbang Surga nantinya. (ar/ar)

Ngapai Saja, Cuma Merekalah yang Tahu

Ilustrasi mengetahui diri sendiri
Foto: grevalby.com
Jakarta (WarkopPubli)--Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) terbentuk era 2013 silam. Pembentukan ini sesuai mandat UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Masa kepengurusan berakhir pada 2016 lalu dan selanjutnya diperpanjang.

Tugasnya sangat mulia yakni melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.

Sebagai sebuah lembaga yang auto kritik terhadap kebijakan pemerintah khususnya dalam penyelenggaraan haji, semestinya KPHI lebih memberikan peran yang lebih nyata dan dapat diukur untuk peningkatan layanan haji hari ini, esok dan masa mendatang. Namun sayang, lembaga ini seperti jalan ditempat. Peran sertanya dalam perhajian belum dapat dirasakan. Aktivitasnya pun lebih didominasi hanya pada saat penyelenggaraan saja, atau lebih bersifat musiman.

Tanpa KPHI pun Kementerian Agama (Kemenag) akan mampu mengukir prestasi kerja. Suka tidak suka, terima tidak terima fakta dan data membuktikan bahwa penyelenggaraan haji tetap mengalami peningkatan kualitas dalam layanan kepada jamaah haji.

Bahkan saya prediksi Indeks Kepuasan Jamaah Haji Indonesia (IKJHI) akan mengalami kenaikan yang akan menembus angka rentang 85 - 87 persen yang semula pada tahun 2016 IKJHI berada pada angka 83,83 persen.

Sudah empat tahun (plus perpanjangan) KPHI hadir dengan tugas yang sangat mulia. Sudah empat tahun juga operasional KPHI tentu diprogramkan. Lagi pula, soal pengawasan haji, soal memberikan masukan dalam penyelenggaraan haji sudah banyak lembaga yang melakukan. Ada audit kinerja dan audit keuangan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenag. Tugas Itjen Kemenag itu juga diperkuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Ada juga pengawasan pada jaminan pelaksanaan regulasi yang dilakukan oleh DPR RI. Pemantauan dan pengawasan dari DPD RI juga tak lepas setiap tahun. Belum lagi pengawasan dan pemantauan dari unsur lembaga swadaya masyarakat. Boleh dikatakan, dalam penyelenggaraan haji seluruh aktivitasnya dipagar betis oleh pengawas dan pemantau.

Belum lagi pengawasan dan pemantauan yang dilakukan para warganet di media sosial, menambah pagar betis itu dilapisi kawat berduri. Artinya, penyelenggaraan ibadah haji diawasi oleh seluruh lapisan dan unsur publik.

Terlalu banyak pengawasan dan pemantauan akan berpengaruh pada opportunity cost operasional dan program. Kalaulah operasional dan program ini dapat diintegrasikan maka akan ada satu pola pengawasan dan pemantauan yang efesien dan efektif. Saat ini pola pengawasan dan pemantauan dalam haji terlalu banyak persis seperti kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan.

Membersihkan lingkungan bisa dikerjakan oleh beberapa orang saja  dan akan selesai tepat sesuai harapan. Namun lingkungan dibersihkan oleh warga lingkungan itu sendiri. Bukan nilai efesien dan efektif tujuannya, namun nilai dan semangat silaturrahim dan kepedulian sosial yang dibangun antar warga.

Kalaulah pengawasan dan pemantauan haji didasari dengan nilai silaturrahim dan kepedulian sosial agaknya keliru. Karena fungsi pengawasan dan pemantauan itu bukanlah gotong-royong. Jadi apa sebenarnya esensi dan urgensi pengawasan dan pemantauan haji ini dilakukan banyak lembaga dan badan dan entah apa pun yang dikerjakan mereka cuma merekalah yang tahu. (ar/ar)

Apa Hebatnya si 'Kerempeng' Ade Wardhana

UIKA Bogor
Foto: wikimapia.org
Jakarta (WarkopPublik)--Panggung politik menjelang Pemilukada Bupati Kabupaten Bogor mulai menghangat. Bahkan, tampang-tampang calon bagai selebriti menghiasi pinggiran jalan dengan berbagai ukuran. Pastinya dengan gaya dan senyuman mengundang simpati. Iyalah pula, kalau tampangnya cemberut dan galak nanti ngerih-ngerih sedap orang memilihnya.

Kekuatan gambar itu memiliki pengaruh dalam simpatik. Ini bagian dalam produk politik, bagian dari simulacra. Tapi jangan sampai simulacrum dan hiperrealitis, kelipat dunia ini nanti.

Suatu hari aku berjalan bersama keluarga menuju salah satu pusat keramaian di Bogor. Dipertengahan jalan, aku melihat sebuah foto berukuran besar seorang pemuda 'kerempeng' berusia lebih kurang 33-an tahun. Foto berpeci berkemeja putih dengan senyum ramah tertulis Ade Wardhana Adinata, Pemimpin Baru dan Bogor Baru.

"Foto siapa sih itu, ayah kenal?" kata anakku. "Oh...itu foto calon Bupati Kabupaten Bogor nak," jawabku padanya.

Namanya Haji Ade Wardhana Adinata. Dia temanku sekampus di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Semasa di kampus kisaran tahun 2004, aku sudah melihat karakternya yang memiliki prinsip dan menyenangi perubahan. Mungkin sama alasannya denganku memilih UIKA sebagai kampus perjuangan.

Pada kisaran tahun 2014 lalu, Ade meneleponku. Berbicara cukup panjang soal pendidikan. Dia bercerita akan menjadi pelayan pendidikan, pelayan bagi masyarakat. Karena dengan hal itu dia dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat Bogor. Dia juga bercerita bagaimana potret kesehatan di Kabupaten Bogor. Dua parameter penentu kebidupan sosial dan taraf hidup.

"Bagus, aku setuju dengan pemikiran ente. Pemikiran perubahan berkemajuan. Ente sebagai putra asli Bogor sudah menjadi kewajiban untuk memberikan yang terbaik untuk masyarakat dimana ente dilahirkan diminta atau tidak," jawabku.

"Siap Bang Haji," jawabnya.

Lama tak berkomunikasi, akhirnya aku melihat bahwa memang untuk merubah Kabupaten Bogor menjadi lebih baik ke depannya maka harus menduduki jabatan penting. Karena dengan jabatan itu dapat dikeluarkan kebijakan untuk perbaikan, pembenahan, perawatan dan peningkatan layanan merakyat menuju kecerdasan, kesehatan dan kesejahteraan bersama.

Hayo De, ente ambil kekuasaan itu. Jangan main tanggung. Doa dan ikhtiar saja tidak cukup. Harus ada nekad, karena nekad bagian dari usaha agar ente dapat menjadi Bupati Bogor. Selanjutnya dengan nekad itu juga ente dapat melakukan perubahan besar dan mendasar sesuai cita. Aku yakin usaha ente sampai. (ar/ar)

Padamkan Api Neraka dengan Air Mata

Ilustrasi Neraka
Foto: diedit.com
Jakarta (WarkopPublik)--Sebuah tulisan dilaman bbc.com berjudul "Main curang di Rumah Tuhan: Kisah-kisah terluputkan dari perjalanan haji" saya kira akan cukup menohok umat Islam saat membacanya.

Saya pribadi sepakat dengan penulis, bahwa ada nilai-nilai ibadah yang bisa jadi akan tergerus sadar atau tidak. Foto atau video saat proses pelaksanaan ibadah tanpa alasan kuat memang masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Meski ada perbedaan, setidaknya ada konsensus bersama atas makna ibadah haji atau umrah.

Penulis seperti memberikan sinyal gugatan tentang kemabruran ibadah haji dan umrah yang dilakukan oleh para selfie dan vlog. Situasi ini juga menjadi selancar sosial bahwa ada tuntutan pembenahan pada makna dan hikmah ibadah haji dan umrah.

Pergerakan kebutuhan ibadah bisa berubah menjadi wisata. Semisal saat pelaksanaan tawaf, tak sedikit ringtone ponsel berdering bahkan berbaur dengan khidmatnya kumandang doa-doa tawaf. Apakah ini bagian dari cobaan dan godaan untuk menjadi lebih khusuk atau lemahnya ketegasan dan aturan untuk menjaga suasana saat tawaf untuk lebih khidmat.

Tuntutan pada kebutuhan hasrat fasilitas layanan tentang ibadah haji dan umrah saat ini lebih kuat dibandingkan kekhidmatan dalam ibadah. Semua akan mengatakan bahwa pelayanan semakin baik dan jamaah dimanjakan dengan berbagai fasilitas. Lalu, bagaimana kualitas ibadahnya?

Ada sisi lain dalam ibadah haji dan umrah yang sangat penting untuk dibenahi, dikuatkan, diajarkan dan ditaati untuk menjaga kualitas ibadah itu sendiri. Terimakasih kepada penulis Hasanudin Abdurakhman yang tidak segan dan sungkan untuk mengkritisi pribadi-pribadi soleh dan soleha dan memberikan pandangan untuk peningkatan kualitas ibadah.

Cara ampuh untuk memadamkan panasnya api neraka adalah dengan air mata. Air mata penyesalan, air mata istigfar, air mata tadabur dan air mata tafakur. Semoga apa yang ditulis oleh Saudara kita Hasanudin menjadi muhasabah kita bersama untuk memadamkan panasnya api neraka. (ar/ar)

Perempuan Melayu Berbaju Kurung Berkerudung Jadi Presiden

Presiden ke-8 Singapura Halimah Yakob
Foto: analisadaily
Jakarta (WarkopPublik)--Halimah Yacob merupakan presiden perempuan pertama di negara yang mayoritas berpenduduk keturunan China. Kisaran 5,7 juta penduduk Singapura, 74% terdiri dari China, 13% Melayu, 9% India dan selebihnya kategori "lainya."

Nama Halimah tentu dalam pemikiran kita biasanya merupakan nama-nama orang 'awak' yang penampilanya berbusana baju kurung dan berkerudung. Memang, dia adalah orang 'awak' yang berkerudung berasal dari ras Melayu. Lebih kurang 46 tahun terakhir kali negeri itu tak dipimpin oleh Orang Melayu, pasca Presiden pertama Singapura Yusof Ishak. Ia dilantik secara resmi pada Kamis, 14 September 2017.

Upacara pelatikan presiden ke-8 sebagai pengganti Tony Tan Keng Yam yang masa jabatannya telah berakhir itu disaksikan oleh Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, dan Hakim Ketua Sundaresh Menon.

Halimah adalah mantan Ketua Parlemen Singapura. Ia menjadi satu-satunya kandidat tunggal yang memenuhi syarat pemilu presiden 2017. Dua kandidat rivalnya Mohamed Salleh Marican dan Farid Khan gagal memenuhi syarat.

Halimah jadi sorotan dunia dan mengundang kontroversi. Dilansir BBC, warga Singapura khususnya melalui media sosial banyak yang menekankan bahwa Halimah adalah Presiden yang 'selected' artinya hanya dipilih oleh Komite dan bukan oleh warga Singapura atau 'elected'. Selain itu muncul tagar #NotMyPresident sebagaimana tagar yang pernah muncul di Pemilu AS usai Presiden Donald Trump terpilih.

Sebagian masyarakat Singapura juga menilai bahwa keterpilihan Halimah yang menang hanya karena calon tunggal tidak punya legitimasi yang kuat karena bukan dipilih rakyatnya.

Itu biasa dalam kompetisi kedudukan, ada kalah ada menang. Riak-riak ini sudah hal yang wajar dan tak perlu untuk ditanggapi. Terpenting adalah bahwa nama Halimah sebagai Presiden Singapura menjadi catatan takdir bahwa Perempuan Melayu berkerudung itu kini adalah seorang Presiden ke-8 Singapura.

Perempuan Melayu berkerudung itu menjadi presiden merupakan motivasi dan spirit bagi Orang Melayu untuk terus memacu dan memicu cita tinggi ke depan dan sekaligus membantah sebuah tulisan mengaitkan politik dan Orang Melayu yang mengatakan bahwa Orang Melayu tidak lagi boleh bergantung pada kata-kata keramat Hang Tuah dan kemungkinan kata-katanya tidak lagi akan menjadi kenyataan. Tak kan Melayu Hilang di Bumi. (ar/ar)

10 Catatan Haji 2017

Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin
Foto: okezone
Jakarta (WarkopPublik)--Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menggelar rapat evaluasi bersama delegasi Amirul Haj dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi tentang penyelenggaraan haji tahun 2017. Evaluasi yang dilakukan di Kantor Teknis Urusan Haji di Jeddah pada hari Sabtu (09/09) menghasilkan 10 catatan untuk peningkatan layanan penyelenggaraan masa mendatang. Berikut 10 catatan dimaksud:

1.   Perbaikan infrastruktur di Arafah - Muzdalifah - Mina (Armina).

Perlunya penambahan pasokan listrik, tenda, dan toilet, terutama di Mina. Akan hal ini, perlu ada dua hal yang dilakukan ke depan:

a.    Dibutuhkan usaha-usaha yang dilakukan untuk dapat mempengaruhi pemerintah Arab Saudi dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang di inginkan (lobi) dalam hal ini agar terjadinya peningkatan kapasitas infrastruktur di Mina.

b.    Perlu perubahan strategi penempatan jamaah di Mina. Mendatang, akan ada dua atau tiga kloter di setiap maktab yang hotelnya berada di sekitar jamarat. Ini perlu agar saat menginap (mabit) di Mina, mereka bisa kembali ke hotel sehingga tenda bisa ditempati kloter lain dan tidak berdesak-desakan.

2.   Terkait status jamaah haji. Jangan terjadi lagi ada jamaah yang dideportasi karena ternyata memiliki catatan hukum di Arab Saudi. Hal yang akan dilakukan mendatang adalah agar sejak awal harus sudah bekerjasama dengan imigrasi Saudi untuk melakukan diteksi awal catatan hukum jamaah (screening).

3.   Rencana perubahan sistem sewa hotel di Madinah. Hal ini adalah bagian yang perlu didalami untuk mengubah sewa berdasarkan watu (blocking time) menjadi sewa berdasarkan musim sebagaimana pemondokan di Makkah (sewa musim).

4.   Penambahan kuota petugas. Dibutuhkan lobi yang kuat. Tahun ini, kuota petugas hanya 3.500, dan itu terbukti belum mampu mengimbangi banyaknya jamaah haji Indonesia.

5.   Perlunya ruang rawat khusus di bandara, Jeddah dan Madinah. Merancang agar tahun depan selain kantor daerah kerja, ada ruang khusus bagi jamaah yang memerlukan ruangan lebih layak saat menghadapi kendala kesehatan.

6.   Melobi pemerintah Arab Saudi agar bus pengantar jamaah ke Masya'ir (Arafah - Muzdalifah - Mina) bisa diupgrade. Masih banyak jamaah Indonesia yang menggunakan bus tua. Walaupun selama ini, angkutan Masya'ir menjadi kewenangan penuh pemerintah Arab Saudi.

7.   Keberadaan TPHD (Tim Pemandu Haji Daerah). Mendatang harus ada penegasan tentang siapa yang layak menjadi TPHD dan bagaimana tugas mereka bisa dioptimalkan.

8.   Terkait jamaah yang belum diketahui keberadaannya. Akan dilakukan penguatan proses jejak telusur (sweeping) dilakukan secara lebih maksimal, bila perlu hingga menjangkau rumah sakit jiwa dan tempat lainnya. Sweeping harus lebih menyeluruh.

9.   Tentang pembinaan ibadah. Masalah ini tidak hanya tentang waktu lempar jumrah, tapi juga yang terkait masalah perhajian lainnya. Ini juga terkait fikih, sejarah, dan hikmah haji yang harus diurai secara mendasar agar meminimalisir ketidakpahaman jamaah haji.

10.  Terkait telaah regulasi. Ini penting untuk memastikan apakah ada regulasi yang sudah tidak relevan atau bahkan bertentangan dengan upaya peningkatan kualitas haji ke depan. Revisi regulasi, sejak undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan lainnya perlu dilakukan. (ar/ar)

Jauhkan dari Kalkulator, Dekatkan Neraca Kemanusiaan

Ilustrasi dokter mata duitan
Foto: acemaxsku.my.id
Jakarta (WarkopPublik)--Wafatnya bayi Deborah, seolah memberikan sinyal yang kuat bahwa ada kecenderungan pergeseran charity menuju kemutlakan industri bisnis.

Pada era 80-an semasa aku duduk di sekolah dasar, terekam dengan sangat kuat dalam pemikiranku hingga saat ini bahwa urusan kesehatan lebih kepada charity. Tercatat nama yang masih lengket dalam ingatanku saat ini "Mantri Purba" lalu ada "Mak Otan". Mereka membuka semacam poliklinik di rumahnya untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat sekitar.

Kata "untung" sepertinya jauh dari pemikiran mereka. Bagaimana tidak, pasien yang datang ke tempat praktek mereka tak pernah ditanya apakah punya uang atau tidak. Terpenting bagi mereka adalah bagaimana pasien sembuh. Kata "menunggu" itu pun jauh dari kamus hidup pelayanan mereka. Jam berapa pun mereka siap untuk melayani bahkan datang langsung ke rumah pasien yang membutuhkan pertolongan.

Kaya kah mereka? Walah..walah...jangan kan bicara soal mobil atau motor. Mungkin mimpi pun mereka tidak pernah untuk berfikir membelinya. Hanya Sepeda Jonder (sebutan anak Medan untuk sepeda ontel) yang dimiliki.

Ini hanya sepenggal kisah, sepotong sketsa komparatif bahwa kecenderungan amal sepertinya semakin rampung menuju wujud baru 'kalkulator' yang menjanjikan.

Semoga para pejuang pelayan kesehatan seperti Mantri Purba dan Mak Otan di masa kini dan mendatang masih ada. Hingga kepercayaan publik kepada urusan amal terkait dengan kesehatan itu masih terbungkus dengan baik. Bersama kita doakan agar amal dimaksud dijauhkan dari 'kalkulator' dan didekatkan dengan neraca kemanusian. (ar/ar)